Oleh: Aprilina, SE.I*
Indonesia dinyatakan sebagai negara hukum (UUD 1945, pasal 1ayat 3). Pada pasal 27 ayat 1 disebutkan: "segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya." Memiliki kitab undang-undang hukum pidana dan perdata yang bersumber dari hukum peninggalan pemerintahan Belanda. Maka, penerapan hukum di Indonesia sedikit banyaknya dipengaruhi oleh sistem hukum yang pernah diterapkan oleh Belanda di negara ini.
Tontonan yang selalu diperlihatkan kepada masyarakat dalam penerapan hukum ialah ketidakadilan. Diantaranya, penangkapan para aktivis dakwah Islam yang dijerat hukum ujaran kebencian ketika menyampaikan dakwahnya. Sementara, ketika ada orang-orang yang dengan jelas mengungkapkan kebenciannya kepada umat Islam melalui media sosial dan elektronik, tidak dilakukan proses hukum terhadap yang bersangkutan. Meskipun sudah dilaporkan kepada pihak yang berwajib dengan prosedur yang berlaku.
Selain itu, kasus pencurian uang negara oleh para pejabat yang bernilai triliunan dihukum ringan tak sebanding dengan kerugian yang dialami oleh negara. Bahkan ada yang bebas berkeliaran tanpa hukuman yang setimpal (www.republika.co.id, 29 Desember 2020). Namun disisi lain, pencurian kakao oleh rakyat kecil diproses hukum dan terancam hukuman penjara 6 bulan menurut pasal 362 KUHP (kompas.com, 19 November 2009).
Pada tahun 2015, kasus pencurian beberapa biji sawit senilai Rp. 41.000,- menyeret pelakunya ke meja hijau (news.detik.com, 13 Mei 2015). Kejadian seperti ini terus berulang. Dari beberapa kasus ini bisa kita analisa bahwa siapapun pemimpinnya tidak membawa perubahan pada penerapan hukum di negeri ini. Maka, yang menjadi permasalahan bukanlah siapa yang memimpin tapi dengan sistem pemerintahan seperti apa seseorang menjalankan kepemimpinannya. Sehingga hukum yang diterapkan bisa adil.
Sebagai seorang muslim dan pemimpin sebuah negeri dengan jumlah penduduk mayoritas muslim, sudah selayaknya pemimpin negeri ini meneladani kepemimpinan Rasulullah SAW.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
"Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah." (TQS. Al-Ahzab [33]: 21)
Memimpin sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW merupakan kewajiban setiap muslim.
Dari Abdullah, Nabi ﷺ bersabda:
"Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya.
Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya.
Seorang laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang wanita adalah pemimpin atas rumah suaminya, dan ia pun akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang budak juga pemimpin atas harta tuannya dan ia juga akan dimintai pertanggungjawabannya.
Sungguh setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya." (Hadits Sahih Riwayat al-Bukhari: 4789).
Dalam hal penerapan hukum, Rasulullah SAW memberikan contoh ketegasan. Ketika ada wanita yang berasal dari kabilah Makhzumiah, golongan bangsawan Quraisy, yang mencuri perhiasan, orang-orang takut melaporkannya kepada Rasulullah SAW. Mereka bermaksud meminta kesediaan Usamah bin Zaid untuk membujuk Rasulullah SAW agar tidak melaksanakan hukum potong tangan terhadap wanita tersebut. Namun, ketika Rasulullah SAW mendengar cerita dari Usamah bin Zaid, beliau berkhutbah dihadapan orang ramai:
“Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah manakala ada orang yang terpandang (terhormat) dari mereka mencuri, maka merekapun membiarkannya. Namun jika ada orang yang lemah dan hina diantara mereka ketahuan mencuri, maka dengan segera mereka melaksanakan hukuman atasnya. Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sekiranya Fatimah binti Muhammad mencuri, sungguh aku sendiri yang akan memotong tangannya.”
Demikianlah ketegasan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW sebagai pemimpin. Maka demikian pulalah seharusnya pemimpin hari ini bersikap. Komitmen dan tegas dalam menerapkan hukum yang sudah ditetapkan tanpa pandang bulu. Hanya dengan menerapkan Al Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW, keadilan bisa dirasakan. Sesungguhnya setiap perbuatan pasti akan mendapatkan balasan yang setimpal.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman yang artinya:
"Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya." (TQS. Al-Zalzalah [99]: 7-8)
Wallaahu a'lam
*Aktivis Muslimah Peduli Umat
Tags
Opini