Oleh Cahaya Septi
Pelajar dan Aktivis Dakwah
Pada syariah kurban, kita mengenang kembali peristiwa agung pengorbanan Nabi Ibrahim as. dalam menaati perintah tersebut. untuk menyembelih putranya, Ismail as. Bagi Nabi Ibrahim as., Ismail adalah buah hati, harapan dan kecintaannya yang telah lama didambakan. Namun, di tengah rasa bahagia itu, turunlah perintah Allah kepada beliau untuk menyembelih putra kesayangannya itu. Beliau pun dengan penuh keyakinan, tanpa keraguan sedikitpun, segera menjalankan perintah-Nya.
Keyakinan yang kokoh pada diri Nabi Ibrahim bahwa ini adalah perintah Allah Swt. telah menyingkirkan kecintaan yang rendah, yakni kecintaan kepada anak, harta, dan dunia. Perintah amat berat itu pun disambut oleh Ismail as. dengan penuh kesabaran. Ismail as. pun mengukuhkan keteguhan jiwa ayahandanya.
Hari raya umat Islam identik dengan hari kemenangan. Pertanyaannya: Sudahkah kita menjadi pemenang? Kemenangan hakiki adalah ketika umat Islam menjadi umat yang taat (bertakwa) kepada Allah Swt.
Saat syariah Islam belum diterapkan secara kaffah dalam kehidupan, saat itu pula kehidupan kaum muslim terpuruk, terjajah, hancur dan tertindas. Saudara-saudara kita di Palestina, Suriah, Irak, Afganistan, Xinjiang, Chechnya, Rohingya, Thailand Selatan, Filipina Selatan, dsb. dijajah, disiksa dan banyak yang diusir dari negerinya. Tak ada yang melindungi dan membela mereka.
Pangkal keterpurukan ini adalah karena umat Islam telah banyak menyimpang dari al-Quran. Keadaan itu telah diterangkan oleh Allah Swt:
“Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (al-Quran), sungguh bagi dia penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkan dirinya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta.” (TQS Thaha [20]: 124)
Menurut Imam Ibnu Katsir makna “berpaling dari peringatan-Ku” adalah “menyalahi perintah-Ku dan apa saja yang Aku turunkan kepada Rasul-Ku, melupakannya dan mengambil petunjuk dari selainnya.” (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, V/323)
Adapun penghidupan yang sempit—di dunia—tidak lain adalah kehidupan yang semakin miskin, sengsara, menderita, terjajah, teraniaya, tertindas dan sebagainya, sebagaimana yang kita saksikan dan rasakan sekarang ini di Dunia Islam.
Ada tiga kunci untuk meraih kemenangan umat Islam: Pertama, memantaskan diri sebagai hamba yang kokoh keimanannya, mendalam keilmuannya dan dekat dengan Allah Swt. Kedua, maksimal dalam melakukan upaya perubahan dari suatu kondisi menuju kondisi lain yang lebih baik. Ketiga, sabar atas panjangnya perjuangan dan atas tipudaya musuh.
Perubahan itu harus diupayakan sendiri oleh umat Islam. Sebabnya, Allah Swt. berfirman:
“Sungguh Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (TQS ar-Ra’d [13]: 11)
Artinya, perubahan bisa bermakna mengubah keadaan yang buruk menjadi baik. Bisa juga bermakna merawat anugerah yang baik dari Allah agar tidak berubah menjadi buruk karena perilaku kita. Hal kedua inilah yang dijelaskan oleh Imam al-Qurthubi dan Imam al-Baidhawi saat menafsirkan ayat di atas.
Saat melaksanakan haji tersebut, Nabi saw. berkhutbah di hadapan khalayak. Beliau berkhutbah tidak hanya sekali. Beliau berkhutbah di Hari Arafah, di Hari Nahr dan di pertengahan Hari Tasyrik.
Beliau berwasiat, memberi nasihat dan memberi pengarahan sehingga ketika beliau meninggalkan umat ini, mereka dalam keadaan terang-benderang.
Beliau berpesan terkait perlindungan darah, harta dan kehormatan. Wujud perlindungan tersebut dijelaskan dalam rangkaian khutbah panjangnya. Perlindungan tersebut meniscayakan ikatan akidah (bukan kesukuan), kepemimpinan Islam dengan model al-khulafa’ al-rasyidun dan fondasi kepemimpinan tersebut berupa akidah Islam. Jabir bin Abdullah ra. mengatakan, ketika matahari mulai tergelincir pada hari Arafah, Nabi saw. berkhutbah, antara lain:
“Sungguh darah dan harta kalian haram (suci) seperti sucinya hari kalian ini, di negeri kalian ini dan pada bulan kalian ini.” (HR Muslim)
Usai Baginda Nabi saw. menyampaikan Khutbah Wada’ yang cukup panjang, turunlah firman Allah Swt. terkait kesempurnaan Islam:
“Pada hari ini Aku telah menyempurnakan untuk kalian agama kalian, telah mencukupkan nikmat-Ku bagi kalian dan telah meridhai Islam sebagai agama kalian.” (TQS al-Maidah [5]: 3)
Saat ini, ikhtiar mengembalikan kemenangan umat Islam bermakna membawa umat pada posisi terbaik, sebagai kekuatan di dunia yang diperhitungkan dalam percaturan politik global. Perjuangan mengembalikan kekuatan umat ini memang tidak mudah dan tidak ringan.
Kepemimpinan Islam inilah yang mampu mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup rakyatnya, baik muslim maupun non-muslim; mampu melahirkan para pejuang Islam yang tangguh dalam mengemban misi pembebasan di berbagai negeri; mampu menumbuhsuburkan perkembangan sains dan teknologi untuk kemaslahatan umat manusia; mampu menjadikan negeri Islam sebagai kiblat perkembangan sains dan teknologi pada saat bangsa Eropa masih tenggelam dalam kebodohan dan keterbelakangan. Itulah kemenangan umat Islam dan kebaikan untuk dunia.
Maka jelas tidak ada keraguan bahwa Allah Swt. adalah sebaik-baik Pencipta dan Pengatur. Allah mengatur kehidupan manusia secara menyeluruh dengan dua hal yakni al Quran dan Sunnah. Kewajiban kita adalah melaksanakan seluruh aturan tersebut dengan penuh keyakinan dan pengharapan akan ridlo-Nya. Dengan demikian, kemaslahatan dan kemenangan akan kita raih.
Wallahu a'lam bi ash-shawab
(Sumber: Buletin kaffah)
Tags
nafsiyah