Demokrasi Berbiaya Mahal, Efektifkah Sebagai Jalan Perubahan??




Oleh Yuyun Rumiwati
(Muslimah Peduli Generasi dan Peradaban)

Denyut-denyut persiapan pesta demokrasi sudah tampak kepermukaan. Baik persiapan yang dilakukan secara individu atau komunal Baik oleh partai calon pemilu maupun komisi pemilihan umum.

KPU mengajukan 
tambahan biaya Anggaran. 
Komisi II DPR menyetujui usulan tambahan anggaran yang diajukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebesar lebih dari Rp 5,6 triliun. Usulan tambahan anggaran ini diajukan KPU untuk kebutuhan persiapan tahapan Pemilu 2024 yang dilaksanakan pada 2022.(Republika.co.id, 22/9/2021)

Dari fenomena tersebut ada beberapa catatan yang butuh direnungkan.

Pertama: Demokrasi berbiaya mahal. Diamnya rakyat untuk menyampaikan 
Uneg-uneg terkait efek demokrasi. Bukan sebuah jaminan bahwa masyarakat dan mendukung sistem demokrasi. 

Mahalnya biaya untuk pelaksanaan pesta demokrasi tanpa ada perubahan signifikan untuk kemakmuran rakyat, sungguh sang memprihatinkan dan menggemaskan. 

Rakyat dan segala harta milik negara tersalurkan untuk aktivitas yang ujung-ujungnya hanya menguntungkan elit politik. Sedang rakyat tetap dalam kubangan kemelaratan.

Mahalnya biaya demokrasi yang hanya membuka peluang bagi para pemilik modal  (borju), baik swasta asing atau dalam negeri untuk ikut campur dalam kebijakkan penguasa. Awalnya mereka "membiayai" dalam proses kampanye , dengan konsekuensi akan memberikan kemudahan bagi mereka pasca calonnya menjadi penguasa.

Kedua: Demokrasi ilusi menuju perubahan

Berbicara terkait pemilu, tentu hal yang tidak boleh dilupakan terkait dengan visi dan misi perubahan.

Jika kita cermati efek pemilu atau pesta demokrasi tidak berkorelasi terhadap perubahan negeri ini. Bahkan, kondisi negeri makin terasa carut marut.

Kondisi kestabilan ekonomi sempat terganggu. Belum lagi masalah pendidikan, yang turut menguji kesabaran bagi orang tua saat pembelajaran online.

Ketiga: Berpeluang memicu korupsi dan penyalahgunaan jabatan.

Saat mau pemilu biaya yang dikeluarkan biaya  banyak. Entah dengan biaya pribadi atau disponsori pihak swasta. Bantuan biaya oleh para sponsor bukan tanpa maksud. Tapi, ada harapan kemudahan yang akan diberikan pada  si calon yang didukung setelah terpilih.

Keempat : Demokrasi menopang tegaknya aturan manusia dan mengabaikan aturan Allah.

Mengharap perubahan dan keberkahan dari tiap pilkada atau pemilu, ibarat menghisap jempol, mustahil bisa terlaksana keadilan dan keberkahan selama aturan yang diberlakukan bukan dari Allah sang pencipta.

Hal ini tentu sangat bertentangan dengan firman Allah berikut, 

اِنَّ الَّذِيْ فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْاٰنَ لَرَاۤدُّكَ اِلٰى مَعَادٍ ۗقُلْ رَّبِّيْٓ اَعْلَمُ مَنْ جَاۤءَ بِالْهُدٰى وَمَنْ هُوَ فِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ

"Sesungguhnya (Allah) yang mewajibkan engkau (Muhammad) untuk (melaksanakan hukum-hukum) Al-Qur'an, benar-benar akan mengembalikanmu ke tempat kembali. Katakanlah (Muhammad), “Tuhanku mengetahui orang yang membawa petunjuk dan orang yang berada dalam kesesatan yang nyata.”
(Qs. Al-Qosas: 85)

Seruan untuk melaksanakan hukum-hukum Allah bukan sebatas pada Rasulullah, tapi kewajiban yang harus dilakukan boleh umatnya.

Namun, sistem demokrasi yang menjadikan akal manusia sebagai sumber hukum, telah melalaikan kewajiban untuk berhukum pada sang pencipta.

Kelima: Saatnya kembali pada sistem Islam 

Kegagalan demi kegagalan umat untuk meraih kemenangan dan kemuliaan agamanya berulang kali dialami selama terjun dalam permainan politik demokrasi.

Terpilihnya beberapa anak umat sebagai penguasa di lembaga eksekutif ataunpun legislatif, belum bahkan tidak pernah mengantar pada penerapan aturan rabb-Nya. Justru yang terjadi terbawa arus permainan politik demokrasi. Meminjam dari pernyataan Prof. Mahfud MD, Malaikat pun jika terjun dalam politik akan berubah menjadi syetan. Ungkapan itu menggambarkan bagaimana kuatnya sistem mempengaruhi person. 

Karenanya, tiada jalan lain yang harus dilakukan jika menginginkan perubahan yang hakiki dan diridhai Allah, selain kembali pada perubahan metode Rasulullah yaitu perjuangan politik Islam, dalam makna mengupayakan pengurusan umat  dengan aturan Islam secara kaffah dalam bingkai khilafah 'ala min hajji nubuwah.

Tentu perjuangan ini tidak mudah, namun setiap episodenya adalah indah karena perjuangan menuju pada satu titik yang telah Allah janjikan kemenangannya sebagaimana firman Allah SWT.

وَعَدَ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِى الْاَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْۖ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِيْنَهُمُ الَّذِى ارْتَضٰى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِّنْۢ بَعْدِ خَوْفِهِمْ اَمْنًاۗ يَعْبُدُوْنَنِيْ لَا يُشْرِكُوْنَ بِيْ شَيْـًٔاۗ وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذٰلِكَ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ

"Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan yang mengerjakan kebajikan, bahwa Dia sungguh, akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh, Dia akan meneguhkan bagi mereka dengan agama yang telah Dia ridai. Dan Dia benar-benar mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka (tetap) menyembah-Ku dengan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apa pun. Tetapi barangsiapa (tetap) kafir setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik."
(Qs. An-Nuur: 55).

Saatnya menyongsong janji kemenangan ini, dengan tetap sabar dan istikamah menjaga iman dan beramal shalih sebagaimana Rasulullah mencontahkan dalam perjuangan dakwah mulai fase Makah hingga Madinah. _Allahu 'alam bi shawab_

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak