Oleh : Ummu Hanif
(Pemerhati Sosial Dan Keluarga)
Wacana amendemen kelima Undang-Undang Dasar 1945 hingga kini masih menuai kontroversi. Menjawab hal ini, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengatakan bahwa keputusan terkait wacana amandemen UUD 1945 dan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tidak akan dilakukan dalam waktu dekat. Setidaknya amandemen baru akan dilakukan di tahun ketiga masa jabatan MPR RI 2019-2024 setelah menyerap hasil amandemen 1945. Selain menghidupkan kembali GBHN, wacana seperti mengembalikan wewenang MPR untuk memilih presiden serta penambahan masa jabatan presiden RI mengemuka. Namun ia menegaskan bahwa di dalamnya, tak ada pembahasan perpanjangan masa jabatan presiden. (www.kumparan.com, 15/07/2021)
Di sumber yang lain, Bambang Soesatyo menyatakan bahwa hasil kajian PPHN diharapkan selesai awal 2022 oleh Badan Pengkajian MPR RI (sumber: www.mpr.go.id, 20/8/2021)
Banyak orang yang menilai rencana MPR yang ingin menghidupkan kembali GBHN melalui amandemen kelima Undang-undang Dasar 1945 tidak tepat. Dikhawatirkan ada upaya untuk mengembalikannya seperti zaman Orde Baru. Terlepas dari berbagai tujuan amandemen kelima oleh MPR, sudah seharusnya sejak awal rencana ini dihentikan. Mengingat saat ini tak ada urgensi amandemen yang perlu dilakukan.
Persoalan ini menjadi perhatian Direktur Pamong Institute, Drs. Wahyudi Al-Maroky, M.Si., yang berpendapat amandemen konstitusi ini sangat memungkinkan dan sangat memengaruhi hajat hidup masyarakat Indonesia. Hanya saja, menurutnya, rencana yang dilontarkan saat pandemi ini memperlihatkan para politisi yang miskin empati. Di tengah kesulitan rakyat, mereka justru ingin mengamandemen konstitusi, bermanuver, melakukan lobi-lobi politik, bahkan ada yang membuat baliho.
Meski begitu, ia menilai, isu merubah UUD 1945 dan Pancasila ini jelas bisa dilakukan, tetapi hanya oleh politisi, baik di eksekutif maupun legislatif. Jadi, jika selama ini yang dituduh adalah ormas-ormas Islam seperti HT1, FP1, dan lainnya, maka itu fitnah dan tidak berdasar.
Berbicara mengenai perubahan dan amandemen, sebenarnya bukan hal tabu apalagi haram, karena di dalam tubuh konstitusi sendiri memberi ruang hal yang demikian. Bahkan jika ada yang mengatakan bahwa NKRI harga mati, fakta menunjukan justru sebaliknya, konstitusi memberi ruang untuk bisa mengubahnya. Terlebih dalam catatan sejarah bangsa Indonesia, sejak Indonesia merdeka sampai saat ini sudah beberapa kali terjadi pergantian konstitusi.
UUD 1945 pernah diganti menjadi Undang-Undang RI Serikat, kemudian diubah menjadi Undang-Undang Dasar Sementara selama 9 tahun, akhirnya kembali ke UUD 1945 lagi pada dekrit 5 Juli 1959. Kemudian di masa reformasi sejak 19 Oktober 1999 terjadi beberapa kali amandemen. Artinya, dilihat dari bentuk pemerintahan, negeri ini pernah berubah. Menjadi negara kesatuan, negara serikat atau federasi, dan menganut sistem parlementer. Selain itu wilayah teritorial Indonesia juga pernah berubah, yakni meluas ketika Papua bergabung pada 1963, ataupun berkurang saat Timor Leste dan Pulau Sipadan-Ligitan berpisah.
Namun, yang saat ini menjadi persoalan adalah ketika wacana amandemen justru muncul di masa pendemi. Karena pelaksanaan amandemen tentumembutuhkan biaya besar, seperti biaya untuk rapat dan lainnya. Padahal, biaya ini lebih dibutuhkan untuk menangani pandemi. Apa keuntungan amandemen ini bagi rakyat, pasal apa yang kemudian mau diamandemen? Tentu ini menjadi catatan kritis bagi kita saat ini. Belum lagi, jika ternyata ada agenda politis dibalik usulan amandemen ini.
Wallahu a’lam bi ash showab.