Kekerasan Seksual dan Solusi Total



Oleh: Nurul Azmi

 

Baru-Baru ini dunia sedang memperingati Hari Kesehatan Seksual yang di adakan lebih dari 60 negara di dunia pada tanggal 4 September setiap tahunnya, melalui peringatan ini, World Association For Sexual Health mengajak masyarakat lebih terbuka akan pentingnya pembicaraan mengenai seksual di ruang publik. Pasalnya pembicaraan mengenai seksualitas di ruang publik masih dianggap tabu oleh sebagian orang (Cnn Indonesia,3/9/2021)

 

Membahas mengenai seksualitas yang masih di anggap tabu, terlebih pada negara ketimuran seperti Indonesia, memang hal yang perlu dijadikan bahan pembelajaran agar masyarakat paham dan tidak menjadikannya sebagai sesuatu yang di anggap remeh. Sejauh ini pemerintah telah melakukan internalisasi dan menyisipkan Pendidikan Seks dan Kesehatan reproduksi dalam kurikulum 2013 melalu berbagai mata pelajaran seperti biologi, pendidikan olahraga, dan pendidikan agama. Sayangnya, usaha ini belum memberikan hasil yang memuaskan, karna banyak sekolah yang menerapkan program pendidikan seks dan kespro dalam mata pelajaran dengan alasan tabu atau karena keteteran dengan mata pelajaran utama.

 

Mirisnya lagi, kasus kekerasan seksual masih saja marak, Peningkatan kasus selama pandemi juga terjadi terhadap anak yang menjadi korban kejahatan seksual online, dari sebelumnya 87 laporan, menjadi 103 laporan. Selain itu, kasus anak yang mengoleksi konten pornografi meningkat empat kali lipat dari masa sebelum pandemi. Semula 94 kasus, menjadi 389 kasus. (bbc.com/indonesia/majalah), yang terbaru adalah dugaan kasus perundungan dan pelecehan seksual yang dialami pegawai Komisi Penyiaran indonesia (KPI). Berkaitan dengan payung hukum pelecehan seksual ini, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) diubah menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TP-KS) yang dimana sebanyak 85 pasal hilang dalam perubahan judul tersebut.

 

Banyaknya kasus kekerasan seksual yang terungkap ke publik hanyalah fenomena gunung es. Kasus semacam ini pasti akan terus bertambah bila akar masalah yang ada tidak segera diselesaikan. Apakah pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) adalah solusi kunci penyelesaian kekerasan seksual?

 

Perubahan Draf RUU P-KS

Baleg DPR RI ternyata membuat draf baru menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TP-KS). Terminologi itu digunakan untuk mengambil pendekatan hukum bahwa kekerasan seksual merupakan Tindakan Pidana Khusus. Adapun terminologi pemerkosaan diperhalus menjadi pemaksaan hubungan seksual.

 

Naskah RUU TP-KS hanya memuat 4 bentuk kekerasan seksual dari 9 jenis kekerasan seksual yang ditetapkan Komnas Perempuan dan menghapus 85 pasal. Tim ahli dari Baleg, Sabari Barus, menyatakan bahwa jenis kekerasan seksual yang dihapus telah diatur dalam KUHP, sehingga tak perlu diatur ulang dalam RUU P-KS.

 

Disinilah, Para Pegiat gender berjuang keras menolak perubahan karena menghilangkan elemen kunci. Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Kekerasan Seksual (Kompaks) mengecam perubahan judul dan penghapusan elemen-elemen kunci. Mereka menilai draf perubahan RUU P-KS sebagai kemunduran bagi pemenuhan dan perlindungan hak-hak korban kekerasan seksual.

 

Menurut Kompaks, draf RUU terbaru tidak berpihak pada korban. Tampak dari tidak adanya kewajiban bagi pemerintah dalam pemenuhan hak korban. Juga penghapusan paralegal sebagai pendamping korban kekerasan seksual

Penghapusan paralegal dinilai akan menutup celah bagi organisasi masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemberian bantuan hukum bagi korban. Perlindungan hak korban inilah yang selalu dijadikan sebagai alasan untuk mendesak pengesahan RUU P-KS.

 

Liberasi apakah Solusi

Dalam rapat yang digelar di gedung MPR/DPR (13/7/2021) Ketua Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI,) Badriyah Fayumi menegaskan pandangan tentang kekerasan seksual yang dikeluarkan oleh organisasinya murni berasal dari ulama-ulama perempuan yang berinteraksi di akar rumput. KUPI dan Koalisi Perempuan Indonesia menegaskan bahwa RUU P-KS bukan pesanan dari gerakan feminis global. Sementara anggota Baleg DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Taufik Basari, mengatakan bahwa pembahasan RUU P-KS bukan berdasarkan kecurigaan konspirasi pesanan budaya Barat ataupun konspirasi gerakan LGBT.

 

Pada faktanya, pembuatan regulasi semacam itu sesungguhnya merupakan konsekuensi ratifikasi berbagai konvensi global. Pembuatan UU diyakini sebagai payung hukum untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan sebagai akibat adanya diskriminasi terhadap perempuan.

 

Jelaslah, pengesahan UU terkait penghapusan kekerasan seksual merupakan salah satu bentuk komitmen untuk mewujudkan kesetaraan gender yang diaruskan global. Indonesia, sebagai negara yang telah meratifikasi CEDAW (Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women) juga diwajibkan untuk menjalankan langkah-langkah perlindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan korban kekerasan. Oleh sebab itu, sejak 2011, kalangan feminis telah menuntut DPR segera membahas RUU Kekerasan Seksual yang digagas LBH APIK.

 

Sejatinya, pengesahan UU semacam itu tidak akan mampu mencegah terjadinya kekerasan seksual, bahkan justru akan mengakibatkan persoalan baru. UU ini lahir dari pemikiran Barat yang menjunjung tinggi kebebasan. Oleh karena itu, yang dianggap sebagai pelanggaran hanyalah yang dilakukan dengan pemaksaan dan membiarkan pelaku yang melakukannya atas dasar suka sama suka. Sementara menurut Islam, aktivitas seksual di luar pernikahan adalah dosa besar, meski dilakukan suka sama suka. Islam juga mengharamkan aborsi aman bagi korban perkosaan.

 

Solusi Islam dengan Totalitas sampai Tuntas

Kekerasan seksual telah menjadi “pandemi”, baik di negara-negara kapitalis Barat maupun negeri-negeri muslim. WHO menyebutkan 1 dari 3 perempuan di dunia pernah mengalami kekerasan (9/3/2021). Terdapat sekitar 736 juta perempuan tercatat pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual oleh pasangan atau kekerasan seksual dari nonpasangan. Disinilah peran Islam sebagai Ideologi, yang mengatur berbagai bidang kehidupan dan menjadi solusi atas berbagai problematika kehidupan salah satunya atas kasus kekerasan seksual yang tak kunjung habis permasalahannya.

 

 Dalam pandangan Islam, apa yang mereka sebut sebagai kekerasan seksual hakikatnya adalah kejahatan seksual, yang merupakan pelanggaran terhadap hukum Allah. Islam telah menetapkan sanksi yang tegas, seperti hukum rajam bagi para pezina yang sudah menikah dan jilid bagi pezina yang belum menikah, hukuman mati bagi pelaku homoseksual, dan sanksi lainnya. Semua sanksi ini yang akan membuat jera orang lain dan menjadi penebus dosa pelakunya.

 

Islam juga menutup semua pintu yang akan menghantarkan terjadinya kekerasan seksual. Sistem pergaulan Islam akan menjaga interaksi laki-laki dengan perempuan. Sistem sosial Islam akan mendidik masyarakat untuk menjaga kehormatan setiap warga negara dengan kewajiban menutup aurat, pemisahan kehidupan laki-laki dan perempuan, meski tetap memberi jalan bagi keduanya untuk saling membantu dalam mewujudkan kemaslahatan bersama.

 

Sistem pendidikan Islam akan mengantarkan setiap muslim menjadi individu yang bertakwa yang menjauhkan diri dari kemaksiatan. Demikian halnya sistem kesehatan Islam, akan memberikan layanan paripurna kepada para korban sesuai dengan tuntunan Islam.

Bersama dengan sistem lainnya yang terintegrasi dalam satu wadah (Khilafah islamiah), Islam mampu memberantas kekerasan seksual dengan tuntas. Aturan-aturan terperinci yang berasal dari aturan Allah Zat Yang Mahabenar, akan memberi solusi tepat. Berbeda dengan aturan yang berasal dari akal manusia yang lemah, tidak akan mampu menyelesaikan akar masalah.

 

Dalam sistem Islam terdapat tiga benteng perlindungan terhadap setiap muslim agar terpenuhi hak dan kewajibannya. Pertama, benteng pertahanan keluarga. Keluarga adalah perisai yang langsung berhubungan dengan anak-anak. Di tangan keluarga pendidikan anak-anak pertama kali diletakkan. Allah Swt, berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkannya.” (QS At-Tahrim: 6).

 

Berdasarkan ayat di atas, Allah memerintahkan kepada orang tua untuk menjaga anak-anak mereka. Mulai dari menanamkan akidah Islam, memberikan pendidikan yang baik, mengingatkan dengan cara yang makruf apabila berbuat salah, hingga menjamin pendidikan dan pergaulan yang benar di lingkungannya. Di mulai dari keluarga lah setiap muslim akan memiliki pemahaman akan pergaulan yang baik dan terjauhi dari kasus kekrasan atau kejahatan seksual.

 

Kemudian, masyarakat adalah benteng pertahanan kedua. Masyarakat bertugas melakukan amar makruf nahi mungkar. Jika melihat kekerasan atau perlakuan tidak baik terhadap anak dan perempuan, masyarakat harus sigap mengingatkan. Selain itu, masyarakat juga berkewajiban memberikan koreksi kepada penguasa manakala salah dalam mengambil kebijakan. Masyarakat Islam memiliki pemikiran, perasaan, dan peraturan yang khas. Suka dan bencinya dilandaskan pada Islam. Sehingga, jika ada yang diperlakukan tidak sesuai dengan Islam, masyarakat akan langsung bertindak.

 

Benteng ketiga adalah negara. Tanpa bantuan negara, keluarga dan masyarakat tak akan mampu menjalankan tugasnya dengan maksimal. Negara yang berlandaskan Islam akan menerapkan kebijakan perlindungan korban kejahatan seksual. mengatur interaksi antara laki-laki dan perempuan, menjaga mereka dengan adab kesopanan, larangan berkhalwat, menjauhkan dari eksploitasi anak maupun seksual, serta melarang pornografi dan pornoaksi. Dengan begitu, semua unsur penyebab kejahatan seksual akan terbendung.

 

Ada lagi penerapan peraturan media massa. Adanya kebijakan media—hanya boleh menampilkan acara yang sesuai syariat—akan menjaga masyarakat dari pemicu kejahatan. Selama ini, media memiliki peran besar dalam tindak kekerasan terhadap anak. Mulai dari maraknya tontonan kekerasan, film perundungan, hingga adegan percintaan yang tidak layak dipertontonkan. Hal demikian tidak akan terjadi di negara yang diatur sistem Islam.

Terakhir adalah penerapan sistem sanksi. Sistem sanksi yang tegas akan memberikan efek jera, selain menebus dosa para pelaku kejahatan. Penerapan semua sistem tadi akan dapat melindungi anak dari tindak kejahatan.

 

Dengan demikian, sekadar membuat PP perlindungan anak tanpa mengganti landasan sistem aturannya, tidak akan menjamin perlindungan anak 100% terpenuhi. Hanya sistem Islam yang dapat melakukan hal itu. Maka, masihkah berpikir lagi untuk mengambil Islam?

Wallahu’alam Bi Shawwab

 



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak