Rekayasa Data dalam Pengendalian Pandemi, Bukti Bobroknya Sistem Kapitalis Demokrasi



Oleh. Restu Febriani

Selama 1,5 tahun menangani wabah Covid-19, pemerintah pusat dan daerah tak henti berakrobat dengan data. Sejumlah kepala daerah disinyalir mengutak-atik data pertambahan kasus harian agar terkesan sukses mengendalikan pandemi.

Anggota Komisi IX DPR, Alifudin meminta pemerintah transparan terkait turunnya jumlah tes Covid-19, yang saat ini berdampak pada turunnya angka kasus Covid-19. Fenomena ini terjadi menjelang berakhirnya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 4  pada 25 Juli 2021. Pasalnya, ada dugaan manipulasi data Covid-19 demi pelonggaran PPKM Level 4 pada 26 Juli, jika jumlah kasus menurun. (Kompas.com, 22/07/2021).

Hal senada diungkapkan oleh ahli Epidemiolog dari Universitas Indonesia, Pandu Riyono mempertanyakan penurunan kasus harian Covid-19 yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir. Sebab, penurunan kasus itu dibarengi dengan rendahnya testing atau pemeriksaan kasus. Menurut dia, seharusnya jumlah testing Covid-19 ditingkatkan selama masa pandemi. Pandu mengatakan, Presiden Joko Widodo seharusnya mempertanyakan mengapa jumlah testing Covid-19 menurun dalam beberapa hari terakhir. Sebab, kata dia, data itu akan dijadikan acuan untuk mengambil kebijakan dalam penanganan pandemi. 

Lebih lanjut, Pandu menilai, kasus harian Covid-19 di Indonesia saat ini masih meningkat. Ia mengatakan, jika keterisian tempat tidur di rumah sakit masih meningkat dan kasus kematian masih tinggi, maka tidak benar kasus Covid-19 mengalami penurunan. (Kontan.co.id, 22/07/2021)

Silang sengkarut data Covid-19 dari pemerintah pusat maupun daerah hanya akan membuat persepsi risiko masyarakat "keliru" terhadap bahaya dari virus corona. Sehingga sangat memungkinkan melahirkan masyarakat yang masih abai dan tidak percaya akan bahaya Covid-19. 
Hal ini tentu akan mengakibatkan lonjakan kasus Covid-19 yang semakin tinggi.

Manipulasi Data Bukti Kegagalan Sistem

Dugaan manipulasi data Covid-19 yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah semakin menunjukan kegagalan penguasa dalam menangani pandemi. Ketidaksiapan penguasa dalam menangani lonjakan kasus Covid-19 pasca libur lebaran, membuat karut marut penanganan Covid-19 semakin amburadul. Hal ini berdampak pada semakin tingginya angka positif dan diiringi dengan melonjaknya angka kematian yang membuat penguasa semakin panik.

Lonjakan kasus positif Covid-19 yang diiringi angka kematian semakin tinggi , tentu semakin membuat masyarakat yakin akan kegagalan dan kelalaian penguasa dalam menangani pandemi. Tak heran, banyak masyarakat yang menuntut adanya kebijakan yang berfokus pada penuntasan pandemi, yang saat ini sangat mendesak untuk diimplementasikan. 

Namun faktanya, sistem sekuler kapitalisme yang lebih berfokus pada pemulihan ekonomi daripada menyelamatkam nyawa rakyat membuat kasus pandemi semakin melonjak. Hal inilah yang  semakin melenyapkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. 

Lantas pengendalian data menjadi tameng  bagi pemerintah untuk lepas dari tanggung jawab dalam menuntaskan pandemi. Pun ini merupakan upaya   untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.

Padahal, manipulasi data Covid-19 hanya akan menimbulkan sejumlah dampak negatif yang semakin membahayakan negeri ini, sebagaimana yang diungkapkan para ahli diatas.

Islam Berfokus pada Pengendalian Pandemi

Berbeda dengan sistem sekuler kapitalisme yang lebih mementingkan aspek ekonomi dan para pengusungnya. Islam justru selalu mementingkan nyawa rakyatnya dibanding yang lain.

Dalam menghadapi wabah penyakit, Nabi Muhammad Saw memberikan konsep karantina untuk menyelamatkan nyawa manusia dari ancaman kematian akibat wabah penyakit menular. 

Rasul Saw bersabda,
إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَدْخُلُوهَا، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا مِنْهَا
_“Jika kalian mendengar wabah di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Jika terjadi wabah di tempat kalian berada, janganlah kalian keluar dari wilayah itu.”_ (HR al-Bukhari).

Tindakan isolasi/karantina atas wilayah yang terkena wabah tentu dimaksudkan agar wabah tidak meluas ke daerah lain.

Pada realitasnya, karena isolasi atau karantina tidak dilakukan dengan cepat, maka hari ini virus sudah menyebar ke seluruh provinsi. Pemerintah tetap bisa melakukan isolasi dengan melihat pergerakan virus di setiap daerah. Inilah fungsi dari penetapan zona. Agar bisa ditentukan penanganan yang tepat. Mana yang harus isolasi, dan mana yang tidak harus diisolasi.

Selain itu, penguasa juga wajib untuk mensuplai berbagai kebutuhan untuk daerah yang diisolasi.

Tindakan cepat isolasi/karantina cukup dilakukan di daerah terjangkit saja. Daerah lain yang tidak terjangkit bisa tetap berjalan normal dan tetap produktif. Daerah-daerah produktif itu bisa menopang daerah yang terjangkit baik dalam pemenuhan kebutuhan maupun penanggulangan wabah. Dengan begitu perekonomian secara keseluruhan tidak akan terdampak.

Sebagaimana yang dilakukan Khalifah  Umar bin Khaththab saat terjadi wabah Tha’un di Syam pada 18 H. Khalifah Umar memerintahkan untuk mengkarantina daerah yang terkena wabah dan langsung membuat posko-posko bantuan, agar kebutuhan pokok rakyat yang terkena wabah terpenuhi. Sedangkan, daerah yang tidak terkena wabah tetap berjalan normal dan produktif. 

Khalifah tidak pernah melakukan pengendalian data untuk lepas tanggung jawab dalam me-riayah rakyatnya. Khalifah akan lebih mengutamakan keselamatan rakyatnya dan amanah dalam menjalankan setiap kebijakannya. Sehingga, polemik yang pelik dalam mengimplementasikan kebijakan tak akan terjadi. Karena, Khalifah akan dibantu pula oleh pejabat-pejabat pemerintah yang amanah dan bervisi menyelesaikan permasalahan umat.

Wallahu'alam bisshowab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak