Oleh : Ummu Attar
Pandemi yang hingga kini belum terselesaikan ternyata tak menyurutkan ambisi dan langkah para pejabat negeri ini untuk tetap korupsi.
Bagaikan angin segar bagi para pejabat yang bermental koruptor, pasalnya negri ini sangat subur bagi mereka dan terkesan memelihara para koruptor.
Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis survei terkait persepsi publik atas pengelolaan dan potensi korupsi sektor Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia. Berdasarkan hasil survei tersebut diperoleh fakta bahwa korupsi menjadi masalah yang paling memprihatinkan menurut pandangan masyarakat.
Direktur Eksekutif LSI, Djayadi Hanan mengungkapkan tingkat keprihatinan korupsi di tengah masyarakat Indonesia mendapat penilaian yang tinggi menurut sigi survei. Sebanyak 44 persen masyarakat menilai sangat prihatin, 49 persen prihatin dan 4 persen tidak prihatin, semnatar 2 persen tidak menjawab.
“Masyarakat kita secara umum menunjukkan keprihatinan paling tinggi terhadap isu korupsi dan isu ekonomi, dalam hal ini lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi," ujar Djayadi Hanan dalam pemaparan hasil survei, Ahad (8/08).
Menurut survei LSI, isu korupsi berada di urutan pertama dari enam kategori lainnya. Adapun di urutan kedua terdapat isu lapangan kerja di mana diperoleh hasil sebanyak 44 persen responden sangat prihatin, 53 persen prihatin, 2 persen tidak prihatin, dan 1 persen tidak menjawab
( www.gatra.com)
Miris memang, bagaimana tidak? Disaat masyarakat terhimpit segala kesulitan dari dampak Pandemi, dan juga kebijakan pemerintah yang tak pernah memihak pada rakyat.Namun mereka disuguhi tontonan para pejabat yang mana mereka harapkan akan membawa negri ini kearah yang lebih baik namun kenyataannya justru membawa negri ini semakin parah dan sangat mempihatinkan.
Mengharapkan negeri ini bebas dari para pejabat yang bermental koruptor rasanya hal yang mustahil, sebagaimana mengharapkan turun hujan di musim kemarau.
Pasalnya, negeri ini menerapkan sistem sekuler, yaitu sistem yang memisahkan agama ( Islam) dari kehidupan.
Agama hanya sebatas urusan pribadi, urusan kehidupan bermasyarakat, bernegara menggunakan hukum yang dibuat oleh manusia.
Sistem sekuler ini telah terbukti kerusakannya, pasalnya sistem ini mengambil alih sang pembuat hukum yaitu Allah, dan menggantikannya dengan para pejabat yang ditunjuk sebagai pembuat aturan. Maka bisa dipastikan aturan-aturan yang lahir pun memihak pada para pejabat, pembuat hukum dan para pengusaha.
Hukum yang dibuat sewaktu-waktu bisa direvisi sesuai dengan kebutuhan.
Hukuman bagi para koruptor pun bisa dinegosiasi dan juga tidak menjadikan para koruptor jera untuk melakukannya kembali. Para koruptor merasa hukuman yang didapat tidak sebanding dengan jumlah material yang didapatkan, apalagi hukuman di sistem sekuler bisa dibeli.
Hal tersebut menjadikan korupsi tumbuh subur dalam sistem sekuler, para pejabat berlomba lomba untuk memperkaya dirinya dengan mengeruk harta kekayaan sebanyak mungkin tanpa mempedulikan lagi halal haram.
Maka, akan sangat sulit negeri yang menganut sistem sekuler untuk bersih dari koruptor, karena sistemnya saja sudah rusak dan cacat. Sebaik apapun orangnya saat mereka masuk dalam sistem yang rusak, maka mereka pun akan ikut rusak.
Berbeda dengan sistem Islam, seburuk apapun orang'nya jika berada didalamnya maka mereka pun akan terbawa oleh magnet ketaatan dan ketundukan pada hukum. Sebab aturan yang diterapkan itu sesuai dengan fitrah manusia.
Jadi, saat kita mengharapkan negeri bebas dari koruptor maka sudah seharusnya negri ini mencampakkan sistem sekuler yang terbukti gagal dan rusak.
Hanya sistem Islam berwujud Khilafah yang mampu tuntaskan mewabahnya korupsi dan menutup semua pintu terjadinya korupsi. Dalam sistem Islam ada hukuman tegas bagi para koruptor, yang mana hukuman tersebut akan membuat jera dan berfikir seribu kali untuk melakukan korupsi.
Wallahu a'lam bishshawab.