Oleh Pitria Arpani, S.Pd.
(Aktivis Muslimah Besemah)
Kehidupan yang terang-benderang merupakan impian dari umat dan bangsa manapun. Sebab itulah, segala daya upaya pembebasan dari penjajahan di berbagai belahan dunia dilakukan untuk memperjuangkan kemerdekaan umat dan bangsa.
Namun demikian semestinya umat dan bangsa menyadari betul bahwa bentuk penjajahan tidak hanya berupa serangan fisik namun juga berupa serangan pemikiran.
76 tahun Indonesia merdeka, begitu katanya. Meski tengah dilanda pandemi yang sejak dua tahun terakhir yang sampai saat ini belum menemui titik terangnya. Gegap gempita menyambut dan merayakan hari kemerdekaan RI ini masih tetap meriah meski hanya via media yang menutup rapat realita terhadap derita demi derita yang menimpah. Warna warni merah putih menghiasi sepanjang jalan dari perkotaan hingga perdesaan.
Sungguh tampak indah dipandang mata seolah kelamnya kehidupan telah sirna yang ada hanya bahagia berbungkus slogan kata merdeka. Pertanyaannya seperti inikah kemerdekaan yang diimpikan umat dan bangsa? Merdeka namun hanya sebatas pada serimonial tahunan semata.
Terjajah dengan Gaya Baru
Diakui atau tidak sebenarnya Indonesia tidak betul-betul merdeka. Penjajahan gaya baru (neoimperialisme) masih ganas bercokol di negeri ini. Bagaimana tidak, Penjajahan (imperialisme) terhadap umat dan bangsa ini hanya berubah bentuknya saja. Dari penjajahan fisik oleh penjajah (imperialis) Belanda, menjadi penjajahan nonfisik yang diantaranya dibidang ekonomi, politik dan budaya oleh penjajah (imperialis) Amerika.
Ironisnya, meski tak lagi dijajah oleh penjajah (imperialis) Belanda negara-negara bekas jajahan terus mewarisi sistem dan hukum yang memang telah dipersiapkan oleh penjajah. Bahkan seringkali pembaruan terhadap sistem dan hukum ini dilakukan atas arahan dan bimbingan dari mereka (para penjajah).
Di sadari atau tidak, penjajahan gaya baru (neoimperialisme) justru lebih berbahaya dari penjajahan gaya kuno/ penjajahan secara fisik. Sebab penjajahan gaya baru (neoimperialisme) ini jauh lebih sulit untuk dikenali. Tak heran jika banyak pihak yang dijajah dengan penjajahan gaya baru ini tidak merasa dan tidak menyadari bahwa mereka sedang dijajah. Malah sebaliknya, mereka merasa sedang dimerdekakan, dimakmurkan dan dibebaskan. Lantas bagaimana agar umat dan bangsa menyadari bahwa kita sesungguhnya masih terjajah?
Andai kita mau membuka hati dan pikiran penjajahan gaya baru (neoimperialisme) ini sebenarnya begitu gamblang untuk disadari dan begitu telanjang untuk diamati. Hanya jika hendak berpikir dan bersikap kritis dengan keadaan, menilai fakta yang terjadi dan membandingkannya dengan klaim dan propaganda-propaganda yang terus diaruskan.
Realita Cukup Untuk Membuktikan
Dalam demokrasi, misalnya, terkait hukum dan UU. Klaim bahwa rakyat adalah pemilik kedaulatan tidaklah nyata, faktanya rakyat minim bahkan tidak mempunyai peran sama sekali dalam menentukan hukum dan UU. Malah hukum dan UU yang dibuat atas arahan pihak asing tanpa memperhatikan aspirasi-aspirasi rakyat. Ini jelas penjajahan.
Misalnya lagi, terkait sumber daya alam (SDA). Selogan dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat nyata bahwa rakyat yang dimaksud adalah para kapitalis. Sebab faktanya, kekayaan SDA dikuasai oleh swasta asing, aseng, dan asong pun juga swasta dalam negeri. Hasilnya pun mengalir deras ke luar negeri. Bahkan segelintir orang tak terkecuali asing, aseng dan asong bisa bebas menguasai jutaan hektar tanah di negeri ini. Mirisnya jutaan rakyat tidak mempunyai tanah dan hanya menjadi kuli penggarap. Hal itu juga jelas merupakan bentuk penjajahan dan masih banyak lagi hal semisal terkait yang lainnya. Yang hari ini membutuhkan keterbukaan pemikiran dan kekritisan.
Demikian pula dengan gunungan utang luar negeri yang dijadikan oleh asing, aseng dan asong sebagai alat untuk mendiktekan kebijakan. Ironisnya, utang luar negeri yang bahkan jumlahnya makin bertambah terus diambil. Akibatnya, penjajahan gaya baru (neoimperialisme) melalui utang terus berjalan.
Tidak hanya dijadikan alat untuk mendikte, memaksakan kebijakan. Saat ini utang luar negeri juga digunakan untuk memaksakan penggunaan bahan dari negara-negara pemberi utang meski di dalam negeri tersedia bahkan melimpah. Pun penggunaan tenaga kerja hingga level pekerja kasar, didatangkan dari luar negeri meski ditengah banyaknya rakyat yang tidak mempunyai pekerjaan.
Tentu masih begitu banyak fakta-fakta lain yang menunjukkan adanya penjajahan gaya baru (neoimperialisme) atas negeri ini. Penjajahan ini tidak akan bisa dihentikan selama sistem yang diterapkan atas negeri ini justru sistem yang di desain untuk melanggengkan eksploitasi seperti demikian. Melainkan harus melalui sistem yang memang didesain untuk membebaskan/memerdekakan umat dan bangsa dari segala bentuk penjajahan dan eksploitasi.
Kemerdekaan Hakiki Nyata dengan Syariat Islami i
Islam sejak awal telah mengharamkan kepemilikan dan penguasaan kekayaan alam terlebih depositnya lebih besar pada individu, swasta apalagi asing. Dari sini Islam jelas bisa menghentikan eksploitasi kekayaan alam oleh swasta dan asing serta bisa mengembalikan kekayaan alam itu kepada rakyat sebagai pemiliknya.
Islam juga sejak awal telah mengharamkan utang ribawi. Maka jelas Islam akan menghentikan utang yang mengandung riba serta pengembalian utang yang menimbulkan dharar (bahaya).
Islam memang diturunkan Allah Swt. untuk memerdekakan umat manusia secara hakiki dari segala bentuk penjajahan. Baik yang hakikatnya penghambaan kepada manusia dalam bentuk perbudakan ataupun dalam bentuk penyerahan wewenang pembuatan hukum dan aturan, hukum dan UU kepada manusia, bukan kepada Allah Swt. Demikianlah doktrin dalam demokrasi, dimana kedaulatan berada di tangan rakyat (manusia). Parahnya lagi aturan dan hukum serta UU tersebut merupakan impor dari pihak penjajah/asing, aseng dan asong.
Penghambaan ini Allah Swt. lukiskan dalam firman-Nya:
﴿اِتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللَّهِ …﴾
Mereka (Bani Israel) menjadikan para pendeta dan para rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah. (QS at-Taubah [9]:31).
Penyerahan wewenang menentukan hukum, halal, dan haram, kepada manusia jelas sebuah penghambaan dan hal ini masih berlangsung di seluruh dunia, tak terkecuali di negeri kaum Muslim, termasuk negeri ini.
Karena kemerdekaan yang hakiki adalah ketika manusia menghamba hanya kepada Allah Swt. semata, bukan kepada sesama manusia. Inilah misi utama Islam.
Dalam pandangan Islam, kemerdekaan hakiki terwujud saat manusia terbebas dari segala bentuk penghambaan ataupun perbudakan oleh sesama manusia. Sebab Islam menghendaki agar manusia benar-benar merdeka dari segala bentuk ekploitasi, penjajahan, penindasan, kezaliman, penghambaan dan perbudakan oleh manusia.
Allah Swt. Yang Maha Bijaksana telah mengantarkan kehidupan terang-benderang untuk umat manusia dengan desain sempurna dan paripurna melalui Islam sebagai agama dan sistem. Sebab Islam diturunkan oleh Allah Swt. adalah agar dengan itu Rasul saw. mengeluarkan umat manusia dari kegelapan menuju cahaya.
Allah Swt. berfirman:
﴿الر.كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَىٰ صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ﴾
Alif, laam raa. (Inilah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita menuju cahaya terang-benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji (QS Ibrahim [14]:1).
Maknanya dengan menerapkan Islam dan syariat-Nya secara kafah, totalitas dan menyeluruh adalah kunci untuk mewujudkan kehidupan dan masa depan yang terang-benderang serta memerdekakan manusia dari segala bentuk penjajahan. Hal ini justru menjadi tanggung jawab dan kewajiban kita sebagai hamba Allah Swt. dan tanggung jawab kita kepada umat dan bangsa.
Wallahu a'lam bishawab