Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Lagi-lagi Menko Polhukam Mahfud Md menyebar polemik. Ia mengatakan Indonesia lahir dari ijtihad para ulama. Hal itu mengajarkan bahwa perjuangan Islam adalah perjuangan substansi, bukan perjuangan formal simbolik. Dia mengatakan, berdasarkan Pancasila, Indonesia adalah negara kesepakatan tanpa memandang perbedaan suku dan agama. "Ibrahnya itu substantif. Persaudaraannya yang diperjuangkan, kedamaiannya, kesantunan, dan kejujurannya. Itu merupakan satu cara dakwah yang baik," ujar Mahfud (detiknews.com, 21/8/2021).
Pernyataan Mahfud itu sebagai respon atas sekelompok orang yang ingin mendirikan negara Islam dengan berbagai terornya di berbagai daerah Indonesia, khususnya Sulawesi Selatan. Hal itu disampaikannya saat dialog virtual dengan tokoh lintas agama Sulawesi Selatan. Meskipun Indonesia tidak memakai nama 'negara Islam Indonesia' atau 'negara khilafah Indonesia', perjuangan substansi ajaran Islam telah dilakukan sejak Indonesia berdiri. "Islam itu agama kemanusiaan, tidak memandang agama apa pun. Semua adalah saudara sesama manusia," imbuh Mahfud.
Sementara Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas menyampaikan satu fakta sejarah yang tidak bisa ditolak dan tidak bisa diingkari adalah Indonesia merdeka bukan hanya hasil Islam saja. Tokoh agama Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha ikut berjuang dalam memerdekakan Indonesia. "Maka menjadi kewajiban kita semua menjaga Indonesia ini tetap utuh sebagai warisan dari para tokoh kita terdahulu. Kalau kita tidak mau bersama menjaga Indonesia, artinya kita menginjak-injak apa yang dulu diperjuangkan oleh para pendahulu kita dan itu tentu bukan ajaran dari agama kita," ujarnya. Intinya, para tokoh agama yang hadir secara virtual diminta setia pada ideologi negara yaitu Pancasila.
"Pancasila ini final, tidak bisa diganggu dengan bentuk ideologi yang lain. Pancasila adalah kesepakatan untuk hidup bersama dalam sebuah wilayah bernama NKRI. Dan ini sudah jadi alasan yang cukup bagi kita semua untuk tetap hidup damai berdampingan dan saling menghargai dengan agama sebagai inspirasi kita bersama," tambah Yaqut.
Yaqut yakin, tidak ada ideologi di dunia yang sekuat Pancasila. Ia berharap para tokoh agama sama-sama menjaga ideologi Pancasila yang mampu mempersatukan perbedaan. "Percayalah bahwa radikalisme, pemahaman agama yang fatalistik dan membabi buta, itu pada ujungnya adalah keruntuhan tatanan masyarakat," pungkas Yaqut.
Nama adalah Identitas, mengapa dimutilasi?
Sungguh jika mengikuti pola pikir tokoh-tokoh kita di atas tak cukup hanya merasa kepala pusing, namun juga mengelus dada prihatin. Sebegitu rendahnyakah cara berpikir mereka dan betapa buruknya gambaran Islam dalam benak keduanya. Telah jelas hal mendasar yang senantiasa membakar semangat perjuangan para pejuang dulu, bukan sekadar kemerdekaan dari penjajahan, namun lebih kepada tuntutan akidah mereka sebagai Muslim. Allah jelas mengharamkan penjajahan, terlebih jika penjajahan itu sebagai jalan untuk menguasai kaum Muslim.
Sebagaimana firman Allah SWT,"Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.” (QS. Al-Nisâ’ [4]: 141). Yel-yel mereka adalah takbir, menggema dari seluruh penjuru negeri. Bagaimana perjuangan manusia-manusia unggul yang kini mendapat penghargaan pahlawan nasional adalah karena ingin melenyapkan penjajahan. Sebut saja Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Dewi Sartika, Cut Nya Dien dan lainnya.
Semangat tauhid itu pulalah yang melandasi pembentukan piagam Jakarta sebagai pembukaan UUD 1945, namun hilangnya 7 kalimat telah membuktikan bahwa tidak semua founding father negara ini memiliki tujuan yang sama dalam bernegara, sejak awal mereka yang selain Muslim telah menaruh curiga jika negara ini berdasarkan syariat Islam justru akan berdampak buruk. Pertanyaannya, hingga usia kemerdekaan ke-76 ini sudahkah hilang ketidakadilan dan berganti kesejahteraan?
Berganti pemimpin keadaan rakyat Indonesia tak kunjung membaik. Kian memburuk, ironinya penguasa negeri ini bukannya fokus pada penanganan keadaan dengan suatu aturan yang pasti malah membicarakan hal yang tak urgen. Narasi-narasi buruk selalu diserukan terhadap kelompok yang ingin mendirikan negara Islam dan mencukupkan pada persaudaraan semata. Padahal sejatinya ukhuwah yang benar adalah yang memberikan dampak kebangkitan pemikiran pada umat.
Rasulullah SWT sebagai Uswatun khasanah pun tak pernah mencontohkan meraih kekuasaan melalui teror, melainkan dengan pemikiran. Justru jika muncul pendapat yang demikian adalah bukti betapa buruknya pemahaman mereka tentang perjuangan Rasullulah. Dengan jelas Allah dan RasulNya memerintahkan kita, kaum Muslim untuk mempunyai pemimpin Muslim yang menerapkan syariat, bukan yang lain.
Allah SWT berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya". ( QS An Nisa:59).
Menurut Ibnu Abbas, Mujahid, Atha’, Hasan Al Basri, dan Abdul Aliyah, ulil amri adalah para ulama. Menurut Ibnu Katsir ulil amri itu bersifat umum baik pemerintah maupun ulama. Sedangkan menurut Syaikh Wahbah Az Zuhaili dalam Tafsir Munir, ulil amri adalah pemimpin dan para ulama. Ketaatan kepada ulil amri harus dibingkai dengan ketaatan kepada Allah dan Nabi Saw. Tidak boleh dalam maksiat dan kemungkaran. “ Sesungguhnya ketaatan itu hanyalah dalam masalah kebaikan.” (HR Bukhari dan Muslim).
Maka, jelaslah bagi kaum Muslim tidak ada landasan terkuat bagi mereka selain Islam itu sendiri, sebab syariat Islam adalah akidah dan peraturan atau yang disebut sebagai ideologi. Bisakah kita dapati aturan dalam Pancasila? Jika memang Pancasila mengandung akidah dan aturan, mengapa koruptor tak berempati menyunat dana bansos, menipu rakyat dengan janji menyejahterahkan, memasang baliho ditengah rakyat dan kelaparan namun mural dipersoalkan, bukankan jika pemerintah anti kritik itu bertentangan dengan Pancasila sila ke-4, Kerakyatan yang dipimpin oleh kebijaksanaan dan permusyawaratan, artinya bicara untuk bermusyawarah ( mengkritik) itu boleh?
Jika memang sila ke-5, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, mengapa pelayanan kesehatan setengah-setengah, masih menghitung untung rugi dengan rakyat, pihak yang seharusnya dijamin oleh negara? Maka jika Islam atau negara Islam hanya diambil substansialnya saja, akan salah arah. Setiap nama adalah Identitas. Demikian pula ketika negara ini bernama republik atau Thailand yang menggunakan sistem kerajaan, Malaysia yang mengambil parlemen dengan perdana menteri pihak yang aktif mengurusi urusan pemerintahan.
Fokus pada Penanganan Pandemi Lebih Baik
Hendaknya pembahasan mengenai radikalisme, ideologi dan lainnya dihentikan saja, sebab pemahaman mereka tentang apa itu ideologi sudah salah, tentu dalam penyikapan juga akan salah. Justru akan memperburuk citra Islam bagi pemeluknya. Sebaiknya fokus pada penanganan pandemi, dengan apa ? Jawabannya jelas kembali kepada pengaturan Islam. Terbukti penanganan ala pemerintah tak kunjung menemukan titik terang, dengan berkali-kali memperpanjang PPKM. Secara tak langsung pemerintah telah mengakui kegagalannya. Wallahu a' lam bish showab.
Tags
Opini