Oleh: Ummu Hanan (Analis Media dan Aktivis Dakwah di Bandung)
Pengangkatan proses guru honorer menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang harus melalui seleksi di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bukannya menjadi angin segar bagi para pahlawan tanpa tanda jasa, kebijakan ini justru dinilai buruk oleh beberapa kalangan.
Sebut saja Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) DPP Partai Demokrat Irwan Fecho yang mengatakan bahwa proses pengangkatan guru honorer menjadi PPPK seharusnya dilakukan berdasarkan masa pengabdian seseorang sebagai guru. Menurutnya, guru yang telah cukup masa mengabdinya seharusnya tidak mengikuti proses seleksi lagi karena akan mengalami kesulitan bersaing dengan guru yang masih muda masa pengabdiannya (sindonews.com, 19/09/21).
Proses seleksi ini memang dikritik karena dirasa tidak efektif dan seolah "melupakan" dan tidak mengapresiasi pengabdian yang dilakukan para guru honorer yang tersebar sampai pedalaman Indonesia. Pasalnya, tidak sedikit guru honorer, terutama yang usianya lanjut, gagal menembus ambang batas tes PPPK dan CPNS yang ditetapkan pemerintah.
Miris, padahal mudah saja jika pemerintah mau dan segera mengangkat status guru honorer dengan masa bakti mereka sebagai bahan pertimbangan.
Kritik yang dilontarkan tentu saja tidak hanya berfokus pada status guru dari honorer menjadi PPPK atau CPNS. Melainkan posisi guru yang merupakan pelita bangsa kini kian meredup seiring dengan cueknya respon pemerintah terhadap peran guru honorer.
Penghargaan terhadap guru di negeri ini semakin terlihat bertolak belakang dengan apresiasi negara lain. Luxemburg, Swiss dan Korea Selatan mengapresiasi para guru dengan memberikan gaji atau insentif guru per tahun dengan dana yang pantas bagi mereka.
Rasulullah saw bahkan mengancam kaum yang tidak memahami hak ulama: “Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda serta yang tidak mengerti hak ulama” (HR. Ahmad dan dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami).
Hadits di atas dengan jelas menunjukkan bahwa Islam merupakan agama yang akan menjaga hak-hak kaum muslimin, terutama hak bagi pendidik umat.
Dalam Islam, pendidikan merupakan hak dasar warga negara. Pemerintah dalam sistem Islam akan memudahkan proses pendidikan dan menyediakan fasilitas baik sarana dan prasarana secara gratis.
Meskipun gratis, hak guru pasti akan terjamin. gaji guru pada masa khalifah Umar Ibn Khattab dengan 15 dinar setara dengan 33 juta/bulan. Sebuah angka atau nominal pendapatan guru yang sangat fantastis jika direalisasikan untuk kehidupan saat ini.
Ini sangat ironi dan paradoks dengan kenyataan guru di Indonesia khususnya. Kita masih melihat guru yang mendapatkan gaji di bawah Rp.500 ribu/bulan.
Oleh karena itu, sudah cukup untuk bergantung pada sistem yang pada ujungnya membawa kesulitan. Sebagai negeri dengan mayoritas kaum muslimin terbesar di dunia, sudah waktunya bagi kita untuk mencari solusi alternatif atas persoalan status guru honorer.
Solusi utama dan satu-satunya bagi riwayat status guru ini tidak lain dan tidak bukan yakni kembalinya sistem aturan Islam yang harus diambil dan diteladani oleh negara. Dengan syariah yang diterapkan, maka riwayat guru honorer tak akan begitu saja mengalir ke muara kebijakan yang kurang tepat.
(Wallahu a'lam bis shawab)