Oleh Hendaryati Ummu Bagus, Pemerhati sosial
Lonjakan kasus covid 19 di berbagai daerah membuat masyarakat khawatir dan ketar
ketir. Masyarakat dihadapkan pada kondisi ibarat makan buah simalakama. Dilema
antara pemenuhan kebutuhan hidup, dengan pandemi yang terus menghantui.
Pasien yang terus bertambah memenuhi kamar perawatan membuat tenaga kesehatan (nakes)
kelelahan. Pasien dan keluarga pasien tidak lagi bisa berpikir sehat karena takut.
Tidak jarang terjadi konflik di antara mereka, tarik menarik, bahkan hingga
tidak terkendali.
Dari tayangan media kita bisa menyaksikan masyarakat pedagang protes keras
terhadap penerapan PPKM. Mereka memasang
bendera putih simbol matinya hati nurani.
Mahasiswa dan masyarakat berunjuk rasa, bahkan sampai beradu fisik dengan
aparat akibat perpanjangan PPKM.
Perdebatan mengenai vaksinasi di lini masa akhir-akhir ini, tak ketinggalan
menimbulkan pro dan kontra di berbagai lapisan masyarakat. Alih-alih memberikan
solusi pada penyelesaian pandemi, kegaduhan yang ditimbulkan pada akhirnya
hanya berujung pada debat kusir dan menjadi bola liar di media sosial.
Solusi Semu, Buah dari Sistem Semu
Lagi, pemerintah membuat solusi absurd
untuk mengatasi pandemi yang kian mewabah. Tidak pernah belajar dari kegagalan
yang lalu. Apa pun sebutannya, setidaknya pemerintah sudah bolak balik
menggunakan istilah yang berbeda beda,
mulai dari sebutan PSBB, PSBB transisi. Kini PPKM, PPKM mikro, PPKM darurat,
PPKM level 3 dan 4. Hal itu pun hanya
ditekankan untuk daerah Jawa dan Bali.
Padahal semua daerah seharusnya melakukan upaya yang sama untuk mengendalikan
pandemi ini.
Seperti yang disampaikan seorang Epidemiologi dari Universitas Griffith
Australia, Dicky Budiman bahwa penanganan dan pengendalian pandemi COVID-19
tidak bisa bersifat lokal dan parsial. Tapi seluruh wilayah atau daerah harus melakukan
upaya yang sama terkait strategi test, tracing, isolated, dan pengetatan
perilaku 3M (menjaga jarak, mencuci tangan, dan menggunakan masker). (VOI, 7/7/2021)
Tampak dalam penanganan pandemi ini pemerintah masih terkesan berhitung untung
rugi. Padahal apa pun bentuk aturan yang diterapkan pasti memerlukan biaya
termasuk pada penerapan aturan PPKM beserta jenisnya. Bahkan tarik ulur aturan terjadi, serta mudah berubah. Dan ini adalah
bentuk tidak percaya diri dan tidak yakin atas apa yang dipilihnya. Terbukti, PPKM
yang semula memicu kemarahan pelaku usaha karena begitu ketat, tiba-tiba
dilonggarkan.
Jelas, inkonsistensi aturan menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap suatu
kebijakan. Risikonya mudah menimbulkan gejolak di tengah masyarakat. Aturan
bukannya ditaati tapi dianggapnya tak lebih dari komedi.
Desakan agar pemerintah melakukan lockdown nasional terus bergulir
seiring meningkatnya kasus corona pasca libur lebaran 2021. Tidak hanya untuk
mengendalikan laju perebakan virus, opsi lockdown diyakini bisa membuat
perekonomian Indonesia lebih baik ke depannya.
Menurut Ekonom Faisal Basri, ongkos PPKM skala mikro jauh lebih
besar dibandingkan lock down atau karantina wilayah. Kalau lock down dilakukan
2 minggu aktivitas strategis masih boleh buka. Didukung mobilisasi PMI dan pemerintah
daerah untuk mengangkut kebutuhan masyarakat. Untuk menengah ke atas bisa
mengurus dirinya sendiri.
Sayangnya, Pemerintah memilih tidak mengambil opsi lockdown konon karena
mempertimbangkan dan memperhitungkan dengan matang mengenai ekonomi masyarakat
menengah ke bawah, di mana tidak sedikit yang hidupnya bergantung pada kerja
harian.
Miris, padahal selama kebijakan yang diambil dan diterapkan di tengah
masyarakat dalam menangani covid 19 cenderung tunduk pada kapitalisme dengan ekonomi
neo-liberalnya menggiring sikap kurang sensitif, sehingga kebijakan yang
diambil jadi tidak jelas. Alih-alih
menyelesaikan masalah justru menambah ruwet masalah yang telah ada.
Islam, Solusi Jitu
Penanganan wabah yang sahih hanya bisa diterapkan secara benar oleh negara
yang berfungsi secara benar pula (kredibel).
Khalifah sebagai pemimpin tunggal kaum Muslim di seluruh dunia memiliki
tanggung jawab yang begitu besar dalam mengurusi urusan umat. Rasulullah Saw. Bersabda,
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas
pengurusan rakyatnya” (HR Al-Bukhari).
Dalam Islam penguasa berfungsi sebagai pelindung rakyatnya, sebagaimana Hadis
Rasulullah SAW:
“ Imam adalah pemimpin yang akan diminta pertanggungjawaban atas
rakyatnya.” (HR. BukhariMuslim)
Jika menelusuri masa silam, pandemi dalam skala yang berbeda juga pernah
terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW. Beberapa konsep untuk melawan penyebaran
pandemi pun sudah dikenal pada masa itu.
Karantina didefinisikan sebagai ukuran sasaran orang yang terpapar penyakit menular,
apakah mereka tertular penyakit tersebut atau tidak.
Dari kitab Sahih Muslim Rasulullah saw bersabda,
“Jika kalian mendengar tentang wabah-wabah di suatu negeri, maka
janganlah kalian memasukinya. Tetapi jika terjadi wabah di suatu tempat kalian
berada, maka janganlah kalian meninggalkan tempat itu,” (HR. Bukhari dan
Muslim).
Namun Islam mewajibkan negara menyediakan jaminan yang diberikan kepada yang terdampak ataupun yang tidak
terdampak pandemi. Beberapa di antaranya
sebagai berikut,
1. Memastikan suplai kebutuhan vital pada wilayah yang diisolasi, jika pusat
penyakit ada di wilayah kekhilafahan. Contoh, kebutuhan makan, minum, alat
kesehatan dan lainnya.
2. Membiayai aktivitas edukasi dan promosi hidup sehat pada masyarakat yang ada
di luar wilayah pusat penyakit. Misal, sanitasi, pendeteksi tubuh dan
sebagainya.
Semua pembiayaan nantinya diambil dari kas Baitul mal. Sehingga
terlihat dalam keadaan apa pun keselamatan rakyat senantiasa akan menjadi
pertimbangan utama negara.
“Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang
mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai)
Wallahu a'lam