Oleh : Rindoe Arrayah
Gejolak di Afghanistan masih saja belum reda setelah negara itu dikuasai kelompok Taliban pada Minggu, 15 Agustus 2021. Situasi menjadi demikian mencekam setelah Presiden Afghanistan Ashraf Ghani dilaporkan melarikan diri ke Tajikistan (cnnindonesia.com).
Sebenarnya, Taliban bukanlah pemain baru yang menguasai Afghanistan. Kelompok itu juga pernah berkuasa 20 tahun silam dan menjadi kecaman dunia usai dianggap melanggar hak asasi manusia hingga budaya. Salah satu yang paling terkenal ketika Taliban melanjutkan penghancuran patung Buddha Bamiyan yang terkenal di Afghanistan tengah pada 2001, sehingga memicu kemarahan publik internasional.
Taliban bahkan berhasil merebut ibu kota Kabul dan menggulingkan rezim pemerintahan Afghanistan pada tahun 1996, yang saat itu dijabat oleh Presiden Burhanuddin Rabbani. Dua tahun berlalu, Taliban sudah menguasai hampir 90% wilayah Afghanistan. Taliban kemudian mulai memperkenalkan hukuman yang disebut sejalan dengan hukum syariah. Mulai dari hukuman eksekusi dan potong tangan hingga melarang anak perempuan mengakses pendidikan. Kelompok Taliban arti harafiahnya adalah kaum santri, dicap sebagai gerakan Islamis fundamentalis yang bergiat di Afghanistan. Taliban berkuasa resmi di Afghanistan dari 1996 hingga 2001 setelah menggulingkan pemerintahan Mujahiddin yang didukung Amerika Serikat (detik.com 23/8/2021) .
Konflik ini telah dilalui oleh rakyat Afghanistan selama puluhan tahun lamanya. AS menyerang Taliban atas nama ‘perang melawan teroris’, yang pada kenyataannya adalah perang melawan Islam dan Muslim. Meskipun AS dan NATO menghabiskan miliaran dolar selama hampir 20 tahun untuk membangun pasukan keamanan Afghanistan dan kehilangan sekitar 2500 tentara dengan lebih dari 20.000 terluka dan puluhan ribu dari mereka telah meninggalkan tanah ini (tirto.id).
Publik perlu ketahui bahwa tidak ada faktor tunggal yang terjadi di Afganistan. Taliban yang seolah-olah membawa representasi dari Islam lalu akhirnya umat Islam lupa memahami bagaimana langkah dan arah perjuangan mereka. Publik harus ingat, pada 29/2/2020, telah terjadi perjanjian antara AS dan Taliban. Poin yang paling menonjol dalam perjanjian tersebut ialah pejabat AS dan Afganistan mengumumkan bahwa AS dan NATO akan menarik pasukan mereka dari Afganistan dalam waktu 14 bulan jika Taliban memenuhi komitmennya berdasarkan perjanjian yang ditandatangani di Doha (BBC News).
Lalu, mengapa AS dan Taliban bisa berkompromi lewat perjanjian Doha? Pastinya AS tetap berupaya mengamankan kepentingannya di Afganistan. Pertama, AS menjaga kepentingan di level global, sehingga ia tidak akan mengubah konstelasi global salah satunya lewat perjanjian Doha. Kedua, AS merupakan negara imperialis yang akan tetap berusaha agar nilai-nilai AS tetap terjaga di setiap negeri muslim, yaitu demokrasi, hak asasi manusia (HAM), membuka diri atas pasar bebas liberalisasi, dan sebagainya.
Sejak 2001 pasukan AS telah menduduki Afghanistan dengan alasan mengawal proses demokratisasi dan menghalangi penguasaan oleh Taliban. Meski saat ini AS resmi menarik mundur pasukannya, tetapi tidak menutup peluang besar bagi AS untuk tetap mengendalikan negeri tersebut lewat perjanjian dan perundingan. Taliban telah masuk ke dalam negosiasi AS, sehingga pengaruh AS di Afganistan akan tetap bisa berjalan aman.
Jika publik mengikuti dengan jeli pemberitaan serta berbagai analisis dari berbagai pengamat politik internasional, akan didapati bahwa Taliban saat ini bukanlah Taliban yang berjuang menerapkan Islam secara kaffah, melainkan Taliban yang siap diajak kompromi dan berunding lewat perjanjian. Terbukti dengan adanya Perjanjian Doha yang telah disepakati antara AS dan Taliban. Taliban sendiri akhirnya terperangkap dengan perundingan bersama AS.
Seharusnya, Taliban mencampakkan seluruh perundingan dengan AS dan memperjuangkan serta menerapkan sistem Islam secara kaffah. Bukan sebatas klaim dan teori jika dikatakan akan berdiri sebagai rezim Islam tetapi masih menjalankan nilai-nilai Barat.
Dari sini, bisa dilihat bahwa tak ada bedanya dengan sistem politik yang dijalankan sebelumnya. Taliban juga tidak seharusnya jatuh ke dalam politik pragmatis, melainkan memerangi penindas dengan konsisten dan sabar, hingga tujuan utama dapat dicapai yaitu menerapkan Islam secara total di seluruh dunia. Kecil kemungkinan umat Islam atas Taliban untuk mengubah pemerintah ke arah Islam. Taliban tidak dapat dijadikan gerakan Islam dalam memperjuangkan Islam kaffah. Sebab, Taliban masih terjebak ke dalam berbagai negosiasi serta kesepakatan bersama dengan AS sang tuan imperialis.
Rasulullah saw. telah mencontohkan kepada umat Islam langkah-langkah menerapkan Islam secara kaffah.
Perjuangan Taliban hendaknya mencontoh metode Rasulullah saw. tersebut. Bukan justru terikat dengan perjanjian kesepakatan bersama musuh-musuh Islam. Di samping itu, sudah semestinya mempersiapkan umat untuk bersama menegakkan Islam.
Untuk itu, Taliban harus menghentikan seluruh negosiasi dengan AS. Tidak memberikan peluang bagi AS untuk menjalankan kepentingannya di negeri Islam, menegakkan Islam secara kaffah dalam institusi negara yang merupakan kewajiban dari Allah Swt. dan ketaatan kepada Rasul-Nya.
Seharusnyanya, mereka memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana firman Allah Swt., “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” (QS Al-Anfal: 24)
Islam adalah satu-satunya solusi pasti bagi terselesaikannya berbagai konflik yang ada di muka bumi ini, tak terkecuali yang terjadi di Afghanistan. Oleh karena itu, mari kembali tegakkan syari’at-Nya dalam naungan Khilafah Islamiyah agar kemaslahatan senantiasa melingkupi dalam setiap lini kehidupan.
Wallahu 'alam bishshowab.