Demokrasi Berbiaya Mahal, Rakyat Hanya Kendaraan Para Kapital



Oleh : Ummu Hanif
(Pemerhati Sosial Dan Keluarga)

Perbincangan seputar kemurnian demokrasi, telah menjadi topik hangat di kalangan penganut dan pemuja demokrasi sendiri. Sebagaimana demokrasi di negara lain, demokrasi Indonesia menghadapi pertanyaan mengenai intervensi oligarki dalam praktiknya. Karena derajat pengaruh dan intervensi oligarki ini, dipandang akan turut menentukan arah demokrasi Indonesia ke depan.

Sebagaimana yang disampaikan Analis politik Northwestern University, Jeffrey A Winters, dalam peluncuran buku Demokrasi Tanpa Demos yang diterbitkan dalam rangka ulang tahun ke-50 Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Kamis (19/8/2021). Jeffrey A Winters mengatakan bahwa fenomena oligarki demokrasi telah nyata adanya. Bahkan tarikan kepentingan antara oligarki yang didukung oleh kelompok kaya dan demokrasi telah lama terjadi. Menurutnya, perdebatan yang berakar dari pembedaan akses dan kesempatan antara kelompok kaya dan kelompok miskin itu sudah berlangsung sejak era Aristoteles.

Maka saat ada wacana bahwa pemilu langsung tahun 2024 yang diperkirakan membutuhkan dana Rp.150 triliun, menjadi sorotan banyak pihak. Pasalnya, dana tersebut terbilang besar untuk penyelenggaraan pemilihan presiden dan juga kepala daerah secara langsung. Salah satu yang turut menyoroti anggaran pemilu 2024 ialah pimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI). Dikatakan Wakil ketua DPD RI Sultan B Najamudin, Pemerintah dan DPR harus meninjau kembali sistem pemilu langsung Indonesia yang membutuhkan anggaran hingga ratusan triliun. (www.pikiranrakyat.com, 24/09/2021)

Di lain sisi, masyarakat umum pun telah menilai bahwa angka yang cukup fantastis. Sangat tidak layak saat mereka merasakan dampak dari pemilu dari masa ke masa tidak pernah membawa kesejahteraan rakyat. Hal ini sangat terlihat saat penangan pandemi. Penguasa terlalu perhitungan untuk mengeluarkan uang, padahal sudah berkaitan dengan nyawa jutaan warga nya. Penguasa justru membela kepentingan para pemilik modal.

Berbicara mengenai demokrasi, dia lahir sejalan dengan lahirnya paham sekularisme. Yakni paham yang memisahkan agama dari dari kehidupan. Prinsip sekularisme sendiri lahir di Eropa sebagai jalan tengah atau kompromi antara kekuasaan politik raja dan gereja. Sebelumnya raja dan gereja justru berkolaborasi membentuk pola kekuasaan politik otoritarian yang membawa penderitaan panjang bagi rakyat Eropa. Di masa itu, masyarakat Eropa terutama Perancis memang tak memiliki kebebasan sipil apapun, baik hak intelektual, apalagi hak politik. Bahkan berabad lamanya, kedzaliman penguasa (para raja) terjadi di bawah legitimasi agama (para gerejawan).

Hal inilah yang kemudian menjadikan bangsa Eropa begitu traumatik dengan campur tangan agama dalam kehidupan. Dalam praktik kekuasaan, selanjutnya paham sekularisme ini menemukan benang merahnya dengan konsep pemerintahan demokrasi yang telah dikenal dalam sejarah kuno Yunani. Dimana konsep demokrasi memberikan hak mutlak kepada rakyat untuk menentukan apa yang diinginkan berdasarkan prinsip dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Maka dalam praktiknya, kebaikan dan keburukan, disandarkan pada suara rakyat dengan prinsip suara terbanyak. Padahal suara terbanyak dari rakyat standarnya adalah akal (manfaat) yang faktanya sangat relatif dan subjektif, dan bukan agama (wahyu/Islam).

Dalam aspek ekonomi, kebebasan memiliki yang menjadi salah satu prinsip demokrasi nyata-nyata telah membuat ketidakadilan begitu kasat mata. Para pemilik modal dengan mudah menguasai pintu masuk yang menghalangi akses mayoritas rakyat terhadap sumber-sumber ekonomi yang legal.

Bagi negara-negara imperialis pengusung ideologi kapitalisme, demokrasi memang merupakan pintu masuk utama untuk melanggengkan penjajahan kapitalisme global. Karena hanya dengan demokrasilah sistem kapitalisme mendapatkan habitat subur untuk pertumbuhannya. Adalah hal yang terlihat nyata, kekuasaan politik memang telah menjadi alat bagi para pemilik kapital untuk meraih keuntungan. Maka kolaborasi antara keduanya dalam bentuk hubungan simbiosis mutualisma, menjadi hal yang sangat niscaya.

Itulah kenapa, demokrasi menjadi sistem politik yang sangat mahal. Karena yang terjadi dalam kekuasaan demokrasi adalah persaingan di antara para pemilik kapital. Tak hanya di level individual, tapi bahkan melibatkan kapitalis selevel negara adidaya.

Realitas demokrasi yang sedemikian tentu bersebrangan dengan Islam. Islam jelas menolak paham sekularisme dan kebebasan. Karena Islam tegak di atas keyakinan bahwa keimanan mengharuskan kehidupan terikat dengan aturan Islam.

Maka seluruh aspek kehidupan, wajib diatur dengan syariat Islam. Termasuk aspek politik yang menjadikan kekuasaan justru sebagai satu-satunya metoda penerapan Islam. Justru penerapan Islam inilah yang akan mencegah segala bentuk keburukan yang justru terbuka lebar dalam sistem sekuker demokrasi kapitalis neoliberal. Wallahu a’lam bi ash showab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak