Oleh : Ummu Hanif
(Pemerhati Sosial Dan Keluarga)
Kebocoran data kembali terjadi. Kali ini, identitas yang tersebar adalah milik Presiden Joko Widodo. Seorang warganet sempat mengunggah foto yang menunjukkan surat keterangan vaksinasi Covid-19 miliki Presiden Jokowi di Twitter dan bisa dilihat secara umum melalui aplikasi PeduliLindungi. Dalam foto itu, terlihat dengan jelas identitas lengkap Jokowi mulai dari nama, tempat, tanggal lahir serta NIK.
Selain itu juga terdapat keterangan bahwa Jokowi sudah mendapatkan vaksinasi Covid-19 dosis kedua pada 27 Januari 2021. Selain itu, barcode dua dimensi atau akrab dikenal dengan quick response code (QR code) juga terpampang tanpa disensor oleh pengunggahnya. (www.tempo.com, 03/09/2021)
Menanggapi hal ini, Eks Wakil Ketua Tim Insiden Keamanan Internet dan Infrastruktur Indonesia (ID-SIRTII), Salahuddien, dalam diskusi daring pada Ahad/5 September 2021, mengusulkan pemerintah segera melakukan enkripsi seluruh data kependudukan.
Nantinya, instansi hanya boleh menggunakan data baru yang dihasilkan dari Dukcapil dalam kondisi yang sudah terenkripsi. Sehingga, jika ke depan terjadi kebocoran data lagi, orang lain tidak akan bisa mengakses dan menyalahgunakannya. Sebab, kata Salahuddien, data sudah dalam keadaan terkunci.
Masalah bocornya perlindungan dan keamanan data sudah sering terjadi di tengah masyarakat. Namun, karena ini data presiden dan para pejabat penting negara, respon pemerintah menjadi berbeda, dianggap berbahaya. Hal ini tergambar dari respon Menkes Budi Gunadi yang segera menginstruksikan untuk menutup akses data para pejabat penting dan Presiden setelah sertifikat vaksin beredar di dunia maya. Tentu ini menjadikan publik menganggap pemerintah telah bertindak diskriminatif. Inilah wajah demokrasi yang dikuasai para oligarki.
Dari sini kita berpikir, kenapa pemerintah tidak segera tanggap menghadi kebocoran data yang terus berulang. Masih cukup jelas teringat, sebelumnya sudah ada kebocoran-kebocoran dari BPJS, Dukcapil, e-commerce, hingga yang terbaru soal e-HAC. Negara semestinya menggunakan semua perangkat yang bisa diberdayakan untuk mengatasi berbagai kebocoran. Bukankah kita memiliki polisi Cyber? Harusnya negara membekali mereka dengan kemampuan menggunakan teknologi canggih guna melindungi setiap data penting rakyat dan para pejabat negara. Bukan hanya menjadikan polisi Cyber sebagai ‘pengawas’ kaum muslimin dalam melakukan dakwah via media sosial.
Berbeda dengan sistem Islam. Islam mewajibkan negara memberikan jaminan keamanan bagi setiap individu rakyat, termasuk keamanan data pribadinya. Dalam Khilafah rakyat benar-benar merasakan kehidupan yang diselimuti perasaan aman dan nyaman. Khilafah memiliki alat utama dalam menjaga keamanan, yaitu kepolisian, yang berada di bawah Departemen Kemananan Dalam Negeri.
Keberadaan polisi begitu penting, karena diberikan wewenang oleh negara untuk melakukan pencegahan maupun penindakan. Sungguh tugas dan fungsinya mulia, karena menegakkan kemakrufan dan mencegah kemungkaran. Polisi juga dibekali berbagai ilmu dan keahlian yang mendukung tugas mulianya, kebocoran data merupakan perkara yang kemungkinan kecil bisa terjadi dalam Islam.
Hal seperti ini tentu menuntut adanya sosok pemimpin yang begitu cermat dan jeli dalam meneliti berbagai laporan dari setiap departemen yang ada di bawah wewenangnya. Sosok pemimpin yang cakap, kerja keras dan penuh dedikasi, karena ketaqwaan yang selalu melandasi setiap perbuatannya. Keterpaduan antara pemimpin ideal dan sistem islam, sungguh akan mampu melahirkan sistem pemerintahan yang kuat dan meminimalisir gangguan keamanan termasuk data yang mengalami kebocoran. Wallahu a;lam bi ash showab.