Oleh Khaulah
(Aktivis BMI Kota Kupang)
Bulan Agustus penuh dengan nuansa perayaan kemerdekaan. Melekat padanya suasana semangat yang menggelora, semangat memperingati merdekanya bumi pertiwi. Tepat Selasa, 17 Agustus 2021, Indonesia telah menginjak usia senja kemerdekaannya. Sudah lama nadinya berdetak, jantungnya berdegup. Sudah panjang lika-liku perjalanannya.
Tema peringatan kemerdekaan Indonesia kali ini mengusung tema, "Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh". Tertuang dalam surat Menteri Sekretaris Negara, tema tersebut mendeskripsikan nilai-nilai ketangguhan, semangat pantang menyerah untuk terus maju bersama dalam menempuh jalan penuh tantangan, agar dapat mencapai masa depan yang lebih baik. (tempo, 31/7/ 2021)
Pemerintah juga meluncurkan logo yang merupakan visualisasi dari tema tersebut. Makna dari logo tersebut antara lain: stabilitas dan pembangunan, gerak dan pertumbuhan (pertumbuhan dan percepatan ekonomi), ruang kebersamaan (negara memberikan ruang demokrasi kepada rakyat untuk turut berkontribusi dalam pembangunan Indonesia), serta persatuan dan harapan (mencerminkan harapan akan keberhasilan dari semua hal yang ingin dicapai).
Tema serta logo berikut filosofinya terdengar luar biasa. Kendati demikian kita patut bertanya, "Betulkah negeri ini sudah merdeka? Sudahkah Indonesia menjadi negeri yang tangguh, kukuh bak karang? Sudahkah Indonesia mengalami pertumbuhan pada setiap lininya?"
Kita tentu saja telah merdeka. Dalam hal ini, dari penjajahan fisik yang dilakukan penjajah beratus-ratus tahun lamanya. Makna merdeka yang bergelayut di pikiran sebagian besar masyarakat justru berhenti di situ, tak lebih.
Padahal sejatinya, ketika kita masih menjadikan kapitalisme sebagai payung kehidupan, merdeka belumlah kita raih secara utuh. Kemerdekaan hakiki belum kita dapatkan. Kita akan menilik beberapa sisi kehidupan kita yang masih dalam kotak penjajahan.
Pertama dan yang paling utama, ketika mengemban kapitalisme, secara otomatis kita tak mengemban Islam secara sempurna. Ialah karena asas kapitalisme adalah sekularisme, memisahkan agama dari kehidupan. Aturan-aturan yang lahir dari rahim kapitalisme ialah aturan buatan manusia. Maka, sesungguhnya kita masih berada pada level sangat rendah, menghamba pada manusia. Jelas, kita belum merdeka.
Negeri yang menerapkan sistem kapitalis ini, tentu menerapkan aturan-aturan buatan manusia. Terkhusus, mengekor dan membebek aturan dari negeri episentrum sistem ini. Mulai dari perkara politik, ekonomi, sistem kesehatan, pendidikan, serta pergaulan.
Lihatlah sistem perpolitikan kita, begitu jauh dari kata baik. Pemilihan kepala negara atau semisal, mengeluarkan dana yang tidak sedikit. Dana ini apabila dari saku pribadi, maka besar kemungkinan pemimpin yang terpilih justru bermental korup. Apabila dana berasal dari sokongan para kapitalis, maka jelas kebijakan yang lahir justru disetir para kapitalis itu.
Lihatlah sistem ekonomi kita, begitu jauh dari kata sejahtera. Kesenjangan sosial amat terasa, diperparah oleh kondisi pandemi. Pajak menjadi tulang punggung pendapatan negara, maka rakyat siap-siap untuk diperas sekali, dua kali, dan seterusnya. Padahal untuk mencari sesuap nasi amatlah susah. Ya, banyak rakyat yang belum merdeka dari ekonomi yang menghimpit.
Lihatlah sistem kesehatan kita, yang bahkan hampir ambruk di tengah situasi pandemi. Fasilitas kesehatannya kurang dan tidak merata. Pelayanan terhadap yang berduit dinomorsatukan, sedangkan untuk rakyat miskin justru berbelit. Kebijakan penanganan Covid-19 karut-marut, aturan pun hanya berganti istilah. Ironisnya, di tengah teriakan merdeka di hari ulang tahun kemerdekaan negeri, kasus baru Covid-19 di Indonesia meroket menembus angka 20 ribu per hari.
Lihatlah sistem pendidikan Indonesia, yang kian hari kian kuat dihantam arus sekuler liberal, memarginalkan tsaqafah Islam dari diri generasi. Merogoh kocek amat dalam apabila hendak mengenyam bangku sekolah, seolah pendidikan hanya untuk orang berduit. Padahal, setamat dari bangku pendidikan, kebanyakan menganggur dan tak sedikit yang diperah oleh kapitalis.
Lihatlah sistem pergaulan hari ini. Generasi muda senantiasa dirongrong dengan ide kebebasan dari sistem ini. Batasan aurat tak lagi diperhatikan. Minuman haram dekat tak bersekat dengan generasi muslim.
Beginilah kondisi kehidupan kita di negeri ini. Jauh dari kata baik-baik saja. Sadarlah wahai generasi, kita sejatinya belum merdeka. Kita masih stuck pada penghambaan kepada aturan buatan manusia.
Oleh karenanya, mari kita mengerakan kekuatan serta segala potensi yang ada untuk keluar dari kotak sistem kapitalisme. Karena sesungguhnya, kemerdekaan hakiki adalah tatkala kita menghamba secara total kepada Allah Swt. Mengambil secara menyeluruh aturan dari Sang Pencipta, aturan Islam serta menerapkannya dalam daulah Islam.
Wallahu a'lam bishshawab.