Mempertanyakan Peran Demokrasi saat Pandemi



Oleh Wafa Farha 

(Penulis Sastra Islami dan Pemerhati Kebijakan Publik)


Eksistensi demokrasi menjadi pertaruhan ketika pandemi melanda. Sebagaian berpikir, fokus perhatian publik pada pandemi jangan sampai melemahkan fungsi demokrasi, salah satunya melalui kontrol publik pada kebijakan negara.


Sampai-sampai mereka tetap turun melakukan aksi protes terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan rakyat.


Contohnya, organisasi internasional yang berkampanye untuk perlindungan lingkungan, Greenpeace, menggelar aksi damai untuk menolak pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja di depan Gedung Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (29/6/2020). 


Mereka menggunakan manekin sebagai perwakilan aktivis untuk menyerukan penolakannya terhadap RUU yang dinilai hanya menguntungkan korporasi tersebut. Para aktivis meminta pemerintah dan DPR untuk menghentikan proses pembahasan RUU Omnibus Law dan lebih fokus menangani pandemi Covid-19.


Menurut pakar, dalam jangka waktu tertentu, sebuah bencana dapat mengancam eksistensi demokrasi pada suatu wilayah. Menguatnya peran negara dan terbatasnya ruang gerak pengawasan selama bencana menjadi gerbang pembuka menuju arah pelemahan demokrasi.


Pada skala mikro, stabilitas sebuah wilayah dapat goyah jika dilanda sebuah bencana. Bagi negara yang berada pada tahap transisi dan konsolidasi demokrasi, kondisi ini dapat mengancam eksistensi demokrasi itu sendiri.


Sederetan asumsi di atas barangkali benar. Bahwa sistem akan melemah seiring efek bencana yang terus bertambah. Kesibukan penguasa teralihkan.


Namun, kenyataannya, walau demokrasi tetap dipertahankan, dan kemudian penguasa menerapkan kebijakan, lagi-lagi tak berdampak besar pada kemaslahatan umat. Demokrasi tetaplah demokrasi, sebuah sistem yang bisa ditunggangi kepentingan segelintir manusia-manusia egois. 


Pada akhirnya, efek pandemi sendiri akan merembet pada Ekonomi yang paling mencolok adalah ranah APBN. Keberadaan demokrasi sebagai sistem yang diagung-agungkan penguasa pun dipertanyakan. Benarkah bisa mengentaskan dan mengentaskan pandemi yang melanda di negeri ini ?


Bukan hanya dampak PPKM yang menjadi pilihan pemerintah untuk menghentikan bencana pandemi. Namun, juga APBN yang defisit. 


“Kalau dulu lewat nilai tukar, sekarang lewat APBN. Karena APBN-nya sangat berat,” ujar Didik dalam webinar, Ahad, 1 Agustus 2021.


Setidaknya ada lima faktor di dalam APBN yang berpotensi menyebabkan krisis di kemudian hari. Faktor tersebut antara lain adalah proses politik APBN yang sakit dan bias, dan defisit primer yang semakin melebar dan tidak terkendali.


Selain itu, rasio pembayaran utang terhadap pendapatan yang naik di era Presiden Joko Widodo. Persoalan lainnya adalah dana yang mengendap dan bocor di daerah, serta pembiayaan PMN dan BMN sakit yang berpotensi menjadi masalah di masa depan.


“Saya beri judul faktor kritis APBN di masa pandemi yang berpotensi menyebabkan krisis. Pertama ada krisis pandemi. Di APBN sendiri menanggung krisis. Ini berat. Mestinya APBN dijaga, krisis disembuhkan dari institusi yang tidak krisis,” ujar Didik.


Begitulah, ketika demokrasi dipertahankan dan dipercaya bisa mengentaskan masalah. Kenyataannya yang didapat justru semakin terpuruknya kondisi di negeri ini. Krisis, sesuatu yang klise menjadi dampak terburuk di sebuah negeri yang menganut demokrasi.


Kalau begitu adakah solusi lain, yang bisa menjadi real solusi?


Ada. Jawabannya Islam. Ketika Islam diterapkan, tata kelola pemerintahan sesuai syariah. Politik ekonomi  Islam bertujuan untuk memberikan jaminan pemenuhan pokok setiap warga negara (Muslim dan non-Muslim) sekaligus mendorong mereka agar dapat memenuhi kebutuhan sekunder dan tersier sesuai dengan kadar individu yang bersangkutan yang hidup dalam masyarakat tertentu. Dengan demikian titik berat sasaran pemecahan permasalahan dalam ekonomi Islam terletak pada permasalahan individu manusia, bukan pada tingkat kolektif (negara dan masyarakat).


Menurut Al-Maliki ada empat perkara yang menjadi asas politik ekonomi Islam: (1) Setiap orang adalah individu yang memerlukan pemenuhan kebutuhan; (2) Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok dilakukan secara menyeluruh; (3) Mubah (boleh) hukumnya bagi individu mencari rezeki (bekerja) dengan tujuan untuk memperoleh kekayaan dan meningkatkan kemakmuran hidupnya; (4) Nilai-nilai luhur syariah Islam harus mendominasi (menjadi aturan yang diterapkan) seluruh interaksi yang melibatkan individu-individu dalam masyarakat.


Berdasarkan tata kelola pemerintahan dalam Islam, khilafah akan melaksanakan dan memantau perkembangan pembangunan dan perekonomian dengan menggunakan indikator-indikator yang menyentuh tingkat kesejahteraan masyarakat yang sebenarnya, bukan hanya pertumbuhan ekonomi. Karena itulah indikator ekonomi tidak bisa dilepaskan dari indikator sosial dan hukum; misalnya indikator terpenuhi atau tidaknya kebutuhan primer setiap warga negara yang meliputi sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan, indikator tingkat kemiskinan, ketenagakerjaan, pengangguran, serta kriminalitas. Jadi pertumbuhan ekonomi bukan indikator utama, tidak menjadi target utama dan bukan asas pembangunan. Utamanya dalam hal ini adalah kestabilan sosial dan politik.


Keempat, menstabilkan sistem moneter. Upaya menstabilkan sistem moneter dengan dua cara:

Mengubah dominasi dolar dengan sistem moneter berbasis dinar dan dirham. Ada beberapa keunggulan sistem dinar-dirham di antaranya: 


1) Dinar-dirham merupakan alat tukar yang adil bagi semua pihak, terukur dan stabil. Dalam perjalanan sejarah penerapannya, dinar-dirham sudah terbukti sebagai mata uang yang nilainya stabil karena didukung oleh nilai intrinsiknya. 


2) Tiap mata uang emas yang dipergunakan di dunia ditentukan dengan standar emas. Ini akan memudahkan arus barang, uang dan orang sehingga hilanglah problem kelangkaan mata uang kuat (hard currency) serta dominasinya. Selama ini mata uang dolar sering dijadikan alat oleh Amerika Serikat untuk mempermainkan ekonomi dan moneter suatu negara. Bahkan Amerika sebagai pencetak dolar bisa dengan mudahnya bisa membeli barang-barang dari negara-negara berkembang dengan mata uang dolar yang mereka miliki.


 Inilah yang dikritik oleh Rakadz, Ekonom Amerika, yang juga salah seorang intelijen ekonomi Amerika. Ia menyatakan dalam artikelnya, “Apa yang terjadi pada dunia di ambang tahun 2015? Ambang fase baru dari depresi besar ekonomi.” Dia menyatakan, Bank Federal telah mencetak uang dengan sembarangan, bahkan triliunan dolar AS.

Mengganti perputaran kekayaan di sektor non-riil atau sektor moneter yang menjadikan uang sebagai komoditas menjadi ke arah sektor riil. 


Sektor ini, selain diharamkan karena mengandung unsur riba dan judi, juga menyebabkan sektor riil tidak bisa berjalan secara optimal. Menurut penelitian Prof. Maurice Allais, peraih Nobel tahun 1997 dalam tulisannya, “The Monetery Condition of an Economiy of Market,” yang menyebut hasil penelitiannya yang melibatkan 21 negara besar, bahwa uang yang beredar disektor non-riil tiap hari mencapai lebih dari 440 miliar US$; sedangkan disektor riil hanya sekitar 30 miliar US$ atau kurang dari 10%. Inilah penyebab utama krisis keuangan global. 


Karena itulah uang hanya dijadikan semata-mata sebagai alat tukar dalam perekonomian. Karena itu ketika sektor ini ditutup atau dihentikan oleh khilafah maka semua uang akan bergerak disektor riil sehingga roda ekonomi akan berputar secara optimal. 


Wallahu a'lam bishawwab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak