Oleh Cahaya Septi
Penulis dan Aktivis Dakwah
Sampai saat ini, setelah hampir dua tahun, wabah virus Covid-19 belum juga menunjukkan tanda-tanda akan segera berakhir. Tentu sudah banyak korban berjatuhan. Dari mulai PSBB, PPKM darurat hingga PPKM level 3-4 saat ini. Semuanya tanpa kompensasi sama sekali dari pemerintah yang diberikan kepada rakyatnya. Padahal dengan kebijakan pembatasan tersebut, tentu banyak kegiatan usaha masyarakat terpaksa berhenti. Pusat-pusat perbelanjaan pun banyak yang sepi. Banyak perusahaan tak lagi beroperasi. Akhirnya, kini banyak orang menganggur dan gigit jari. Betapa hidup makin sulit meski sekadar mencari sesuap nasi.
Pada saat yang sama, bantuan sosial dari pemerintah malah dikorupsi. Padahal tanpa dikorupsi pun, bantuan dari pemerintah selama ini jauh dari kata memadai. Hanya cukup untuk satu-dua hari. Akhirnya banyak pekerja-pekerja yang berhenti karena pandemi.
Sayangnya, sejak awal kita tidak terlalu berharap banyak kepada pemerintah. Terbukti, sejak awal Pandemi, kebijakan pemerintah tampak lebih berpihak pada kepentingan oligarki dari pada kepada rakyat kebanyakan. Pemerintah lebih berkepentingan menyelamatkan bisnis para kapitalis daripada menyelamatkan jutaan nyawa rakyat. Itulah mengapa, sampai saat ini, kebijakan lockdown tak kunjung segera diambil. Alasannya, kebijakan lockdown dianggap akan merugikan secara ekonomi, terutama tentu berdampak pada bisnis para kapitalis. Alasan lainnya, tentu karena kebijakan lockdown —sesuai UU Kekarantinaan— mewajibkan pemerintah untuk memberikan kompensasi untuk rakyat. Inilah yang sejatinya dihindari oleh pemerintah. Kompensasi untuk rakyat dianggap sebagai beban. Padahal konon pemerintah sudah menghabiskan seribuan triliun rupiah dana pinjaman yang dimaksudkan untuk mengatasi pandemi dan segala dampaknya.
Di tengah-tengah pemerintah yang gagal mengurus rakyat, khususnya pada saat wabah seperti ini, tentu penting bagi kita, kaum muslim, makin mempererat ukhuwah. Makin meningkatkan kepedulian. Makin melipatgandakan bantuan untuk melepaskan beban mereka yang sedang ditimpa kesulitan akibat terdampak wabah.
Kaum muslim harus menyadari bahwa memelihara dan mempererat ukhuwah islamiyah adalah kewajiban setiap muslim. Kewajiban ini didasarkan pada sejumlah nas al-Quran maupun as-Sunnah. Di dalam al-Quran Allah Swt. berfirman:
“Sungguh kaum Mukmin itu bersaudara.” (TQS al-Hujurat [49]: 10)
Ayat ini menghendaki ukhuwah kaum mukmin harus benar-benar kuat, bahkan lebih kuat daripada persaudaraan karena nasab. Karena bersaudara, normal dan alaminya kehidupan mereka diliputi kecintaan, perdamaian dan persatuan, saling memperhatikan, saling menguatkan, saling peduli serta saling membantu dalam ragam kesulitan.
Salah satu perwujudan hakiki ukhuwah islamiyah adalah saling peduli, khususnya saat banyak saudara sesama muslim ditimpa ragam kesulitan, terutama pada saat-saat wabah seperti ini. Di sinilah pentingnya kaum muslim untuk saling membantu dan saling menolong. Apalagi membantu atau menolong sesama muslim merupakan salah satu amal shalih yang utama dan agung.
Karena itulah, tidak boleh kita tidak saling peduli. Dalam sebuah hadis qudsi dinyatakan, ketidakpedulian seorang muslim terhadap muslim lainnya seolah-olah disamakan dengan ketidakpedulian kepada Allah Swt. Abu Hurairah ra. menuturkan bahwa Baginda Rasulullah saw. pernah bersabda: Sungguh Allah Swt. berfirman pada Hari Kiamat nanti (yang artinya), “Hai manusia, Aku pernah sakit. Mengapa engkau tidak menjenguk-Ku.” Manusia menjawab, “Tuhanku, bagaimana aku menjenguk-Mu, sementara Engkau adalah Tuhan alam semesta?” Allah Swt. berfirman, “Bukankah engkau dulu tahu hamba-Ku si fulan pernah sakit di dunia, tetapi engkau tidak menjenguk dia? Bukankah engkau pun tahu, andai engkau menjenguk dia, engkau akan mendapati Aku ada di sisinya? Hai manusia, Aku pernah meminta makan kepada engkau di dunia, tetapi engkau tidak memberi Aku makan.” Manusia menjawab, “Tuhanku, bagaimana Aku memberi Engkau makan, sementara Engkau adalah Tuhan semesta alam?” Allah Swt. menjawab, “Bukankah engkau tahu, hamba-Ku pernah meminta makan kepadamu, tetapi engkau tidak memberi dia makan? Bukankah andai engkau memberi dia makan, engkau mendapati Aku ada di sampingnya?” (HR Muslim)
Melepaskan beban atau kesulitan orang lain adalah bagian dari kepedulian kita kepada sesama muslim. Bahkan memenuhi kebutuhan orang lain itu sebaiknya mesti dilakukan sebelum diminta oleh yang bersangkutan. Abdullah bin Ja’far berkata, “Sungguh orang yang disebut pemurah itu bukanlah orang yang memberi engkau setelah diminta. Namun, orang pemurah itu adalah orang yang memberi tanpa diminta. Sebabnya, sungguh usaha yang dikerahkan orang-orang yang meminta kepadamu jauh lebih keras dari apa yang engkau berikan kepada dirinya.” (Ibn Abi ad-Dunya’, Qadha’ al-Hawa’ij)
Karena itulah siapa saja yang diberi kemampuan lebih, hendaklah ia banyak bersedekah. Apalagi saat ini, banyak orang susah akibat terdampak wabah. Mereka tentu memerlukan uluran tangan dan sedekah kita. Apalagi sedekah atau infak hakikatnya adalah “memberikan pinjaman” kepada Allah Swt., yang akan dibalas dengan berlipat ganda, sebagaimana firman-Nya:
“Siapa saja yang memberi Allah pinjaman yang baik (menginfakkan hartanya di jalan-Nya), Dia akan melipatgandakan pembayarannya dengan berkali-kali lipat.” (QS al-Baqarah [2]: 245)
Dalam hal bersedekah kita harus meneladani para Sahabat Rasulullah saw. Abdurrahman bin Auf adalah satu di antara para sahabat Rasul saw. yang paling rajin mengeluarkan sedekah atau infak untuk kepentingan Islam dan kaum muslim. Beliau, misalnya, pernah menjual tanahnya seharga 40 ribu dinar. Seluruh hasil penjualannya lalu ia bagi-bagikan kepada fakir-miskin, termasuk kepada para istri Nabi saw. (HR al-Hakim).
Sebagai pribadi muslim, semoga kita diberikan kemudahan untuk meneladani kepedulian serta kemurahan hati para sahabat. Dan semoga kesatuan kaum muslimin di bawah naungan sistem Islam segera terwujud. Aamiin.
Wallahu a'lam bi ash-shawab
(Sumber: Buletin Kaffah)
Tags
Opini