Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Sedia payung sebelum hujan kiranya itulah pepatah yang pantas disematkan atas langkah PAN yang akhirnya resmi memutuskan untuk mendukung pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Bergabungnya PAN menambah gemuk koalisi partai pendukung Jokowi-Maruf yang terdiri PDIP, Golkar, Gerindra, PKB, NasDem, PPP, PSI, Hanura, dan Perindo.
Kini hanya tinggal dua partai oposisi, yakni PKS dan Demokrat. Ketika semua pihak sudah merapat tentulah bertambah kuat dan gemuk, pertanyaan yang kemudian terlontar dari kebanyakan nitizen adalah berapa jatah menteri dan pangkat-pangkat lain yang sederajat?
Menurut Zulkifli, dalam politik, pemberian posisi atau jabatan adalah hal yang wajar, namun Zulkifli mengaku belum ada pembicaraan terkait kursi menteri hingga saat ini, menurutnya lagi itu adalah hak prerogatif Presiden. "Memang hampir semua orang menanyakan hal itu kepada kami. Tapi sejujurnya, apa adanya, kita memang memutuskan kemarin sampai Rakenas, belum ada pembicaraan soal itu."
"Karena kami menyadari itu sepenuhnya hak prerogratif Presiden dan yang paling penting pikiran-pikiran kita itu bisa mempengaruhi kebijakan, itu yang paling penting," kata Zulkifli, dikutip dari video Karni Ilyas Club (tribunnews.com,13/9/2021). Setelah hengkangnya Amien Rais, salah satu pendiri, PAN seolah memiliki wajah baru.
Hal itu dikatakan Direktur Eksekutif Indo Barometer, Muhammad Qodari,"Nah sebetulnya ini menjadi variabel (individu) penjelas ya bahwa sebetulnya PAN itu dari dulu sudah mau bergabung dengan Pak Jokowi karena ada faktor Amien Rais akhirnya baru terwujud sekarang." (sindonews.com,26/8/2021). Demikian pula menurut Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah ,"PAN lebih terlihat moderat tanpa Amien, kondisi ini jika terjaga dengan soliditas kader, bukan tidak mungkin PAN berhasil masuk jajaran Parpol dengan perolehan suara 5 hingga 10% di Pemilu 2024," (sindonews.com,23/8/2021).
Harapan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir terhadap wajah baru PAN, harus menjadi partai yang modern pada era 4.0. Maksud partai modern adalah partai yang dalam tata kelolanya berbasis sistem, profesional, objektif, dan moderat. “Sebagai bagian dari dinamika kehidupan baru, PAN harus menjadi partai modern,” ujar Haedar (Republika.id, 24/8/2021).
Banyak harapan terhadap perubahan PAN, namun satu ramuan yang tak berubah di alam demokrasi ini jika anda ingin menang dan menguasai medan perang, adalah berkoalisilah dengan rezim penguasa. Semakin gemuk semakin baik, tak peduli lagi tujuan awal pembentukan partai, tujuan yang tampak lebih indah adalah dengan duduknya petinggi partai di pemerintahan. Inilah sukses terselubung yang hendak mereka raih atas nama kebebasan berpendapat, salah satu pilar demokrasi. Ironi, sebab pada saat yang sama fakta ini sekaligus menunjukkan bahwa tak ada kebebasan berpendapat itu. Semua bergantung pada hukum rimba atau siapa kuat dia yang dapat.
Apakah dalam Islam tak boleh mendirikan partai atau sebuah komunitas politik? Tentulah boleh, sebab manusia diciptakan Allah SWT sebagai makluk sosial, sudah barang tentu butuh eksistensi dalam sebuah komunitas. Allah jelas memberikan pengajaran tentang bagaimana berkumpul itu, "Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung" (QS Ali Imran : 104).
Dalam tafsir Al-Mukhtashar / Markaz Tafsir Riyadh, di bawah pengawasan Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid (Imam Masjidil Haram) ayat ini berarti "Dan hendaklah ada di antara kalian -wahai orang-orang mukmin- satu kelompok yang mengajak kepada setiap kebajikan yang dicintai Allah, menyuruh berbuat baik yang ditunjukkan oleh syarak dan dinilai baik oleh akal sehat, dan mencegah perbuatan mungkar yang dilarang oleh syarak dan dinilai buruk oleh akal sehat. Orang-orang semacam itulah yang akan mendapatkan kemenangan yang sempurna di dunia dan akhirat.
Ada dua kegiatan utama dalam sebuah kelompok /komunitas/ Partai tersebut yaitu : menyeru pada kebajikan dan amar makruf nahi mungkar. Hal yang demikian sejatinya berseberangan dengan rezim saat ini, bahkan sangat bertentangan. Menyeru pada kebajikan artinya adalah seluruh isi Alquran haruslah diterapkan sebab ialah satu-satunya sumber kebajikan. Alquran adalah Wahyu Allah, Sang Khalik (pencipta) dan Sang Mudabbir (pengatur).
Sementara aktifitas politiknya adalah amar makruf nahi mungkar, jika kemudian berkoalisi dengan partai yang berbeda haluan, akankah mencapai tujuan? Dalam sistem demokrasi semua partai sejatinya bercorak sama, bahkan terkesan oportunitis, hanya mengambil keuntungan sesaat demi kepentingan golongan. Amar makruf nahi mungkar tentu terjadi antara rakyat dan penguasa, terutama jika ada ketidakadilan, sebab satu kebijakan artinya diterapkan bagi seluruh rakyat, jika salah maka penderitaan akan menimpa rakyat.
Bagaimana bisa netral, menyerukan amar makruf nahi mungkar dengan sebenarnya definisi yang diinginkan syariat jika berkoalisi, berharap berkah dari ketergabungannya? Jangankan rakyat, bisa jadi fokusnya adalah nama-nama pejabat yang mestinya mendapat upeti dan paling dihormati.
Sungguh, kita tak bisa menyelisihi apa yang telah dicontohkan Rasulullah dalam upaya untuk mencapai perubahan. Sebab tak ada perubahan hakiki, yang mengangkat derajat manusia menjadi mulia dan bermanfaat bagi sesama dunia akhirat kecuali dalam Islam. Tugas partailah yang mengajak umat untuk paham misi penting ini, hidup mulia hanya dengan Islam, bukan yang lain. Partailah yang mengedukasi umat agar menjadikan negara berfungsi sebagai periayah Kaffah. Bukan atas dasar untung rugi. Wallahu a'lam bish showab.
Tags
Opini