Negara Terburuk Tangani Pandemi, Haruskah Kembali Memilih Demokrasi?



Oleh Ulianafia
(Pegiat Literasi)

Indonesia baru-baru ini dinyatakan sebagai negara terburuk dalam penaganan wabah Covid-19 oleh Bloomberg salah satu lembaga penelitian AS.  Indikator tersebut digunakan oleh Bloomberg dalam menyusun peringkat ketahanan Covid-19 di 53 negara. Indikator itu mulai dari kualitas fasilitas kesehatan, cakupan vaksinasi, kematian, proses perjalanan hingga pelonggaran perbatasan. Dimana semua indikator ini memiliki nilai terrendah dari semua negara di dunia.  (Kompas.com, 30/7/2021)

Kondisi buruk ini bukanlah ada karena pandemi semata melainkan sudah tertanam sejak benih kapitalis ditancapkan dalam kehidupan dunia ini. Semua dimulai semenjak Islam diruntuhkan dan digantikan oleh sistem kapitalis sekuler oleh penghianat mustafa Kemal Atartuk, seorang Yahudi yang berbaju Islam.

Semenjak itulah, benih kerusakan dan kehancuran kehidupan mulai tumbuh dan berkembang hingga buahnya terus terpanen hingga hari ini. Kemiskinan, penjajahan, kriminalitas, kerusakan moral, kelemahan dan kehancuran generasi, serta kebodohan yang akut menjadi kubangan yang menjerumuskan umat.

Padahal kita ketahui bagaimana wajah asli dari demokrasi sendiri. Memang slongannya, "Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat". Dimana, kedaulatan ditangan rakyat yang kemudian di wakilkan oleh para wakil rakyat, DPR sebagai pembuat kebijakan. Sedang kebijakan diputuskan sesuai suara terbanyak. Suara rakyat adalah suara tuhan begitulah tepatnya.

Semua disandarkan pada pemikiran manusia, yang tentunya dengan menelanjangi nilai-nilai agama disetiap kebijakan. Jadilah khamr dirundingkan di meja DPR, zina difasilitasi dengan kondom, bahkan tidak tanggung-tanggung dibuatlah hari kondom sedunia di setiap tanggal 13 Februari. Kerudung dipermasalahkan, niqab dilarang, para dai dibonsai dengan sertifikasi, modernisasi yang terus digencarkan bahkan sampai penangan pandemi yang miskin solusi.

Semua ini tentu karena aturan buatan manusia yang tentu dipenuhi berbagai kepentingan untung-rugi belaka. Ditambah mereka tidak mengenal baik siapa Tuhannya, Hal ini berujung tidak adanya pemahaman akan pertanggung jawaban atas semua perbuatannya kelak. Jikapun ada ia tidak akan mampu menembus lubuk hati, melainkan hanya ada dalam ingatkan dan lisan belaka. Sebagaimana, kapitalisme l sebagai ibu kandung dari demokrasi mengajarkan bahwa kebahagiaan ialah ketika manusia mampu memenuhi segala kebutuhan jasmaninya. Jadilah, lahir manusia-manusia penghamba nafsu dunia.

Sebenarnya, jika seorang Muslim mau melihat secara jujur akan nilai-nilai demokrasi, tentu ini sudah menyimpang jauh dari kodrat manusia sebagai makhluk yang paling sempurna di atas muka bumi ini.

Menjadi makhluk yang paling sempurna  karena manusia dibekali akal, sedang pada makhluk yang lain tidak. Jika manusia tidak menggunakan akalnya  untuk memikirkan kehidupan ini sebelum menjalani kehidupan tentu ia akan sama dengan binantang bahkan tabiatnya lebih buruk. Seperti, LGBT, menyembah sesama makhluk dan bahkan benda mati, rakus dengan segala kekayaan dunia, membunuh anak, pasangan dan keluarga dan bahkan sampai memutilasi dan aborsi.

Manusia yang melepaskan agama dalam menjalankan akal dan memenuhi nafsu akan menjadi manusia yang paling hina, paling kejam, paling keji, paling rakus dan paling bodoh karena tidak mengetahui hakikat dunia yang fana, sedang ia mengharapkan kekal didalamnya.

Sudah cukup kehidupan demokrasi ini menggambarkan wajah aslinya. Bagaimana kekejaman manusia yang genosida, menyiksa, membunuh manusia lain karena nafsu ingin berkuasa. Nafsu yang dibarengi akal tanpa bimbingan syari'at pastilah  begitu berbahaya.

Sebab hanya syari'at Islam yang akan membimbing manusia untuk menjalankan akalnya secara sempurna. Dimana ia akan menemukan siapa dirinya, siapa tuhannya, dan apa tujuan hidupnya. Dengan demikian manusia tidak akan terbelenggu oleh nafsu yang cenderung kepada kepuasan jasmaniah  semata. Namun, ia akan terbimbing disetiap aktivitas hidupnya. Menghindari segala aktivitas yang akan menimbulkan mudarat baik diri sendiri atau orang lain, baik berakibat hari ini ataupun nanti. Serta mencintai akan kebaikan dan kemaslatan sekalipun itu hanya buang sampah pada tempatnya atau menyingkirkan batu dari tengah jalan. Sungguh kebaikan akan tanpa menyelimuti kehidupan umat muslim yang paham dan berpegang pada syari'at Islam.

Sedang penerapannya dalam kehidupan akan membawa keberkahan dan kebaikan pada seluruh kehidupan didunia. Sebaliknya jika manusia mencampakkan petunjuk ini, tentu kesengsaraan dan kesempitan hidup akan menyelimuti.
"Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan" (TQS Al-A'raf [7]:96)

Maka tiada jalan lain, kecuali mengambil Islam sebagai solusi tunggal untuk kehidupan. Agar kemaslatan bisa dirasakan oleh setiap manusia, baik Muslim maupun nonmuslim dan juga keberkahan untuk alam semesta ini.

Wallahu a'lam bishawwab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak