Oleh : Rindoe Arrayah
Sudah menjadi umum adanya, setiap tahun ajaran baru banyak lulusan SMA yang berbondong-bondong mendaftar ke berbagai universitas untuk bisa melanjutkan studi sesuai dengan apa yang di minatinya. Tentunya, berbagai rintangan yang dilewati dengan usaha yang tidak mudah untuk bisa masuk ke universitas yang diinginkan. Banyak diantaranya yang berjuang dengan keras.
Namun, manakala sudah bisa masuk ke universitas yang diinginkannya, mereka harus dilanda duka. Mengapa? Karena, biaya kuliah yang begitu mahal. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika banyak mahasiswa yang kuliah sambil bekerja agar bisa membiayai uang kuliahnya.
Di saat pandemi melanda, banyak orang yang kena PHK. Bahkan, banyak para pedagang yang gulung tikar. Hal ini juga berimbas pada mahasiswa yang sedang bekerja untuk membayar kuliah mereka, serta kondisi orang tua mereka yang tak mampu lagi untuk membiayai kuliah anak-anaknya. Akibatnya, banyak mahasiswa yang keluar dari kampusnya, dan memilih melepaskan kuliahnya karena ketidakmampuannya dalam membayar uang kuliahnya.
Pandemi Covid-19 tidak hanya membawa dampak di sektor kesehatan. Tetapi juga di bidang ekonomi. Termasuk diantaranya banyaknya mahasiswa putus kuliah. Informasinya lebih dari setengah juta mahasiswa putus kuliah di masa pandemi Covid-19 ini.
Informasi tersebut disampaikan Kepala Lembaga Beasiswa Baznas Sri Nurhidayah dalam peluncuran Zakat untuk Pendidikan di Jakarta secara virtual Senin (16/8). Mengutip data dari Kemendikbudristek, Sri mengatakan sepanjang tahun lalu angka putus kuliah di Indonesia mencapai 602.208 orang (Jawapos.com, 11/9/21).
“Kita tahu kondisi saat ini bagaimana krisis pandemi Covid-19 menyebabkan angka putus kuliah naik tajam,” katanya.
Sri mendapatkan informasi soal angka putus kuliah tersebut dari Pusat Layanan Pembiayaan Pendidikan Kemendikburistek. Informasi yang dia terima, rata-rata angka putus kuliah paling banyak ada di perguruan tinggi swasta (PTS).
Sri mengatakan pada tahun sebelumnya angka putus kuliah sekitar 18 persen. Kemudian di masa pandemi ini naik mencapai 50 persen. Kondisi ini tidak lepas dari bertambahnya penduduk miskin akibat dampak ekonomi, sosial, dan kesehatan dari pandemi Covid-19.
Kondisi seperti ini seharusnya tidak perlu terjadi, ketika pemerintah sejak awal mau menerapkan lockdown demi keselamatan rakyatnya. Akan tetapi, pemerintah justru mengambil keputusan silih berganti dengan pertimbangan perekonomian agar tidak mati yang mengakibatkan pandemi tiada pernah diketahui sampai kapan bisa dihentikan.
Semua ini merupakan efek dari diterapkannya Kapitalisme-Sekularisme di negeri ini. Sistem kehidupan yang telah nyata kerusakannya ini selalu menjadikan untung rugi sebagai pertimbangan dalam mengambil sebuah kebijakan. Sehingga tidak mengherankan, jika sistem rusak ini tidak akan pernah bisa mengantarkan masyarakat menuju kebangkitan yang shahih.
Berbeda halnya dengan Islam, pendidikan sangatlah penting. Karena, pendidikan sendiri nantinya yang dijadikan sarana sebagai pembentuk masyarakat yang memliki kepribadian Islam yang tangguh. Maka dalam kepemimpinan Islam, pendidikan sangat difasilitasi dengan baik, di mana sekolah digratiskan. Tidak akan membedakan antara kaya dan yang miskin, semuanya disamakan.
Sehingga, manakala wabah datang maka pemerintah akan menunjang segala hal yang berkaitan dengan pendidikan dengan baik dan kasus putus sekolah maupun putus kuliah tidak akan ditemui. Tentunya, semua ini bisa dijalankan dengan sempurna saat syari’at-Nya diterapkan di seluruh aspek kehidupan, termasuk didalamnya tentang pendidikan.
Mencampakkan sistem Kapitalisme-Sekularisme harus dilakukan. Kemudian menggantinya dengan sistem Islam yang telah terbukti selam 14 abad lamanya mengantarkan masyarakat menuju kejayaan dan keberkahan bagi seluruh alam.
Wallahu a’lam bishshowab.