KONFLIK SOSIAL DITENGAH PANDEMI



Oleh. Lina Ummu Dzakirah

Baru-baru ini ditengah pandemi gelombang dua dan pada saat PPKM diberlakukan banyak konflik yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Konflik menimbulkan korban penganiayaan antara masyarakat dengan relawan covid-19. Konflik ini terjadi di Jember dan dibeberapa daerah lainnya.

Kasus sebelumya diberitakan, tim pemakaman jenazah pasien Covid-19 BPBD Jember menjadi korban amukan warga saat mengirim jenazah ke Desa Jatisari, Kecamatan Pakusari, Jember. Mereka diadang lalu dilempar dengan batu serta dipukul oleh sejumlah warga.

Begitupula konflik terjadi antara masyarakat-nakes dan pelaksana program terkait Covid. Beberapa hari yang lalu seorang warga Sumatera Utara yang positif covid-19 dipaksa aparat desa untuk isoman di sebuah gubuk didalam hutan.

Nasib nahas dialami Salamat Sianipar (45), warga Desa Sianipar Bulu Silape, Kecamatan Silaen, Kabupaten Toba, Sumatera Utara. Pasalnya, gara-gara positif Covid-19 dan ingin melakukan isolasi mandiri di rumah justru diamuk oleh warga sekitar. Peristiwa memilukan itu terjadi pada Kamis (22/7/2021).

Berawal dipaksa isoman di dalam hutan. Keponakan korban, Jhosua mengatakan, kejadian berawal saat pamannya dinyatakan positif Covid-19 bersama dengan rekan kerjanya. Karena kondisinya dianggap hanya memiliki gejala ringan, oleh pihak petugas kesehatan lalu diminta melakukan isolasi mandiri di rumah.

"Karena gejala ringan, jadi dianjurkan petugas kesehatan untuk isolasi mandiri di rumah. Dan tulang saya menurutinya," ujar Jhosua, Sabtu (24/7/2021).

Namun, aparat desa yang mengetahui informasi itu tidak berkenan korban melakukan isolasi mandiri di rumah. Aparat desa bersama warga kemudian memaksa korban untuk melakukan isolasi mandiri di sebuah gubuk di dalam hutan yang lokasinya jauh dari desa. Saat itu, korban menuruti permintaan aparat desa tersebut. Tapi setelah beberapa hari menjalani isolasi di tengah hutan itu korban tidak betah dan merasa depresi. Akhirnya korban pulang dengan harapan dapat melanjutkan isolasi mandiri di dalam rumahnya. Warga yang mengetahui hal itu geram. Lalu korban dianiaya secara membabi buta seperti binatang.

"Rupanya dia tidak tahan dan depresi, makanya kembali ke rumah. Nah, saat itulah masyarakat setempat datang dan memaksa tulang saya dan terjadilah aksi yang sangat tidak manusiawi itu," kata Jhosua. (Regional.Kompas.com Sabtu, 24 Juli 2021)

Sementara (public distrust) ketidakpercayaan masyarakat terhadap negara juga memunculkan konflik. Penyebaran Covid-19 dan korban yang semakin banyak, mengindikasikan bahwa kemampuan negara belum optimal sehingga melahirkan kondisi yang tidak dapat diprediksi dan terdapat ruang ketidakpastian dalam tatanan kehidupan sosial.

Hal itulah kemudian terjadi tekanan psikologis pada masyarakat, timbul rasa tidak peduli terhadap kebijakan pemerintah, dan bahkan melahirkan  ketidak percayaaan masyarakat pada pemerintah. Hilangnya kepercayaan public terhadap kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah selama pandemi Covid-19, dikarenakan sejak awal public menilai kebijakan yang diterapkan pemerintah tidak konsisten. 

Kondisi sosial yang tidak dapat diprediksi dan berada dalam ketidak pastian justru akan mendorong perilaku anomie. Sosiolog Prancis Emile Durkheim mengatakan anomie adalah suatu situasi yang berada tanpa adanya norma dan tanpa arah sehingga dalam kehidupan yang dijalani tidak tercipta keselarasan antara kenyataan yang diharapkan dengan kenyataan sosial yang ada.

Negara Wajib Mengedukasi Rakyat

Public distrust  ketidakpercayaan terjadi karena pemerintah tidak cukup mengedukasi public terkait pandemi. Dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) hingga Program Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang terus-menerus, memberi efek yang sangat signifikan kepada kepercayaan masyarakat terhadap bahaya covid-19. 

Hal ini terjadi karena masyarakat kita lemah dalam menyaring informasi yang beredar di media sosial. Sehingga informasi yang sangat liar di media sosial tidak bisa memilah. Kelemahan ini terjadi karena tidak adanya edukasi yang benar dari pemangku kebijakan. Semestinya pemangku kebijakan mengutus seorang pakar kesehatan yang nanti menjelaskan terkait bahayanya virus covid-19, yang disiarkan melalui media informasi milik pemerintah dan swasta.

Kemudian serahkan urusan penanganan wabah pada ahlinya jangan penyelesaian wabah diserahkan pada ahli ekonomi nanti itung-itungannya terkait untung rugi, seperti yang tengah terjadi saat ini. Jangan pula diberikan kepada orang yang jago manuver politik nanti akan menganggap covid ini hanya rekayasa dari negara tertentu. Pasti semakin ambyar jika menempatkan seseorang di tempat yang tidak memiliki keahlian. 

Setelah penjelasan tentang bahaya covid-19, pemerintah harus terus mengawal upaya para ahli untuk memutus rantai penyebaran virus ini dengan cara melakukan karantina wilayah yang sebelumnya dilakukan testing, tracking dan treatmen, secara masif. Selain itu pemerintah juga harus memastikan keadaan orang-orang yang terkena dampak karantina untuk dipenuhi kebutuhannya sehari-hari agar pemberlakuan karantina ini berlaku secara efektif. 

Jangan sampai masyarakat hidup seperti di hutan rimba, "siapa kuat, dia yang bertahan". Haruslah dicamkan posisi pemimpin itu adalah melayani rakyatnya, dan pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah rabb semesta alam di yaumil akhir nanti. 

Dari sisi masyarakat pun harus cerdas dalam mencari informasi, biasakan mencari informasi kepada ahlinya. Tentu seorang ahli yang dikenal amanah dan takut kepada Allah, karena saat ini banyak ahli yang tidak amanah dan lebih takut bila kehilangan kekuasaan. Dalam situasi pandemi saat ini semestinya negara lebih mengedepankan kesehatan masyarakat diatas kepentingan yang lain, karena jika masyarakat sakit siapa yang akan mengerakkan roda perekonomian. 

Artinya konflik horizontal yang terjadi ditengah-tengah masyarakat tidak bisa dilepaskan dari minimnya edukasi penguasa pada rakyatnya. Watak rezim ini lagi-lagi menunjukkan buruknya solusi dari sistem yang dijalankan rezim atas berbagai persoalan masyarakat termasuk pandemi.

Inilah sistem kapitalisme yang menempatkan kepentingan ekonomi diatas kepentingan nyawa. Berbeda dengan pemimpin yang lahir dari sistem Islam. Dalam Islam pemimpin sangat lekat dengan dimensi ruhiyah. Ia adalah amanah Allah yang pertanggungjawabannya sangat berat di akhirat. Islam menetapkan bahwa penguasa atau negara adalah pengurus (ra'in) dan penjaga (junnah) bagi rakyatnya. Rasulullahﷺ bersabda :
_"Sesungguhnya al-Imam (Khalifah) itu perisai, dimana (orang-orang) akan berperang dibelakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya"_ (HR Al Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawu dll)

Oleh karenanya hubungan yang dibangun antara penguasa dan rakyatnya adalah hubungan gembala dengan penggembalanya. Atau seperti hubungan bapak dengan anak-anaknya. Sehingga penguasa dalam Islam selalu memastikan rakyat terpenuhi kesejahteraan nya dan terjaga dari segala mara bahaya. Bahkan jaminan ini akan diperoleh  individu per-individu, semua itu bisa diwujudkan melalui penerapan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Sebab penerapan syariat Islam adalah jaminan terwujudnya Rahmat bagi seluruh alam.

Sejarah membuktikan saat kepemimpinan Islam tegak, masyarakat Islam mampu menjadi mercusuar peradaban dunia. Mereka hidup sejahtera dalam naungan Khilafah Islam. Kalaupun ada masa-masa sulit mereka mampu melaluinya dengan ujung kebahagiaan. Ini dikarenakan penguasa benar-benar bertanggungjawab atas rakyatnya. Mereka selalu siap menyertai rakyat dalam situasi mudah maupun sulit. Disaat sulit mereka selalu siap menerapkan kebijakan yang tepat sesuai tuntunan syariat. Wallahua'lam bishshawab[]

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak