By : Yenni Widiastuti
CHILDFREE memang bukan ide yang baru,tetapi sekarang mendadak populer kembali,isu ini cukup ramai menjadi perbincangan belakangan ini jagat dunia maya dihebohkan dengan istilah childfree.Media sosial diIndonesia,Twiter,Youtube maupun platform media online lainnya menjadi trending topik perbincangan masyarakat digital.hal ini hasil dari dampak disuarakan oleh sejumlah selebritas terkemuka dan juga dari kalangan influencer,banyak figur yang mengakui telah mengadopsi konsep tersebut.ini tentu akan menjadikan ruang luas bagi ide Cildfree untuk berkembang biak mencoba untuk mencari frekuensinya mencari orbitnya,khususnya dinegeri negeri muslim terbesar seperti Indonesia.
Pengakuan dari figur-figur yang dikenal masyarakat (publik) ini akhirnya menimbulkan berbagai tanggapan masyarakat.platform media sosial banyak merekam diskusi publik terkait ini.Ada yang mendukung ada pula yang tidak sependapat atas konsep ini.
Pro dan kontra,wajar saja jika sebagian masyarakat memandang aneh.sebab pada umumnya tujuan pernikahan adalah untuk mempunyai keturunan.lantas,kenapa childfree bisa menjadi pilihan?
Istilah childfree ini
digunakan bagi orang yang sudah menikah tetapi mereka enggan untuk memiliki keturunan.Baik anak kandung maupun anak adopsi.
Childfree setali tiga uang dengan istilah dengan No Marrieage.
Childfree tidak mau punya anak
No Marriage tidak mau menikah.
Ada banyak alasan yang melatar belakangi komunitas yang mengaku dirinya sebagai Childfree Comuniti,diantaranya kekhawatiran Genetik,faktor finansial,mental yang belum siap untuk menjadi seorang ibu.sedangkan No Merriage alasan utamanya adalah beban ekonomi dan kebebasan perempuan untuk berkarier sehingga mereka lebih memilih untuk tidak menikah.ide no merriage ini adalah salah satu faktor yang berimplikasi pada ide childfree.Meski akhirnya mereka pada umumnya mencoba untuk mencari jalan tengah dengan hidup bersama pasangan tanpa ikatan pernikahan.Atau sedikit lebih moderat lagi yakni bersedia menikah meski tidak mau punya anak
Faktor finansial dan kesiapan mental orang tua untuk memiliki anak atau mendidik anak tidaklah sepenuhnya salah karena tidak bisa kita pungkiri bahwa memang dua hal tersebut sangat perlu dibekali oleh setiap pasangan dalam menjalani rumah tangga.
Hanya saja ketika hal tersebut dijadikan alasan seseorang untuk memilih childfree rasanya masih belum bisa diterima dengan akal sehat.Sementara diluar sana masih banyak pasangan yang berharap bisa punya keturunan namun belum diberikan Amanah yaitu anak
Ketika kita sedang mengukur kayu dengan menggunakan meteran,bila terlalu panjang maka yang kita potong adalah kayunya bukan meterannya
Begitu juga bila kita memiliki kendala dalam finansial dan kesiapan mental dalam mempunyai anak serta mendidik anak maka bukan anaknya yang tidak mau kita hadirkan dalam rumah tangga akan tetapi justru kita harus belajar mengelola finansial keluarga dan belajar berbagai hal agar mental kita siap untuk menjemput rumah tangga.
Selain alasan yang diatas,dilansir dari kompas.con (16/8/2021) melalui unggahan story seorang youtubers Indonesia menganggap bahwa jika dirinya dikaruniai seorang anak,maka hal itu tidak menyenangkan,IMO lebih gampang ga' punya anak daripada punya anak,karena banyak hal preventif yang bisa dilakukan untuk tidak punya.Lain halnya dengan pendapat seorang artis (public figure) yang ternyata juga memilih "Childfree"Menurutnya populasi penduduk dibumi ini sudah padat,maka ia lebih memilih mengadopsi daripada melahirkan.
Kenapa harus melahirkan satu manusia kalau saya bisa mengadopsi anak yang jaman sekarang ini nggak punya siapapun untuk menjaga mereka,nggak menyayangi merek (suara.com,19/8/2021)
Pendidik dan pemerhati isu Muslimah,Ustadzah Elizabeth Diana Dewi mengatakan,sangat penting untuk mengetahui latar belakang sejarah suatu ide atau pemahaman sebelum mengambilnya ( mempraktekkannya)Menurutnya childfree adalah konsep yang dicetuskan oleh para feminis yang menggaungkan Politic of body atau politik tubuh.Sebuah konsep yang dibawah oleh para feminis Radikal.
Masa' iya konsep yang datang dari mereka,lalu kita ambil,mau kita adopsi?
Konsep ini bagian dari politik tubuh,politic of body,the right of body,rahim kita adalah hak saya.
Jadi jangan salah kapra ya menyikapi konsep,karena tidak tahu sejarah konsep itu muncul terang beliau.
Bisa bisanya ada orang yang nggak mau punya anak,Dikira hidup ini tidak ada ujungnya?
Jujur,ditengah sistem Demokrasi yang No Good Looking,sistem ini juga bobroking.Jadi tidak heran sih! Memang pemikiran semacam ini adalah salah satu agenda kaum fesimis dibawah asuhan sistem Demokrasi yang menuntut kebebasan berekspresi sesuai pendapat ustadzah Elizabet Diana Dewi,belum lagi ambisi kapitalisme membuat mereka terjebak pada eksploitasi para kapitalis yang sudah dihipnotis gaya hidup ala kaum sekuler yang bertujuan untuk menyesatkan kaum Muslimin,khususnya para Muslimah.selain itu juga hidup diera kapitalis dimana berlaku no free lunc,biaya untuk anak anak bisa amat high cost!Negara tidak mau ambil peduli dengan kondisi anak anak.Lapangan bermain digusur menjadi sebuah mall,perkantoran,atau apalah yang memberikan profit dan pajak.Kesehatan harus berbayar dan tidak ada jaminan hidup untuk warga meski mereka dipaksa membayar pajak.lengkap sudah........
Jadi patutkah konsep ini dijadikan sebuah rujukan...?
Konsep Childfree Tak Layak Diambil
Mungkin sebagian orang khawatir memiliki anak karena kondisi hari ini memaksa kita berpikir seribu kali untuk memasukkan anak ke sekolah berkualitas. Sebab hari ini sekolah yang berkualitas itu identik dengan biaya yang mahal. Menyekolahkan satu anak dengan biaya tinggi sudah membuat orang tua harus memeras keringat dan banting tulang, apalagi jika anaknya lebih dari satu. Belum lagi jika dihitung dengan pengeluaran kebutuhan pokok lainnya. Demikianlah potret kehidupan keluarga masa kini. Keluarga yang hidup dalam sebuah sistem yang menerapkan konsep kapitalis dalam seluruh aspek kehidupan.
Dalam konsep kapitalis, semua diukur dengan uang. Tak ada konsep sekolah dan pelayanan kesehatan gratis dalam sistem ini. Melahirkan pakai uang, susu dan makanan anak semua butuh uang, sekolah jelas butuh uang, semuanya butuh uang. Dan fenomena inilah yang dihadapi para perempuan masa kini, hingga akhirnya menimbulkan ketakutan untuk menikah dan punya anak. Dan ketika emak tak hendak beranak, maka berbagai dalih dan alasan pun dikemukakan sekalipun melawan kodratnya sendiri.
Padahal ada dua faktor yang harus dibenahi dalam hal ini. Yang pertama, pemahaman yang ada pada dirinya, dan yang kedua, sistem kehidupan yang melingkupinya. Terkait faktor pertama, seorang ibu harus memiliki pemahaman yang benar dan utuh tentang kehidupan ini. Bahwa memiliki anak adalah bagian dari takdir Allah swt. Banyak perempuan yang sangat ingin punya anak, tapi Allah tak jua mengabulkannya. Sebaliknya, banyak yang berencana tidak punya anak dengan berbagai cara, namun dengan kehendak Allah, janin tetap bersemayam di rahimnya.
Begitu pula harus dipahami konsep rezeki yang hanya menjadi hak Allah swt. Masing-masing individu memiliki rezekinya sendiri-sendiri dan tidak mungkin tertukar. Dengan pemahaman seperti ini, seorang perempuan akan tenang menjalani kehidupannya. Membangun kedekatan hubungan dengan Allah, memohon pertolongan-Nya dan ridlo atas semua ketetapan-Nya dengan membangun ketaatan pada semua perintah-Nya adalah cara terbaik yang seharusnya dilakukan seorang ibu. Dan ini adalah konsep Islam yang tidak dimiliki oleh sistem kapitalis.
Adapun faktor kedua, sistem kapitalis yang kini diterapkan memang telah jelas menunjukkan kebobrokannya dalam segala bidang. Konsep kebebasan dan asas manfaat yang diagungkan dalam konsep ini membuat manusia hanya berpikir seenaknya dan berbuat semaunya, semata-mata untuk kenikmatan di dunia. Konsep ini menggilas orientasi akhirat yang semestinya dimiliki seorang muslim. Dan sistem kehidupan yang mendewakan kebebasan ini telah melahirkan serta menyebarkan konsep childfree yang bertentangan dengan Islam.
Saudaraku yang semoga disayangi Allah Ta’ala. Sebelum Engkau memutuskan untuk melakukan “Childfree” yaitu memutuskan tidak punya anak dalam pernikahan, kami ajak Anda merenung. Salah satunya adalah renungkan kalimat berikut,
“Kita tidak ada di dunia, jika orang tua kita memutuskan childfree.”
Ya, kalimat di atas untuk memberikan renungan bagi mereka yang memutuskan untuk melakukan childfree. Benar, salah satu dampak memutuskan childfree yaitu tidak mempunyai anak dalam pernikahan.
Apabila kita berbicara masalah hak asasi dan hak memilih, memang benar, setiap orang berhak untuk memutuskan tidak punya anak, baik untuk sementara maupun selamanya dengan alasan apapun. Karena hidup itu adalah pilihan. Bahkan apabila ada orang memilih tidak beriman kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, kita tidak bisa memaksa mereka untuk beriman. Tidak ada paksaan dalam agama ini.
Allah Ta’ala berfirman,
لَاۤ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِ ۗ
“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam).” (QS. Al-Baqarah [2]: 256)
Akan tetapi, kita adalah muslim yang beriman, tentu kita berusaha menjalankan syariat Islam yang Allah Ta’ala turunkan dan Allah Ta’ala hanya ridha dengan agama Islam.
Allah Ta’ala berfirman,
اِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللّٰهِ الْاِسْلَامُ ۗ
“Sesungguhnya agama yang diridai dan diterima di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 19)
Patut kita camkan bahwa Allah Ta’ala yang lebih mengetahui bagaimana cara manusia hidup berbahagia dengan kebahagiaan hakiki, bukan kebahagiaan semu semata. Konsep kehidupan selain dari konsep Islam yang Allah Ta’ala turunkan hanyalah membawa kepada kesengsaraan yang terlihat seolah-olah kebahagiaan. Allah Ta’ala yang menciptakan manusia dan seluruh alam semesta sehingga Allah Ta’ala yang paling tahu konsep dan cara untuk berbahagia.
Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ أَأَنْتُمْ أَعْلَمُ أَمِ اللَّهُ ۗ وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ كَتَمَ شَهَادَةً عِنْدَهُ مِنَ اللَّهِ ۗ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
“Katakanlah, “Apakah kamu lebih mengetahui ataukah Allah?” (QS. Al-Baqarah: 140)
Tentu saja konsep childfree ini tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Dalam islam,hal yang paling dinantikan dalam pernikahan adalah kehadiran seorang anak.Meski ada beberapa konsekuensi yang harus ditanggung oleh orang tua.Apalagi dalam sistem kapitalisme,segalah hal yang membutuhkan uang.Termasuk ketika mempunyai anak,mulai dari kelahiran,biaya hidup,kesehatan juga pebdidikan ,anak juga membutuhkan biaya yang lainnya.
Namun, sebagai seorang muslim hendaknya setiap pernikahan mempunyai tujuan atau visi misi yang jelas sesuai syariat, yaitu memaksimalkan potensi diri yang menghantarkan pada ridho Allah SWT. Ketika Allah memberi potensi ghorizah nau’ atau naluri melestarikan jenis, maka pernikahan adalah sarana untuk menyalurkan kasih sayang, tidak hanya kepada pasangan tetapi juga kepada anak dan keturunannya. Dengan demikian, kehamilan adalah anugerah yang luar biasa.
Saat hamil, dalam setiap lelah yang bertambah, ada pahala yang mengalir bagi ibu. Di setiap tetes air susu yang disusukan kepada anak, ada keberkahan dan pahala yang berlipat. Bahkan, Allah menjanjikan kesyahidan jika kematian menghampiri ibu hamil atau menyusui.
Rasulullah Shalallahu alaihi wa salam bersabda:
“Mati syahid itu ada tujuh, selain mati terbunuh dalam perang fii sabilillah, yaitu: mati karena penyakit tha’un, mati karena tenggelam, mati karena penyakit lambung, mati karena sakit perut, mati karena terbakar, mati karena tertimpa reruntuhan, dan perempuan yang mati karena hamil atau melahirkan.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Nasai dan Malik)
Selain itu, jika kita memiliki anak, maka tidak akan terhenti silsilah keluarga kita. Sebab, Insyaallah kelak sang anak juga akan melahirkan generasi-generasi penerus tonggak kehidupan. Begitu pula ketika kita meninggal, doa dan amal sholih anak keturunan yang kita didik akan mengalirkan pahala bagi kita.
Mempunyai anak adalah fitrah manusia dan kebahagiaan orang tua adalah memiliki anak. Betapa banyak pasangan yang sampai saat ini berusaha memiliki anak. Mereka bahkan rela mengorbankan apa saja untuk berobat agar memiliki anak. Pasangan yang belum mempunyai anak ini tentu saja sedih hidup mereka belum dikarunai anak.
Anak-anak adalah permata hati dan kebahagiaan bagi mereka yang masih berada dalah fitrah.
Allah Ta’ala berfirman,
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَاْلأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللهُ عِندَهُ حُسْنُ الْمَئَابِ
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, berupa wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali ‘Imran: 14)
Para Nabi ada yang belum dikaruniai anak sampai mereka berumur tua. seperti Nabi Ibrahim dan Zakaria ‘alaihimassalam. Mereka tentu sedih jika tidak mempunyai anak dan yang meneruskan generasi dan gen mereka di muka bumi. Mereka pun berdoa kepada Allah Ta’ala agar dikaruniai anak dan Allah Ta’ala mengabulkan doa mereka.
Perhatikan doa Nabi Zakaria ‘alaihissalam berikut ini,
وَزَكَرِيَّا إِذْ نَادَى رَبَّهُ رَبِّ لَا تَذَرْنِي فَرْداً وَأَنتَ خَيْرُ الْوَارِثِينَْ
فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَوَهَبْنَا لَهُ يَحْيَى وَأَصْلَحْنَا لَهُ زَوْجَهُ
“Dan (ingatlah kisah) Zakaria, ketika dia menyeru Tuhannya, “Ya Tuhanku janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkaulah Waris Yang Paling Baik. Maka Kami memperkenankan do’anya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya dan Kami jadikan istrinya dapat mengandung.” (QS. Al-Anbiya’: 89-90)
Memiliki anak dan mendidik dengan baik termasuk sunnah.
عن أنس بن مالك قال كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَأْمُرُ بِالبَاءَةِ وَيَنْهَى عَنِ التَّبَتُّلِ نَهْيًا شَدِيْدًا وَيَقُوْلُ تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ فَإِنِّي مُكَاثِرُ الْأَنْبِيَاءِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menikah dan melarang keras untuk membujang dan berkata, “Nikahilah wanita yang sangat penyayang dan yang mudah beranak banyak karena aku akan berbangga dengan kalian dihadapan para nabi pada hari kiamat.” (HR. Ibnu Hibban. Lihat Al-Irwa’ no. 1784)
Dalil perintah agar kita memiliki dan memperbanyak keturunan.
Salah satunya bahwa jumlah keturunan yang banyak adalah karunia. Sehingga Kaum Nabi Syu’aib ‘alaihissalam diperingatkan tentang karunia mereka, yaitu jumlah yang banyak padahal dahulunya sedikit,
وَاذْكُرُواْ إِذْ كُنتُمْ قَلِيلاً فَكَثَّرَكُمْ
“Dan ingatlah di waktu dahulu kamu berjumlah sedikit, lalu Allah memperbanyak jumlah kamu.” (QS. Al-A’raf: 86)
Anak anak mendatangkan rizki dengan izin Allah Ta’ala.
Yaitu dengan menjemput rizki dan tidak bermalas-malasan. Allah Ta’ala menyebut memberi rizki anak DAN baru kemudian orang tuanya. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ ۖ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ ۚ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kami-lah yang akan memberi rizki kepada mereka dan juga kepadamu.” (QS. Al-Isra’: 31)
Anak-anak adalah harapan kita ketika sudah tua. Bisa jadi ketika kita tua renta kelak akan berpenyakitan seperti terkena stroke (semoga Allah Ta’ala menjaga kita). Dalam keadaan seperti ini, yang paling ikhlas merawat kita adalah anak-anak kita.
Terlebih anak tersebut adalah anak yang shalih yang berusaha berbakti mencari ridha orang tua.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
رِضَا الرَّبِّ فِي رِضَا الْوَالِدِ، وَسُخْطُ الرَّبِّ فِي سُخْطِ الْوَالِدِ
“Ridha Allah bergantung kepada keridhaan orang tua dan murka Allah bergantung kepada kemurkaan orang tua.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad)
Anak-anak adalah amal jariyah paling berharga yang akan mendoakan kita ketika kita sudah meninggal kelak. Anak-anaklah yang paling mengingat kita dan mendoakan kita di saat orang lain melupakan kita.
Bisa jadi orang tua akan terkaget-kaget di akhirat, karena dia mendapat kedudukan tinggi. Dia bertanya-tanya, ternyata karena doa anak-anaknya, bukan orang lain.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيَرْفَعُ الدَّرَجَةَ لِلْعَبْدِ الصَّالِحِ فِيْ الْجَنَّةِ فَيَقُوْلُ : يَا رَبِّ أَنىَّ لِيْ هَذِهِ ؟ فَيَقُوْلُ : بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ
“Sungguh, Allah benar-benar mengangkat derajat seorang hamba-Nya yang shalih di surga.” Maka ia pun bertanya, “Wahai Rabbku, bagaimana ini bisa terjadi?” Allah menjawab, “Berkat istighfar anakmu bagi dirimu.” (HR. Ahmad, Ibnu Katsir berkata, isnadnya shahih)
Pasangan suami istri umumnya menginginkan keturunan dari pernikahan yang dilangsungkan. Namun, jika ditelisik secara fikih, apa sebenarnya hukum memiliki anak dalam Islam?
Apakah benar-benar diwajibkan? Perlu diketahui apakah memiliki anak dalam Islam adalah tuntutan yang bersifat dharuri dari suatu pernikahan ataukah hukumnya adalah mustahab. Atau jangan-jangan, hukum memiliki anak dalam Islam hanyalah mubah saja?
Allah berfirman dalam penggalan surah an-Nahl ayat 72, yang artinya: "Dan Dia menjadikan untuk kalian melalui istri-istri kalian, berupa anak-anak dan cucu-cucu."
Dijelaskan bahwa ayat-ayat Alquran tentang menghasilkan keturunan dalam sebuah pernikahan adalah bersifat khabariyah (informasi) dan targhib. Dalam buku Fikih Kedokteran karya Endy Astiwara dijelaskan, Imam al-Qurthubi menafsirkan ayat tersebut ke dalam lima pokok.
Antara lain, menunjukkan besarnya nikmat Allah dengan sebab keberadaan anak dalam rumah tangga. Ayat ini juga menunjukkan disyariatkannya suami untuk (juga) melayani istri.
Hal ini sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW yang menjahit sendiri pakaian dan membersihkan sendiri sepatu yang hendak digunakan. Allah berfirman dalam Alquran surah al-Kahfi ayat 46, yang artinya: "Harta dan anak-anak merupakan perhiasan dunia."
Ayat di atas merupakan penolakan halus terhadap Uyainah bin Husain yang berbangga-bangga dengan anak dan harta. Dengan demikian, pernyataan tentang anak-anak di sini adalah bersifat khabariyah, sekaligus larangan untuk berbangga-bangga dengan keduanya.
Terdapat hadis shahih yang memerintahkan untuk memilih istri yang dicintai (al-wadud) dan berpotensi untuk melahirkan banyak anak (al-walud).
Selain itu, terdapat hadis shahih yang memerintahkan untuk memilih istri yang dicintai (al-wadud) dan berpotensi untuk melahirkan banyak anak (al-walud). Sebab, Rasulullah SAW merasa berbahagia dengan banyaknya umatnya.
Nabi bersabda: "Nikahilah wanita-wanita yang kalian cintai dan (wanita-wanita tersebut) berpotensi untuk memiliki banyak anak. Karena sesungguhnya aku (akan merasa bahagia) karena banyaknya umatku dibandingkan umat-umat lainnya." Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, Imam an-Nasa'i, Imam Baihaqi, Imam at-Thabarani, dan sejumlah periwayat hadis lainnya yang dikenal adil dan dhabit.
Oleh karena itu, dijelaskan, memiliki anak adalah salah satu naluri utama manusia yang kemudian ditegaskan dalam Alquran dan hadis untuk berupaya sekuat tenaga dapat memiliki anak. Namun, keinginan memiliki anak dalam Islam tak lepas dari tuntunan syariat yang berlaku. Tidak diperkenankan menginginkan anak dengan cara-cara yang haram.
Banyak anak atau kualitas anak yang utama?
Dalam keterangan di atas, Rasulullah memang menyukai jumlah umatnya yang banyak. Dalam hadis lainnya, Rasulullah juga bersabda: "Ya Allah, limpahkanlah hartanya dan limpahkanlah (jumlah) anaknya. Dan berkahilah apa yang Engkau telah berikan kepadanya." Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim (Muttafaqun Alaih).
Memiliki banyak anak juga mendapatkan keutamaan tersendiri. Rasulullah bersabda mengenai seseorang yang derajatnya ditinggikan di surga, lalu Abu Hurairah terheran-heran dan bertanya bisakah ia juga memperoleh derajat yang tinggi seperti itu di surga, bagaimana caranya? Nabi pun menjawab: "Disebabkan permohonan ampun dari anakmu kepada Allah SWT untukmu."
Namun, di sisi lain, kualitas dalam diri anak juga sama pentingnya. Kualitas anak yang saleh dan salehah serta mampu bermanfaat bagi sekelilingnya adalah hal yang tak luput ditekankan Islam. Rasulullah SAW bersabda: "Mukmin yang kuat (berkualitas) lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada Mukmin yang lemah."
Perintah untuk menyongsong kehadiran bayi dengan rasa sukacita dapat ditemukan pada hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Samurah RA. Dalam hadis itu, Rasulullah SAW bersabda, "Seorang anak itu tergadai dengan akikahnya. Maka hendaklah disembelihkan (dom ba/kambing) untuknya pada hari ketujuh, diberi nama,dan dipitong rambutnya,"(HR.Ahmad,Abu Daud,an Nasai,dan at Tirmizdzi dengan sanad shahinya)
Fitrah Manusia
Segalah sesuatu yang bertentangan dengan fitrah manusia pasti akan menjadi masalah.contoh Manusia fitrahnya membutuhkan makanan untuk bertahan hidup maka akan menjadi masalah kalau tidak ada makanan yang kita masukkan kedalam tubuh kita.Begitupula dengan sebuah pernikahan fitrahnya tujuan dari sebuah pernikahan salah satunya adalah memiliki keturunan,maka akan menjadi aneh memang ketika ada sebuah pasangan menikah namun tidak mau memiliki keturunan.
Menjadi seorang ibu memang tidak mudah. Tidak ada sekolah khusus ibu. Sebab menjadi ibu bukanlah sebuah profesi sebagaimana layaknya profesi dokter, guru, karyawan dan sebagainya. Seorang perempuan hanya akan menjadi seorang ibu manakala dia menikah dan memiliki anak. Kenikmatan dan kebahagiaan menjadi seorang ibu hanya akan dirasakan bagi mereka yang telah memiliki anak. Naluri keibuan dalam diri seorang perempuan yang memiliki anak akan lebih terasah dibandingkan mereka yang belum menikah.
Dan melalui para ibulah kehidupan di dunia ini bisa terus berjalan. Andai tak ada seorang perempuan pun yang bersedia menjadi seorang ibu, tentu kehidupan manusia ini akan segera berakhir. Allah swt berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُوا۟ رَبَّكُمُ ٱلَّذِى خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَٰحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَآءً ۚ
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (QS. An Nisa:1).
Demikianlah Islam menggambarkan tujuan penciptaan manusia laki-laki dan perempuan, yakni agar kehidupan di dunia ini bisa berkembang dan keberadaan manusia akan lestari. Karenanya wacana tentang childfree yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan, jelas bertentangan dengan tujuan penciptaan manusia itu sendiri.
Kemuliaan Menjadi Seorang Ibu
Memang benar, menjadi seorang ibu terkadang dirasakan sebagai sebuah ke-ribet-an tersendiri. Sebab seorang ibu harus memiliki kepiawaian tersendiri untuk menjalankan seluruh tugasnya. Mulai dengan memastikan makanan bagi anak-anaknya, mengecek kesehatannya, mengasah kemampuan fisik, berbahasa, dan kognitifnya, memastikan kesehatan jiwanya hingga mengarahkan pemikirannya. Tentu itu bukan pekerjaan mudah. Sebab itu semua tidak sekadar menghabiskan tenaga, tapi juga menguras emosi dan pikiran. Dan itu sudah mulai dilakukan seorang ibu sejak dia hamil.
Wajarlah jika Rasulullah saw memerintahkan kepada kaum muslimin untuk senantiasa menghormati ibunya. Dalam sebuah hadits dikisahkan: Seseorang datang kepada Rasulullah saw dan berkata, “Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?” Nabi SAW menjawab, “Ibumu!” Dan orang tersebut kembali bertanya,”Kemudian siapa lagi?” Nabi SAW menjawab, “Ibumu!” Orang tersebut bertanya kembali, “Kemudian siapa lagi?” Beliau menjawab, “Ibumu.” Orang tersebut bertanya kembali, “Kemudian siapa lagi?” Nabi SAW menjawab, “Kemudian ayahmu”. (HR. Al Bukhari).
Islam memberikan penghormatan yang sangat besar pada fungsi seorang ibu. Dalam hadis yang diriwayatkan An-Nasa’i, Ibnu Majah, Imam Ahmad, disebutkan:
عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ جَاهِمَةَ السَّلَمِيِّ ، أَنَّ جَاهِمَةَ رضي الله عنه جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَدْتُ أَنْ أَغْزُوَ وَقَدْ جِئْتُ أَسْتَشِيرُكَ . فَقَالَ : هَلْ لَكَ مِنْ أُمٍّ ؟ قَالَ نَعَمْ . قَالَ: فَالْزَمْهَا فَإِنَّ الْجَنَّةَ تَحْتَ رِجْلَيْهَا .
“Dari Mu’awiyah bin Jahimah As-Sulami, bahwasannya ia ia datang menemui Rasulullah saw. Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, saya ingin ikut berperang dan saya sekarang memohon nasihat kepadamu?’ Rasulullah saw lalu bersabda, ‘Kamu masih punya ibu?’ Mu’awiyah menjawab, ‘Ya, masih.’ Rasulullah saw bersabda, ‘Berbaktilah kepada ibumu (lebih dahulu) karena sungguh ada surga di bawah kedua kakinya.’”
Kemuliaan yang sangat besar ini hanya akan dimiliki oleh seorang ibu. Beratnya tugas dan fungsi yang dirasakan seorang ibu sebanding dengan kebahagiaan dan ketenangan hatinya saat dikaruniai seorang anak. Berbanding lurus pula dengan kemuliaan dan penghormatan yang diberikan Allah swt kepadanya.
Bahkan jika seorang ibu melakukannya dengan tulus ikhlas hanya untuk mendapatkan ridlo Allah, maka aktivitas sebagai ibu inilah yang justru kelak bisa mengantarkannya ke pintu surga. Sungguh ini adalah amalan yang bisa jadi “sepele” di mata kebanyakan manusia saat ini, namun sangat besar nilainya disisi Allah swt. Karena itu jika ada emak yang tak ingin punya anak, maka bisa dikatakan visi hidupnya hanya berorientasi dunia. Dan kelak di akhirat dia akan menyesalinya.
Kontribusi Dalam Peradaban
Sesuai fitrahnya ibu adalah sosok yang melahirkan generasi penerus. Sosok ibulah yang akan menentukan kualitas generasi di masa mendatang. Sebagai madrasah pertama dan utama bagi anak, ibu adalah sosok yang akan membentuk kepribadiannya, mengasah pemikiran dan emosinya, serta menentukan arah hidupnya. Sosok ibu yang berkualitas akan mampu mencetak generasi unggul di masa depan.
Tengoklah ibunda para ulama. Mereka memiliki kemampuan luar biasa dalam mendorong dan memotivasi anak-anaknya menjadi ulama besar di masanya. Sufyan ats-Tsaury, seorang tokoh besar tabi’at-tabi’in, memiliki sosok ibu yang luar biasa. Ibunya selalu menyemangati, menasihati, dan mewasiatinya agar semangat dalam mendapatkan pengetahuan. Diantara pesan ibunya adalah, “Anakku, jika engkau menulis 10 huruf, lihatlah! Apakah kau jumpai dalam dirimu bertambah rasa takutmu (kepada Allah), kelemah-lembutanmu, dan ketenanganmu? Jika tidak kau dapati hal itu, ketahuilah ilmu yang kau catat berakibat buruk bagimu. Ia tidak bermanfaat untukmu”. Di kemudian hari Sufyan ats-Tsaury dikenal sebagai orang yang fakih yang disebut dengan amirul mukminin fil hadits (pemimpin umat Islam dalam hadits Nabi).
Demikian pula dengan ibunda Ibnu Taimiyah. Dia adalah perempuan shalihah yang berorientasi akhirat. Seorang ibu yang kuat, yang lebih senang anaknya bermanfaat bagi orang banyak ketimbang untuk dirinya sendiri. Sosok perempuan cerdas yang menjadikan anaknya investasi untuk kehidupan setelah kematian.
Inilah cuplikan surat yang ditulis ibunda Ibnu Taimiyah kepadanya, ketika beliau memohon izin kepada sang ibu untuk tetap tinggal di Mesir. “Demi Allah, seperti inilah caraku mendidikmu. Aku nadzarkan dirimu untuk berkhidmat kepada Islam dan kaum muslimin.Aku didik engkau di atas syariat agama. Wahai anakku, jangan kau sangka, engkau berada di sisiku itu lebih aku cintai dibanding kedekatanmu pada agama, berkhidmat untuk Islam dan kaum muslimin walaupun kau berada di penjuru negeri. Anakku, ridhaku kepadamu berbanding lurus dengan apa yang kau persembahkan untuk agamamu dan kaum muslimin.
Sungguh –wahai ananda-, di hadapan Allah kelak aku tidak akan menanyakan keadaanmu, karena aku tahu dimana dirimu dan dalam keadaan seperti apa engkau. Yang akan kutanyakan dihadapan Allah kelak tentangmu –wahai Ahmad- sejauh mana khidmatmu kepada agama Allah dan saudara-saudaramu kaum muslimin”.
Surat ini memberikan kesan yang cukup mendalam kepada kita tentang sosok ibunda Ibnu Taimiyah bahwa ia adalah wanita yang teguh jiwa dan hatinya. Dan dari sosok ibu berkualitas seperti ini lahirlah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang karyanya masih terus dinikmati kaum muslimin hingga kini.
Dan masih banyak lagi contohnya. Para ibu itulah yang memiliki peran cukup besar dalam mencetak para ulama seperti para imam madzhab, mencetak para pemimpin umat seperti Harun Al Rasyid dan Umar bin Abdul Azis, dan juga mencetak para panglima perang seperti Muhammad Al Fatih dan Sholahuddin al Ayyubi. Artinya dengan menjadi seorang ibu, perempuan bisa memberikan kontribusi yang sangat besar dalam membangun sebuah peradaban, membangkitkan Islam, dan meraih kejayaannya. Karenanya jika ada emak yang tak ingin punya anak, maka sebenarnya dia memiliki cita-cita yang sangat rendah, hanya mementingkan diri sendiri untuk kebahagiaan sesaat di dunia.
Menurut Ustadzah Elizabeth,beliau sebagai Pendidik dan Pemerhati isu Muslimah Lulusan Pondok Modern Gontor.Beberapa hal sebagai solusi atas masalah isu childfree ini.
Edukasi bahwa nikah adalah ibadah
Menurutnya, generasi saat ini harus lebih diberi pemahaman bahwa pernikahan adalah ibadah, bukan sekedar tindakan untuk menyenangkan diri sendiri. Menikah disebutnya juga upaya untuk mempersiapkan generasi yang mewarisi kesalehan dan keimanan kepada Allah SWT. Perlu juga diingatkan kembali tentang ayat tujuan penciptaan manusia yang jika dipahami betul, konsep child free ini bahkan tidak akan terbenak sedikitpun.
Bimbingan orangtua dalam memilih pasangan
Ustadzah Elizabeth menyebutkan, orang tua sebagai pendidik utama bagi seorang anak harus membimbing dalam hal memilih pasangan untuk anak. Calon pasangan yang terpenting adalah orang yang mengajak kepada tujuan terpenting pernikahan, yakni ibadah di setiap aktivitasnya.
“Saya pernah kedatangan orang yang mengaku akan menikah dengan orang asing yang dikenal dari media sosial. Tanpa tahu sholatnya bagaimana, tanpa tahu asal usul keluarganya. Dari sini lah konsep child free ini berawal,”katanya.
Peran pendidik
Mudahnya akses informasi saat ini membuat mudah juga ide atau pemahaman asing diketahui anak. Untuk itu, peran guru di sekolah-sekolah juga sangat penting untuk membimbing anak kepada pemahaman yang benar bagi seorang Muslim.
“Guru tanggung jawabnya menyiapkan generasi sekarang. Bisa lolosnya konsep seperti ini berarti kan ada yang memperkenalkan. Berarti juga tidak ada yang menjaganya (anak),”tuturnya.
Dorongan pemerintah
Orang-orang yang mempraktikkan child free, saat ini disebutnya memang lebih banyak dari kalangan orang dengan ekonomi yang cukup. Tapi pemerintah juga dikatakannya perlu melakukan berbagai dorongan atau stimulus agar alasan-alasan child free seperti tingkat ekonomi yang lemah bisa dihindari.
“Perlu ada kebijakan-kebijakan yang mendukung masyarakat agar merasa aman untuk berkeluarga, membangun generasi, punya anak,”katanya.
“Saya pernah di Australia, di sana ketika lahir anak mendapatkan haknya, dijamin sekolahnya. Kemudian dari sisi kebutuhan dasarnya dijamin hak makannya. Kalau yang cacat malah diberi rumah,” tambahnya.
Seiring dengan banyaknya orang orang yang mengangkat isu childfree ini,harus dioringi dengan pemberian informasi tentang konsep Islam.kampanye kampanye dengan pendekatan kekinian sangat penting agar informasi atau konsep islam tidak menjadi asing bagi Muslim sendiri.
Tentu saja konsep childfree ini tidak sesuai dengan ajaran Islam, sangat banyak sekali poin-poinnya, di antaranya:
Pertama,
Mempunyai anak adalah fitrah manusia dan kebahagiaan orang tua adalah memiliki anak. Betapa banyak pasangan mandul yang sampai saat ini berusaha memiliki anak. Mereka bahkan rela mengorbankan apa saja untuk berobat agar memiliki anak. Pasangan yang mandul ini tentu saja sedih hidup mereka belum dikarunai anak.
Anak-anak adalah permata hati dan kebahagiaan bagi mereka yang masih berada dalah fitrah.
Allah Ta’ala berfirman,
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَاْلأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللهُ عِندَهُ حُسْنُ الْمَئَابِ
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, berupa wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali ‘Imran: 14)
Para Nabi ada yang belum dikaruniai anak sampai mereka berumur tua. seperti Nabi Ibrahim dan Zakaria ‘alaihimassalam. Mereka tentu sedih jika tidak mempunyai anak dan yang meneruskan generasi dan gen mereka di muka bumi. Mereka pun berdoa kepada Allah Ta’ala agar dikaruniai anak dan Allah Ta’ala mengabulkan doa mereka.
Perhatikan doa Nabi Zakaria ‘alaihissalam berikut ini,
وَزَكَرِيَّا إِذْ نَادَى رَبَّهُ رَبِّ لَا تَذَرْنِي فَرْداً وَأَنتَ خَيْرُ الْوَارِثِينَْ
فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَوَهَبْنَا لَهُ يَحْيَى وَأَصْلَحْنَا لَهُ زَوْجَهُ
“Dan (ingatlah kisah) Zakaria, ketika dia menyeru Tuhannya, “Ya Tuhanku janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkaulah Waris Yang Paling Baik. Maka Kami memperkenankan do’anya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya dan Kami jadikan istrinya dapat mengandung.” (QS. Al-Anbiya’: 89-90)
Kedua,
Memiliki anak dan mendidik dengan baik termasuk sunnah.
عن أنس بن مالك قال كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَأْمُرُ بِالبَاءَةِ وَيَنْهَى عَنِ التَّبَتُّلِ نَهْيًا شَدِيْدًا وَيَقُوْلُ تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ فَإِنِّي مُكَاثِرُ الْأَنْبِيَاءِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menikah dan melarang keras untuk membujang dan berkata, “Nikahilah wanita yang sangat penyayang dan yang mudah beranak banyak karena aku akan berbangga dengan kalian dihadapan para nabi pada hari kiamat.” (HR. Ibnu Hibban. Lihat Al-Irwa’ no. 1784)
Ketiga,
Terlalu banyak dalil perintah agar kita memiliki dan memperbanyak keturunan.
Salah satunya bahwa jumlah keturunan yang banyak adalah karunia. Sehingga Kaum Nabi Syu’aib ‘alaihissalam diperingatkan tentang karunia mereka, yaitu jumlah yang banyak padahal dahulunya sedikit,
وَاذْكُرُواْ إِذْ كُنتُمْ قَلِيلاً فَكَثَّرَكُمْ
“Dan ingatlah di waktu dahulu kamu berjumlah sedikit, lalu Allah memperbanyak jumlah kamu.” (QS. Al-A’raf: 86)
Keempat
Anak mendatangkan rizki dengan izin Allah Ta’ala.
Yaitu dengan menjemput rizki dan tidak bermalas - malasan.Allah Ta'alah menyebut memberi rizki anak dan baru kemudian orang tuanya.Allah Ta'alah berfirman.
Yang artinya:
"Dan janganlah kamu membunuh anak anakmu karena takut kemiskinan.Kamilah yang akan memberi rizki kepada mereka dan juga kepadamu"( QS.Al-. Isro':31)
Kelima,
Anak-anak adalah harapan kita ketika sudah tua. Bisa jadi ketika kita tua renta kelak akan berpenyakitan seperti terkena stroke (semoga Allah Ta’ala menjaga kita). Dalam keadaan seperti ini, yang paling ikhlas merawat kita adalah anak-anak kita.
Terlebih anak tersebut adalah anak yang shalih yang berusaha berbakti mencari ridha orang tua.
Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda
"Ridha Allah bergantung kepada keridhoan orang tua dan murka Allah bergantung kepada kemurkaan orang tua"(HR.Bukhari dalam Adabul Mufrad)
Keenam
Aanak anak adalah amal jariyah paling berharga yang akan mendoakan kita ketika kita sudah meninggal kelak.anak anaklah yang paling mengingat kita dan mendoakan kita disaat orang lain melupakan kita
Jelas bahwa Childfree merupakan Pola Pikir yang salah, karena melawan fitrah.
Allah Swt. berfirman, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (TQS Ar-Rum [30]: 30).
Fitrah itu tidak berubah. Jika Allah telah ciptakan potensi hidup pada manusia, yakni berupa akal, naluri, dan hajatul udhawiyah (kebutuhan jasmani), itulah fitrah pada manusia. Pun ketika salah satu naluri, yaitu naluri nau’ (naluri untuk melanjutkan keturunan) itu juga salah satu bagian dari potensi yang diciptakan Allah bagi diri manusia, hal itu juga tidak akan berubah.
Terkait hal ini, Allah Swt. berfirman, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak.” (TQS Ar-Rum [30] : 20).
Jadi, jelas sekali pola pikir childfree atau yang semacamnya, adalah pola pikir yang keliru, bahkan melawan fitrah penciptaan manusia yang telah diberikan oleh Allah.
Tak kalah keliru juga ketika motif ekonomi dan pertimbangan karier duniawi menjadi dalih untuk melakukan childfree ataupun no marriage. Apalagi pola pikir mengenai adopsi anak telantar yang dianggap lebih baik dibandingkan memiliki anak kandung.
Islam tidak pernah membatasi jumlah anak. Islam menegaskan bahwa anak adalah rezeki. Rezeki masing-masing anak adalah dalam jaminan Allah. Ketika kita memegang Islam dengan sungguh-sungguh, kita tidak akan ragu untuk memiliki anak. Tentunya, free saja soal jumlah anak. Jika memungkinkan, silakan memiliki anak yang banyak.
Sementara itu, di satu sisi, Islam memberikan banyak sekali pilar-pilar pendidikan generasi. Di sisi lain, Islam juga memotivasi umatnya agar menjadikan anak-anak merek sebagai aset dunia dan akhirat.
Sungguh, banyak sekali keutamaan yang diberikan oleh Allah Swt. terkait dengan memiliki anak, baik di dunia maupun di akhirat. Sebagai umat yang beriman, hendaknya kita senantiasa berusaha sami’naa wa ‘atha’naa. Keimanan adalah tanpa banyak dalih yang justru memberi kesempatan setan untuk menyesatkan.
Allah Swt. berfirman, “Rasul telah beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan), ‘Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya,’ dan mereka mengatakan, ‘Kami dengar dan kami taat.’ (Mereka berdoa), ‘Ampunilah kami, ya Tuhan kami, dan kepada Engkaulah tempat kembali.'” (TQS Al-Baqarah [2]: 285). (MNews/Gz0)
#Hasil Copas dari beberapa Sumber#
#Semogah Bermanfaat#
Tags
Opini