Korupsi Terus Menggurita, Di Sistem Sekuler



Oleh: Hamnah B. Lin

          Dikutip dari Gatracom tanggal 08/08/2021, Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis survei terkait persepsi publik atas pengelolaan dan potensi korupsi sektor Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia. Berdasarkan hasil survei tersebut diperoleh fakta bahwa korupsi menjadi masalah yang paling memprihatinkan menurut pandangan masyarakat. Direktur Eksekutif LSI, Djayadi Hanan mengungkapkan tingkat keprihatinan korupsi di tengah masyarakat Indonesia mendapat penilaian yang tinggi menurut sigi survei. Sebanyak 44 persen masyarakat menilai sangat prihatin, 49 persen prihatin dan 4 persen tidak prihatin, sementara 2 persen tidak menjawab.
          “Masyarakat kita secara umum menunjukkan keprihatinan paling tinggi terhadap isu korupsi dan isu ekonomi, dalam hal ini lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi," ujar Djayadi Hanan dalam pemaparan hasil survei, Ahad (8/08).
          Menurut survei LSI, isu korupsi berada di urutan pertama dari enam kategori lainnya. Adapun di urutan kedua terdapat isu lapangan kerja di mana diperoleh hasil sebanyak 44 persen responden sangat prihatin, 53 persen prihatin, 2 persen tidak prihatin, dan 1 persen tidak menjawab. Pada urutan ketiga isu pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan Survei LSI, diperoleh 43 persen responden sangat prihatin, 53 persen prihatin, 3 persen tidak prihatin, daan 1 persen tidak menjawab.
          Memprihatinkan, korupsi masih merajai hasil survei masalah yang memprihatinkan menurut pandangan masyarakat. Negara merdeka, namun masih dikekang oleh para koruptor yang makin merajalela. Di masa pandemipun tak menyurutkan langkah para koruptor untuk melakukan aksinya, sungguh hilang hati nurani dan akal sehat mereka. Di tengah kesusahan rakyat yang kian tak tertahan, para koruptor tetap menggerogoti uang tanpa bisa menahan. Sungguh, apa yang membuatnya demikian?
          Kapitalisme, adalah sistem yang diterapkan di Indonesia. Yakni sebuah aturan yang memisahkan Agama ( read: Islam ) dari seluruh urusan kehidupan ( sekulerisme ). Termasuk urusan dalam mengatur negara, harus dipisahkan dari Agama. Agama hanya boleh mengatur untuk urusan pribadi. Maka wajar jika negara ini tidak menjadikan standar Syariat Islam sebagai dasar negara. Hingga muncul perbuatan korupsi sebagai akibat dari pemisahan ini, koruptor menganggap Allah SWT tidak ada tatkala sedang korupsi, tapi Allah SWT ada tatkala koruptor sedang shalat, puasa, haji, zakat, dan dalam ibadah mahdah lainnya.
          Paham sekuler ( memisahkan Agama dalam seluruh aspek kehidupan ) sangatlah berbahaya, ia menafikkan keberadaan Allah SWT yang bisa menyaksikan di manapun kita berada. Sekuler membuat hilang rasa takutnya kepada Allah SWT, menghilangkan empati kepada sesama, bahkan bisa menghilangkan ketaatan untuk berhukum hanya kepada Syariat Allah SWT. Dan ini sudah menerpa para pejabat hingga rakyat melalui berbagai program pemerintah yang semakin masif digencarkan. Mulai dari kurikulum industri, moderasi Agama, moderasi keluarga dan sejenisnya.
          Sungguh ini harus mendapat perhatian serius, utamanya bagi seorang Muslim. Karena sebagai Muslim, Allah SWT telah mewajibkan kepada kita untuk masuk ke dalam Islam secara Kaffah ( Lihat QS. Albaqarah 2: 208 ). Maka sebagai bentuk ketundukan kita kepada Allah SWT atas perintah ini, kita harus menolak sistem yang diterapkan di negeri ini yakni Kapitalisme, dan mendukung penuh bahkan turut berjuang demi tegaknya Sistem Islam yang membawa Rahmat kepada seluruh alam.
          Dengan mengenalkan Islam sebagai Sistem buatan Allah SWT yang sempurna dan paripurna, mampu menyelesaikaan berbagai permasalahan manusia. Apalagi ini adalah momen Tahun baru Hijriah, momen bagi kita semua untuk bareng-bareng hijrah menuju Sistem Islam yakni Khilafah Islamiyah, yakni sebuah sistem pemerintahan Islam yang berdasarkan Alquran dan Assunnah.
         Seperti korupsi, sistem yang benar-benar antikorupsi tidak bisa jalan sendiri. Agar benar-benar bebas korupsi diperlukan aparatur yang juga benar-benar berkarakter antikorupsi. Aktivitas dan efektivitas pemberantasan korupsi yang dijalankan oleh aparatur yang antikorupsi itu sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh karakter pemimpin.
          Di sini diperlukan pemimpin “komandan” dan teladan. Pemimpin “komandan” adalah pemimpin yang antikorupsi, yang komitmen pemberantasan korupsinya tidak diragukan lagi. Pemimpin yang satu antara ucapan dan tindakan. Komitmen antikorupsi itu tampak nyata dalam ucapan, karakter dan kebijakannya. Dia pun memberikan teladan terkait dirinya, keluarga, dan semua koleganya.
        Pemimpin ini memiliki ketakwaan. Rasa takutnya kepada Allah Swt. dan siksa-Nya begitu menghunjam dalam kalbunya. Hal ini akan membuat dia konsisten dan konsekuen menjalankan hukum dan pemerintahan. Dia akan sangat keras menjaga harta rakyat dan negara. Bagi dia, tidak boleh ada harta rakyat dan negara yang hilang atau tersia-sia apalagi dikorupsi.
         Pemimpin teladan hanya akan menunjuk dan memilih pejabat dari orang-orang terbaik, yang bertakwa serta memiliki kapasitas dan profesionalitas. Dia tidak akan menunjuk pejabat karena kedekatan, hubungan, kekerabatan, kolega, pertemanan dan kelompok. Termasuk dalam menunjuk orang yang mengurusi harta dan badan usaha milik negara. Dia tidak akan bagi-bagi jabatan. Istilah balas jasa politik tidak ada dalam kamusnya.
          Pemimpin yang baik akan bersikap tegas kepada siapa pun, bahkan terhadap orang-orang dekatnya sekalipun. Dia tidak akan melindungi pejabat, kolega, kelompoknya atau siapa pun yang terjerat korupsi. Dia tidak akan sudi meloloskan aturan, termasuk aturan administratif yang menghambat atau melemahkan pemberantasan korupsi ataupun memberikan celah untuk perilaku korupsi. Dia juga tidak akan membuat kebijakan, memilih pejabat, dan melakukan upaya yang melemahkan upaya pemberantasan korupsi.
        Pemimpin yang baik itu memiliki ketegasan seperti dicontohkan oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. Jika Umar ra. mendapati kekayaan seorang wali atau ‘amil (kepala daerah) bertambah secara tidak wajar, beliau meminta pejabat tersebut menjelaskan asal-usul harta tambahan tak wajar tersebut. Jika penjelasannya tidak memuaskan, kelebihannya disita atau dibagi dua. Separuhnya diserahkan ke Baitulmal. Hal ini pernah beliau lakukan kepada Abu Hurairah, Utbah bin Abu Sufyan juga Amr bin al-‘Ash (Ibnu ’Abd Rabbih, Al-’Iqd al-Farîd, I/46-47).
         Khalifah Umar pun bersikap tegas terhadap keluarganya sendiri. Ketika melihat unta milik Abdullah bin Umar paling gemuk di antara unta yang digembalakan di padang penggembalaan umum, beliau menyuruh Abdullah bin Umar menjual unta itu. Lalu kelebihan dari modalnya dimasukkan ke kas negara. Khalifah Umar menilai, unta itu paling gemuk karena mendapat rumput terbaik mengingat Abdullah bin Umar adalah putra Khalifah.
          Pemimpin yang baik itu sederhana hidupnya. Dia bukanlah pemimpin yang kekayaannya bertambah banyak ketika menjabat. Pemimpin yang baik itu seperti Khulafaurasyidin. Abu Bakar ash-Shiddiq ra., misalnya, menjelang wafat berwasiat agar jika ada kelebihan harta dari hartanya sebelum menjabat khalifah dikembalikan ke negara. Ketika diperiksa, tambahan hartanya hanyalah unta yang biasa digunakan untuk menyirami kebun, seorang hamba sahaya, dan selembar selimut beludru seharga lima dirham (Muhammad bin Al-Hasan bin Muhammad bin Ali bin Hamdun, At-Tadzkirah al-Hamdûniyyah, I/139).
         Pemberantasan korupsi tentu akan menjadi lebih sempurna jika disertai dengan kontrol dari masyarakat, khususnya para ulama.
         Maka, pemberantasan korupsi hanya akan berhasil dalam sistem Islam. Sebaliknya, sulit sekali bahkan mungkin mustahil terwujud dalam sistem sekuler saat ini. Saatnya berkontribusi untuk bersegera hijrah bareng-bareng menuju Sistem Islam yang membawa keberkahan.
Walllahu a'lam biasshawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak