Oleh Sriyama (Relawan Media)
Skenario kebijakan pemerintah dari mulai awal pandemi seperti kebijakan PSBB sampai kebijakan PPKM darurat yang berlangsung dari tiga pekan lalu untuk menahan penyebaran kasus Covid-19 ternyata masih belum efektif. Bahkan beberapa pihak menyebut bahwa PPKM 3-4 yang dilakukan saat ini belum dapat menekan laju pertumbuhan kasus, sehingga masih diperpanjang.
Respon pemerintah Indonesia yang menyepelekan saat merebaknya Virus Korona di Cina dan di awal kasus terkonfirmasi positif Covid-19, menunjukkan sikap abai terhadap pandemi. Kebijakan setengah lockdown terkesan pemerintah lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi dibanding keselamatan nyawa rakyat. Akibatnya jumlah kasus positif covid-19 di Indonesia saat ini, masuk tertinggi pertama di dunia bahkan telah melampaui negara India yang dilaporkan sebelumnya memegang urutan pertama.
Kasus covid-19 dalam kisaran 21% atau sekitar empat kali lebih tinggi dari standar WHO. Jumlah tes Covid-19 sendiri terus menurun, hingga mencapai hanya sekitar 180.000 di hari Selasa (20/7/2021). Padahal, di awal PPKM, pemerintah menargetkan peningkatan jumlah tes hingga 410.000 per hari. (bbc.com, 21/7/2021)
Alih-alih menekan laju penyebaran wabah virus, kebijakan-kebijakan yang ada memperpanjang masa pandemi hingga telah mencapai 1,5 tahun. Selama itu pula kehidupan rakyat semakin melarat.
Tak heran ketika Anggota Komisi XI DPR Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) Anis Byarwati meminta agar Pemerintah segera menyalurkan bantuan sosial (bansos) baik tunai maupun non-tunai untuk membantu masyarakat miskin jika memang ada perpanjangan PPKM darurat. (Liputan6.com 13/07/21)
Namun meski pemerintah telah menggelontorkan bantuan sosial selama pandemi ini. Jumlahnya kurang signifikan, distribusinya tidak merata, serta banyak salah sasaran. Akibatnya bantuan ini tidak efektif untuk mengurangi efek ekonomi pandemi.
Mirisnya, justru dana APBN 2022 sebesar 80% akan dianggarkan untuk restrukturisasi. Inilah wajah asli bobroknya sistem kapitalisme yang menampakkan diri melalui buruknya alokasi dana negara, yang mana bila ada unsur materi maka rakyat bisa jadi taruhannya. Dana negara yang seharusnya terfokus pada rakyat yang berdampak oleh pandemi malah di gunakan untuk kepentingan yang tidak mendesak.
Buruknya alokasi dana negara juga tercermin dengan adanya suntikan modal ke BUMN yang sebenarnya tidak begitu mendesak. Sebagaimana yang diungkap oleh Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Aria Bima bahwa Komisi VI menyetujui usulan tambahan Penyertaan Modal Negara (PMN) Tahun Anggaran 2021 sebesar Rp33,9 triliun. (dpr.go.id. 14/07/2021)
Dalihnya, tambahan PMN 2021 untuk penanganan Covid-19 dan untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi nasional di masa pandemi. Padahal bila tema besarnya adalah penanganan pandemi, sementara pandemi adalah problem kesehatan yang menyangkut nyawa rakyat yang sudah pasti sifatnya mendesak seharusnya BUMN farmasi yang mendapat prioritas “suntikan modal” faktanya justru BUMN farmasi tidak masuk daftar penerima PMN.
Mengamati kondisi hari ini, jumlah kasus terkonfirmasi covid-19 terus meningkat, fasilitas kesehatan hampir kolaps, jumlah yang meninggal positif korona meningkat drastis, kesulitan hidup rakyat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, ketidakberpihakan penguasa terhadap kebutuhan rakyat, semestinya sudah cukup untuk menjadi alasan untuk hengkang dari sistem kapitalisme dan wajib berpindah pada sistem Islam.
Sebagai agama yang sempurna, Islam memberikan solusi bagaimana menangani pandemi, termasuk menyelesaikan dampak ekonominya. Penanganan pandemi dalam Islam adalah lockdown untuk mencegah penularan lebih luas, isolasi terpusat si sakit dengan masyarakat yang sehat. Selanjutnya si sakit diberi pengobatan yang berkualitas tanpa biaya.
Saat terjangkit penyakit sudah tentu pasien tidak bisa bekerja untuk mencari nafkah keluarganya, sehingga tanggung jawab pemenuhan kebutuhan primer keluarga tersebut secara layak, menjadi tanggungan negara.
Dalam Islam pembiayaan tersebut berasal dari kas negara atau baitul mal. Pada anggaran baitul mal, terdapat hak pembelanjaan karena adanya unsur keharusan berupa peristiwa yang menimpa rakyat, salah satunya adalah wabah pandemi. Pembelanjaan anggaran tidak ditentukan berdasarkan adanya harta. Pembelanjaannya berupa hak yang paten. Prinsipnya, seberapa pun kebutuhan yang diperlukan, wajib dikeluarkan oleh negara.
Negara dalam Islam benar-benar mengayomi dan menjamin kebutuhan rakyat selama masa pandemi berlangsung, sehingga kebutuhan rakyat tetap terpenuhi walaupun sedang lockdown. Dana baitul mal tidak akan digunakan untuk keperluan yang tidak mendesak melainkan terfokus pada penjaminan kebutuhan dan penanggulangan wabah.
Islam tidak mengenal konsep bansos. Apalagi jika bansos yang pilih kasih, prosedur berbelit dan jumlahnya jauh dari kelayakan seperti kebijakan pemerintah Indonesia sekarang. Menurut Islam, rakyat bukan pengemis, dan tanggung jawab negara adalah melayani kemaslahatan rakyat.
Nabi Muhammad saw. bersabda, “Pemimpin masyarakat adalah pemelihara dan dia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Pemimpin adalah pengurus urusan rakyat. Ia akan diminta pertanggungjawaban atas apa yang diurusnya. Sudahkah negara memberikan layanan terbaik kepada rakyatnya?
Saat ini rakyat butuh pemimpin yang amanah yang mampu melayani urusan rakyat dan itu hanya ada dalam Islam. Islam memiliki konsep pelayanan yang jelas dan tegas. Pemimpin dalam sistem Islam sadar akan tugasnya sebagai pengurus urusan umat dan akan mempertanggungjawabkan kepengurusannya di hadapan Allah SWT. Maka dalam kepemimpinannya seorang kepala negara akan lebih mengedepankan kepentingan hidup rakyatnya ketimbang pembangunan yang tidak mendesak apalagi di saat menghadapi wabah.
Maka sudah seharusnya kita sebagai umat muslim yang menginginkan kesejahteraan berjuang bersama demi tegaknya sistem Islam yang telah terbukti menyejahterakan umat, dan membuang jauh-jauh sistem kapitalisme yang jelas mementingkan kemanfaatan dibanding kemaslahatan.
Wallahu’alam bishawab.
Tags
Opini