Oleh : Eri*
Ada kabar baik di tengah melonjaknya covid dan ditambah adanya pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan ekonomi Indonesia tumbuh 7,07 persen kuartal II/2021 (bisnis.com 5/8/21), realisasi ini sesuai dengan harapan pemerintah yang 'ngotot' menargetkan ekonomi tumbuh di kisaran angka tersebut.
Kabar tersebut tiba-tiba mengejutkan beberapa pihak. Melihat realitas di lapangan, banyak pihak yang meragukan capaian tersebut dan menganggap itu pertumbuhan semu. "Ekonomi tumbuh 7% untuk periode (April-Juni) 2021 dibandingkan (April-Juni) 2020 yang waktu itu sedang anjlok, sehingga pertumbuhan 7% tidak terasa," kata Director Political Economy & Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, Minggu (8/8/2021). (detikfinance.com)
Selain itu, pernyataan sangsi juga disampaikan Kepala Center of Industry, Trade, and Investment Indef Andry Satrio Nugroho. Menilai pertumbuhan ekonomi RI sebesar 7,07 persen adalah pertumbuhan semu (cnnindonesia.com 6/8/21).
Keberhasilan dari proyeksi pertumbuhan ekonomi pemerintah dinilai dari kenaikan Produk Domestik Bruto (PDB) yang persentasenya positif. Sungguh ironi, dibalik angka 7,07 persen diambil dari basis PDB yang anjlok tahun lalu yang minus 5 persen. Sehingga, pertumbuhan tersebut dinilai rapuh.
Melihat aktivitas masyarakat yang masih dibatasi PPKM level 4, banyak usaha dan akomodasi yang masih tutup atau beroperasi dengan kapasitas terbatas. Sehingga pertumbuhan yang dibanggakan tidak terasa bagi masyarakat bawah. Justru, gelombang kedua PPKM level 4, masyarakat menghadapi ancaman PHK atau pegawai yang dirumahkan.
Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang dinilai positif tidak seharusnya disambut euforia berlebihan. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Misalnya, utang kian menumpuk, angka kemiskinan yang meroket, pengangguran dan ketimpangan sosial. Berbagai persoalan tersebut jika tidak diselesaikan secara tuntas, akan menjadi bumerang bagi pemerintah dan membuat perekonomian kian terpuruk.
Melihat realita tak seindah narasi. Kabar gembira hanya dirasakan para korporasi yang diuntungkan oleh kebijakan pemerintah. Maka tak heran, yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Keadaan ini hanya melebarkan jurang sosial di tengah masyarakat.
Berbeda dengan Islam, kesejahteraan akan terwujud bila semua kebutuhan hidup terpenuhi baik pangan, sandang dan papan. Selain itu menjamin akses mudah dan murah untuk kesehatan dan pendidikan. Serta jaminan keamanan yang wajib diberikan negara bagi setiap individu masyarakat.
Maka, pertumbuhan ekonomi dalam sistem Islam bukan berpacu pada angka cantik di atas kertas melainkan data riil di lapangan. Tujuannya untuk mengukur sejauh mana keberhasilan negara dalam meriayah umatnya, bukan untuk mendongkrak citra penguasa.
Mewujudkan kesejahteraan merupakan kewajiban penguasa meriayah umat. Tidak dibedakan antara yang kaya atau yang miskin, sama-sama mendapatkan haknya. Penguasa seperti ini hanya ada dalam sistem pemerintahan berbasis Islam. Sistem shahih yang melahirkan karakter pemimpin yang amanah dan lebih mementingkan urusan umat.
Bahkan sepanjang sejarah peradaban Islam, para penguasa memegang teguh amanahnya untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Saat keadaan lapang maupun sulit, sampai meninggalkan kepentingan dirinya atau keluarga. Keunggulan syari'at Islam dalam memecahkan berbagai persoalan telah digambarkan oleh para Khalifah.
Seperti Khalifah Umar bin Khattab, bagaimana beliau dengan tanggap menyelesaikan krisis yang terjadi selama masa pemerintahannya. Meriayah setiap umatnya bahkan tidak terlewat di setiap sudut daerah Khilafah. Krisis juga menjadikan Khalifah untuk mengajak rakyat lebih mendekatkan diri kepada Allah. Berbeda pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Sosok Khalifah yang berhasil mengentaskan rakyatnya dari kemiskinan. Semua rakyatnya hidup berkecukupan. Inilah contoh para Khalifah yang mampu mengatasi berbagai situasi dalam meriayah umatnya.
Sosok penguasa yang benar-benar meriayah umat, hanya lahir dalam sistem pemerintahan Islam. Sistem yang memiliki aturan komprehensif yang bersumber dari Alquran dan Sunah, menyelesaikan problematika hidup manusia. Bukan sistem kapitalis yang menawarkan kesejahteraan sebatas angka dan ilusi.
Sudah seharusnya umat beserta penguasa beralih kepada Islam dan menerapkan secara kaffah dalam bingkai Khilafah. Mewujudkan kesejahteraan umat secara paripurna.
Waallahu a'lam bis shawwab.
*(Pemerhati Masyarakat)
Tags
Opini