Oleh : Dyah Astiti
Pandemi Covid-19 masih terus menjadi tantangan luar biasa dan harus dihadapi. Tidak hanya mengancam manusia, pandemi ini juga turut memberi dampak bagi setiap sektor kehidupan, utamanya ekonomi. Sangat terlihat bagaimana ekonomi di negeri ini semakin terseok. Akibatnya utang semakin menumpuk demi menutupi keterpurukan ekonomi.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati menjelaskan alasan dibalik keputusan pemerintah terus menambah utang di tengah pandemi Covid-19.
"Semua negara di dunia menggunakan instrumen kebijakan untuk bisa menangani pandemi Covid-19 dan dampak sosial ekonomi serta keuangan," ujar Sri Mulyani dikutip dari acara Bedah Buku "Mengarungi Badai Pandemi" di Youtube Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemenkeu, Minggu (25/7/2021).
Dari apa yang disampaikan tersebut utang dianggap merupakan instrumen untuk menyelamatkan warga negara dan perekonomian negeri ini akibat pandemi Covid-19. Hal tersebut terjadi karena APBN mengalami pelebaran defisit sehingga membutuhkan pembiayaan yang salah satunya bersumber dari utang.
Sungguh ironi, begitulah paradigma sistem ekonomi kapitalisme hari ini. Utang luar negeri dianggap sebuah solusi untuk mengentaskan ekonomi dari jurang keterpurukan. Padahal utang luar negeri sangat berpeluang menjadi ancaman nyata bagi negeri ini ke depannya. Mulai dari perlambatan pertumbuhan ekonomi sampai hilangnya kemandirian dan independensi suatu negara.
Sebagaimana disampaikan, Kenen (1990) dan Sachcs (1990) dalam Sritua Arief (1998) bahwa utang luar negeri telah menimbulkan perlambatan pertumbuhan ekonomi bagi negara yang punya utang besar, bahkan lebih jauh lagi utang luar negeri telah membawa banyak negara berkembang yang memiliki utang besar masuk ke dalam jebakan utang (debt trap) dan ketergantungan utang (debt
overhang).
Kondisi ekonomi dalam sistem kapitalisme tersebut sangat berbeda dengan ekonomi Islam. Sistem ekonomi Islam yang ditopang sistem politiknya, berjalan berdasarkan sektor ekonomi riil. Dimana sistem ekonomi ini hanya akan tegak di dalam negara yang menerapkan sistem Islam, yaitu Khilafah Islamiyah. Dimana pilarnya sangat berbeda dengan kapitalisme. Di antaranya:
1. Islam mengharamkan transaksi riba. Selain karena memang dilarang secara syariat. Taransaksi riba ini sangat memungkinkan memunculkan kezaliman dalam masyarakat. Dalam Islam, pinjaman dikategorikan sebagai aktivitas sosial. Baitul Mal menyediakan pos khusus untuk memberikan bantuan modal bagi pihak yang membutuhkan, seperti para petani dan pedagang.
2. Pengharaman pasar modal, keuangan, komoditas berjangka yang dibangun atas transaksi-transaksi yang bertentangan dengan Islam.
3. Islam menjadikan mata uang emas dan perak sebagai standar moneter. Mata uang yang beredar adalah emas dan perak atau mata uang kertas dan logam yang nilainya ditopang oleh emas dan perak. Dengan demikian kestabilan uang negara ditentukan oleh nilai emas dan perak yang sangat stabil. Di tambah lagi, nilai tukar mata uang akan stabil karena basis transaksinya adalah emas dan perak yang nilainya stabil.
4. Islam mengharamkan konsep liberalisme, sehingga dalam islam ada pengaturan kepemilikan. Dengan demikian, haram memperjual belikan barang-barang milik umum kepada swasta atau bahkan asing.
Wallahu alam bishowab.