Oleh: Faizah Khoirunnisa' Azzahro, S.Sn
Ibarat dua sejoli, demokrasi selalu dilekatkan dengan hak asasi manusia, bahkan diklaim sebagai sistem politik terbaik yang menjamin HAM. Benarkah? Faktanya semakin kesini banyak pihak meragukan klaim tersebut karena banyaknya kriminalisasi terhadap masyarakat yang melayangkan kritik baik lewat sosmed, ataupun media lainnya. Kasus terbaru, mural di wilayah Batuceper, Tangerang, yang menggambarkan sosok mirip Presiden Jokowi dengan tulisan "404 not found" yang menutupi area mata, nyatanya tak disikapi rezim sebagai bahan kritik dan wujud kontrol sosial. Sebaliknya, aparat dengan gerak cepat menghapus mural tersebut dengan cat hitam, dan memeriksa dua orang saksi untuk menyelidiki siapa pelukisnya. Terkait penghapusan mural tersebut, pihak kepolisian beralasan menghapus mural tersebut karena menafsirkan gambar mirip Jokowi itu sebagai lambang negara dan pimpinan tertinggi dari institusi Korps Bhayangkara sehingga tak pantas diperlakukan demikian (www.cnnindonesia.com/nasional, 15-08-2021).
Masyarakat menilai, reaksi rezim yang demikian terlalu represif dan semakin mengesankan sebagai rezim antikritik. Kalangan seniman juga beranggapan bahwa kriminalisasi karya seni adalah tanda kemunduran demokrasi yang menjamin kebebasan berekspresi. Sejak era orde baru pun mural jadi bagian dari media menyampaikan kritik dan pendapat.
Sebagai wujud protes, sejumlah seniman di Jogja mengadakan lomba mural bertema kritik, dimana pemenang dinilai dari yang muralnya paling cepat dihapus aparat. Alangkah lucunya negeri ini, mengklaim menerapkan demokrasi, tapi faktanya tidak konsisten dengan konsep-konsep demokrasi itu sendiri.
Standar Ganda Kebebasan
Klaim kebebasan dan HAM yang diusung demokrasi, seringkali berujung hipokrisi dan inkonsistensi. Bagaimana pun sistem buatan manusia, aturan mainnya pun bergantung pada yang memegang kendali. Dan hari ini, kendali sistem ada pada para pemilik modal dan kaki tangannya.
Ruang kebebasan berpendapat dan mengkritik dipersilahkan dengan syarat tidak menggoyang kursi rezim dan tidak mengancam eksistensi ideologi kapitalisme dan sistem demokrasi. Sekalipun kritik yang disampaikan adalah sebuah fakta dan kebenaran, akan tetap dikriminalisasi jika penguasa tersinggung dan terancam eksistensinya. Tentu kita ingat dengan ormas HTI yang rajin memberikan kritik dan saran konstruktif untuk bangsa dan negara, namun berujung pada pencabutan BHP dan monsterisasi. Meskipun selama di persidangan, tak ada bukti pelanggaran apa yang sudah HTI lakukan.
Belum lagi, kriminalisasi kritik di sosial media yang dibayang-bayangi pasal karet UU ITE, yang sudah memakan banyak korban.
Anehnya, kasus penghinaan terhadap Nabi Muhammad solallahu 'alaihi wassalam dan ajaran Islam, tak dianggap sebagai tindak kriminal yang pantas dipidanakan. Alhasil, pembiaran ini membuat orang tak takut untuk menghina serta menjadikan Islam dan simbolnya sebagai bahan candaan. Ya, karena memang demokrasi dan kapitalisme tak ada kepentingan dengan hal itu. Sekulerisme yang menjadi asasnya, tak mau ambil pusing dengan nilai-nilai agama.
Kritik dalam Daulah Islam
Daulah Islam atau Khilafah sekalipun menerapkan aturan Islam yang dijamin kebenaran dan datangkan keberkahan, tetap saja dijalankan oleh seorang manusia yang tak luput dari khilaf dan lupa. Oleh karena itu, kritik dan kontrol dari umat tetap dibutuhkan dan harus berjalan. Namun, tentu ada adab dan aturan yang harus ditaati. Berpendapat dan berekspresi dipersilakan selama tidak melanggar hukum syara' dan tidak menjadi ajang untuk menghina Allah, Rasulullah, ajaran agama dan sesama.
Khalifah dan para pejabat kekhilafahan tidak antikritik. Umat dan rakyat baik muslim maupun non muslim dipersilakan menyampaikan kritik dan aduan ke saluran yang sudah disediakan. Dalam sistem Islam terdapat majelis umat yang diisi oleh wakil umat dari berbagai latar belakang, tak peduli ras, agama, dan status sosial lainnya. Bahkan di masa Khulafaur Rasyidin, Khalifah terbiasa berbaur dengan rakyat dan mendengar langsung kritikan dari mereka. Tak ada sekat protokoler yang membuat jarak antara penguasa dengan rakyat sebagaimana yang terjadi hari ini.
Betapa luar biasanya sistem Islam jika diterapkan, dan kaum muslimin dipimpin oleh orang-orang yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Aneh, jika kaum muslimin tak rindu hidup di tengah kehidupan yang diatur oleh Islam, dimana pemimpin dan rakyatnya saling mencintai dan mendoakan dalam kebaikan. MasyaAllah... Allahua'lam bish-showwab