Penanganan Tak Merata, Pandemi Tak ada Habisnya



Oleh: Faizah Khoirunnisa' Azzahro

Kesan Jawasentris, rupanya tak hanya terlihat di sektor pembangunan ekonomi. Dalam hal penanganan pandemi, pemerintah juga terkesan hanya fokus pada daerah-daerah di Pulau Jawa saja. Hal terlihat dari penerapan PPKM yang hanya berlaku di Jawa dan Bali. Sejak Indonesia merdeka hingga rezim saat ini, belum tampak adanya pembangunan yang merata hingga ke pelosok daerah.

Di Jawa, dimana ketersediaan fasilitas kesehatan dan akses informasinya jauh lebih banyak saja, penanganan pandemi masih carut marut, lalu bagaimana dengan daerah yang fasilitas kesehatannya tertinggal dan tak sebaik Jawa? Tak heran, di luar Jawa pun kenaikan kasus positif Covid19 tak kalah mengkhawatirkan.  

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan ada lima provinsi di luar Pulau Jawa-Bali yang mengalami kenaikan kasus Covid-19 cukup tinggi yaitu Kalimantan Timur (Kaltim), Sumatera Utara (Sumut), Papua, Sumatera Barat (Sumbar) dan Kepulauan Riau. Per tanggal 6 Agustus kemarin, Kaltim, kasus aktif yang ada 22.529 kasus, Sumut dari 21.876 naik menjadi 22.892 kasus, Papua 14.989 kasus, Sumbar dari 14.496 menjadi 14.712 kasus, Kepulauan Riau 13.958 naik menjadi 14.983 kasus. (www.nasional.sindonews.com, 8-8-2021).

Bobroknya Sistem dan Ideologi yang Berlaku

Dengan jumlah kasus dan  ketersediaan nakes serta faskes di luar Jawa, dapat terbayang bagaimana kekacauan kondisi penanganan wabah disana. Korban yang berjatuhan tak hanya murni karena infeksi virus Covid19, namun ada faktor kelalaian penguasa dalam periwayatan yang jauh dari sifat amanah. Penguasa yang tak bertanggung jawab memiliki andil besar dalam makin meluas dan berlarutnya wabah ini.

Meski lonjakan kasus sudah sedemikian tinggi, bahkan Indonesia menduduki peringkat satu dunia sebagai episentrum Covid19, pemerintah tak kunjung tergerak untuk mengambil solusi konkrit yang jelas-jelas sudah tertera dalam undang-undang, yakni karantina wilayah. Sebagaimana, watak penganut kapitalisme, pemerintah tak mau boncos secara materi, sebab karantina wilayah harus keluar duit untuk memenuhi kebutuhan rakyat dan ternak selama dikarantina.

Tentu saja bagi mereka dan pemodal, ini bukanlah hal yang menguntungkan, melainkan buntung. Lha kan biaya karantina bisa diambil dari kekayaan alam yang jadi milik rakyat bersama? Sayangnya, di tangan sistem demokrasi dan ideologi kapitalisme, semua aset publik telah diprivatisasi dan dibagi-bagi ke pemodal yang keuntungannya lebih banyak mengalir ke kapitalis itu sendiri. Bagai sudah jatuh tertimpa tangga, sudahlah tidak kebagian haknya, rakyat menjadi sapi perah melalui pajak disana-sini. Belum lagi bicara gurita korupsi, yang bikin APBN jebol sana sini. Akhirnya, rakyat kian dimiskinkan sistem dan penguasa yang dzalim.

Memilih menerapkan sistem demokrasi dan ideologi kapitalisme, adalah kesalahan terbesar bangsa ini karena menimbulkan kerusakan dengan spektrum yang sangat luas. Bobroknya sistem dan ideologi yang berlaku hari ini semakin terpampang nyata di situasi pandemi. Keselamatan nyawa rakyat tak lebih penting dari desain baru cat pesawat kepresidenan seharga milyaran, tak lebih prioritas dari kerennya seragam pejabat DPR bikinan Louis Vuitton, dan tak lebih mendesak dibandingkan eksistensi di pagelaran pemilu 2024.

Bak anak tiri, daerah di luar Jawa, harus sabar menanti sambil gigit jari, menanti langkah sigap penguasa dalam menekan laju pandemi. Sementara itu, di Jawa sendiri, masyarakatnya juga meronta-ronta karena tak puas dengan pelayanan yang diberikan. Betapa malangnya nasib rakyat di tangan penguasa yang hanya peduli kepentingan golongan dan pribadinya, sembari menjilat pada pemilik modal. Rakyat dianggap sebagai beban ekonomi yang merugikan mereka dan pemodal yang mereka layani. 

Pandemi Saatnya  Evaluasi

Momen wabah yang merupakan bagian dari ujian, musibah dan teguran ini, harusnya mendorong kita secara bersama-sama melakukan evaluasi total. Apakah yang menjadi akar masalah sehingga negeri ini terus bertubi-tubi ditimpa persoalan yang seakan silih berganti. 

Sebagai muslim, tak ada jawaban terbaik atas persoalan ini selain dengan merujuk kembali kepada pedoman hidup yang paripurna, yakni Al-Qur'an. Atas kondisi ini, tidakkah kita ingat akan sindiran Allah dalam surat Al-Maidah ayat 50 tentang hukum siapa yang lebih baik, hukum milik-Nya ataukah buatan manusia? Sebagai jawaban Allah telah memberi  tanda berupa kerusakan kehidupan manusia di berbagai sektor karena ulah tangan manusia itu sendiri yang mencampakkan aturan-Nya (QS. Ar-Rum: 41). Sadarkah kita bahwa Allah tak ridho atas ulah kita yang membiarkan sistem jahiliyah (demokrasi dan kapitalisme) berlaku hari ini, sehingga Allah tegur kita dengan berbagai masalah yang ada agar kita kembali kepada sistem Islam dan syariat-Nya? Semoga kita termasuk orang-orang yang mempergunakan akal dan keimanan kita untuk membaca tanda yang ada. Wallahu'alam bish-showwab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak