Wakil Sekretaris Jenderal
(Wasekjen) DPP Partai Demokrat Irwan Fecho mengkritik pengangkatan
proses guru honorer menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian
Kerja (PPPK) yang harus melalui seleksi di era pemerintahan Presiden
Joko Widodo (Jokowi). Dia berpandangan proses pengangkatan guru honorer menjadi
PPPK seharusnya dilakukan berdasarkan masa pengabdian seseorang sebagai guru.
Menurutnya, guru yang telah cukup masa mengabdinya seharusnya tidak mengikuti
proses seleksi lagi karena akan mengalami kesulitan bersaing dengan guru yang
masih muda masa pengabdiannya
Irwan menyayangkan pemerintah
masih membiarkan guru-guru honorer yang cukup masa pengabdiannya mengikuti
proses seleksi PPPK serta CPNS hanya untuk memperoleh kesejahteraannya. Dia pun
mempertanyakan perhatian Mendikbud Ristek Nadiem Makarim terhadap dedikasi para
guru, apalagi ketika tahu ada yang gagal menembus ambang batas seleksi (passing
grade).
Nasib Guru Honorer Yang Semakin
Menderita
Pegawai Pemerintah dengan
Perjanjian Kerja (PPPK) guru
honorer adalah individu yang ditugaskan sebagai guru bukan ASN di satuan
Pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah. Sungguh tidak adil
nasib yang dialami para guru honorer ini. Padahal jika kita melihat faktanya
guru honorer kebanyakan memiliki tugas dan juga beban yang sama dengan guru
berstatus PNS yang sudah menerima gaji tetap serta fasilitas dan tunjangan.
Belum lagi di masa pandemi
Covid-19 menjadi lebih sulit bagi mereka, karena pembelajaran jarak jauh (PJJ)
terlihat sekali banyak kendala di lapangan. Seperti yang kita ketahui di
sebagian wilayah desa masih banyak sekali siswa siswi yang kesulitan dalam
mengakses internet atau bahkan tidak memiliki gadget sehingga ini membuat para
guru harus berkeliling ke tiap rumah siswanya untuk memastikan materi
pembelajaran di terima dan dipahami oleh semua siswanya.
Dari kebijakan ini, tampak jelas
pemerintah tidak memprioritaskan pendidikan sebagai masalah utama. Padahal,
kesejahteraan guru bisa berpengaruh pada produktivitas mereka sebagai guru. Tatkala guru tak diberi fasilitas
dan sarana yang mumpuni, dan gaji rendah, bisa-bisa pendidik negeri ini beralih
profesi. Karena menjadi guru tak sejahtera, bisa saja mereka banting setir
menekuni pekerjaan yang lebih memapankan hidup mereka.
Apalagi bila profesi guru menjadi
nafkah utama keluarga. Himpitan ekonomi keluarga menjadi alasan guru tak
optimal dan maksimal dalam memenuhi tugas kependidikannya. Padahal peran mereka
sangat besar dalam membentuk generasi berakhlak mulia dan berkualitas.
Paradigma sistem pendidikan di negeri ini patut dipertanyakan. Apakah pendidikan
menjadi hal yang dianggap penting dan krusial?
Sisitem pendidikan yang dibalut
dalam sistem kapitalisme terlalu mengedepankan kepentingan dan egoisme
kekuasaan. Rasa keadilan, empati, dan peduli terhadap dunia pendidikan
tercederai kepentingan yang dibumbui kapitalisme. Pendidikan tak lagi menjadi wadah menanam bibit-bibit
generasi unggul. Pendidikan justru dikapitalisasi seperti komoditas lainnya.
Seandainya pemerintah
memperhatikan peran strategis ini, tentu pemerintah tidak akan abai dalam menyejahterakan
para pencetak generasi ini. Seharusnya pemerintah lebih peduli dan
bersungguh-sungguh memecahkan masalah nasib para guru honorer yang tidak
mendapatkan hasil sepadan dengan jasa yang sudah dicurahkan.
Tapi sekali lagi, hal ini jelas
membuktikan gagalnya sistem pendidikan kapitalis sekuler dalam memberikan
solusi dan jaminan kesejahteraan bagi para guru.
Guru dalam Sistem Islam
Jika kita menelaah penerapan
sistem pendidikan dalam Islam, sungguh sangat berbanding terbalik dengan
kondisi saat ini. Berawal dari paradigma mendasar bahwa pendidikan adalah salah
satu hak dasar warga
yang harus dijamin oleh negara, maka negara dalam sistem Islam akan menjamin
kebutuhan masyarakatnya.
Jaminan terhadap pemenuhan
kebutuhan pendidikan bagi seluruh warga negara itu diwujudkan dengan cara
menyediakan pendidikan gratis bagi rakyat, menyediakan fasilitas dan
infrastruktur pendidikan yang cukup dan memadai seperti gedung-gedung sekolah,
laboratorium, balai-balai penelitian, buku-buku pelajaran, dan lain sebagainya.
Negara bersistem Islam juga
berkewajiban menyediakan tenaga-tenaga pengajar yang ahli di bidangnya,
sekaligus memberikan gaji yang cukup bagi guru dan pegawai yang bekerja di
kantor pendidikan. Semua guru yang melayani pendidikan di instansi negara
berstatus sebagai Pegawai Negeri yang mendapatkan gaji dari baitulmal.
Diriwayatkan dari Ibnu Abi
Syaibah, dari Sadaqoh ad-Dimasyqi, dari al-Wadl-iah bin Atha; bahwasanya
ada tiga orang guru di madinah yang mengajar anak-anak, dan Khalifah
Umar bin Khaththab memberi gaji lima belas dinar (1 dinar = 4,25 gram
emas; 15 dinar = 63.75 gram emas; bila saat ini harga 1 gram emas Rp800rb saja,
berarti gaji guru pada saat itu setiap bulannya sebesar Rp51.000.000).
Seluruh pembiayaan pendidikan di
dalam negara bersistem Islam diambil dari baitulmal, yakni dari
pos fai’ dan kharaj serta pos milkiyyah
‘amah. Seluruh pemasukan Negara bersistem Islam , baik yang dimasukkan di
dalam pos fai’ dan kharaj, serta pos milkiyyah ‘amah, boleh diambil
untuk membiayai sektor pendidikan.
Jika pembiayaan dari dua pos
tersebut mencukupi maka negara tidak akan menarik pungutan apa pun dari rakyat.
Mekanisme inilah yang membuat negara Islam mampu mencukupi ketersediaan tenaga
guru sekaligus menjamin kesejahteraan mereka sebagai abdi negara. Sehingga
tidak perlu ada guru honorer, karena semua guru dijamin oleh negara.
Oleh karena itu jika penghapusan
guru honorer ini dalam rangka menjadikan semua guru honorer menjadi aparatur
negara yang dijamin kesejahteraannya seperti dalam sistem Islam, tentu tidak
akan ada penolakan dari para guru. Namun jika mereka nantinya tersisih karena
kuota ASN dan PPPK yang terbatas, inilah bukti nyata kezaliman penguasa sekuler
terhadap para pahlawan tanpa tanda jasa. Wallahu a’lam bish-showab