Hijrah, Wujudkan Harapan Indonesia



Oleh : Rismayanti

Muharram menjadi tanda pergantian tahun umat Islam. Tiap tahun umat merayakannya penuh suka cita. Tak terasa kaum muslim telah memasuki tahunnya yang ke 1443 semenjak peristiwa hijrah Rasulullah Saw dari Mekah ke Madinah. Peristiwa yang sarat makna dan menjadi awal penanggalan Islam.

Umat mengakhiri tahun sebelumnya dengan doa akhir tahun dan mengawalinya dengan doa pula. Harapannya segala dosa atas maksiyat yang dilakukan, diampuni oleh Allah Swt. dan Allah memberi perlindungan-Nya dari tipu daya syaitan dan para walinya.

Muharram biasa dijadikan sebagai momentum perubahan. Tentunya perubahan ke arah yang lebih baik. Bukan sebaliknya. Hal ini sesuai dengan makna peristiwa hijrahnya Rasulullah Saw. pada 622 M di kala tekanan terhadap Rasulullah dan kaum mukminin kian menghebat.

Hijrah berarti pindah. Dalam konteks hari ini, hijrah dapat diartikan berubah dari kondisi yang buruk kepada kondisi yang baik. Dari kondisi yang baik menjadi lebih baik lagi. Hendaknya, umat bertanya bagaimana hijrah yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya.

Saat seorang mukmin menyatakan bahwa dirinya telah berhijrah, maka hal pertama yang dipertanyakan adalah karena apa dirinya berhijrah. Apa niat awal yang melandasi diri tuk hijrah. Ini penting agar niat kita berhijrah tetap lurus hanya karena Allah. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw.

“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Bila niat berhijrah sudah benar, maka ia kan terdorong tuk berhijrah ke arah yang Allah dan Rasul-Nya kehendaki, yakni ke arah kebaikan. Wabil khusus menuju penerapan Islam kaffah. Baik dalam hal pribadi, bermasyarakat hingga bernegara. Allah Swt. telah mengingatkan dalam Alquran : “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagi kalian.” (TQS al-Baqarah [2]: 208).

Esensi hijrah, bukanlah sebatas berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Tapi, bagaimana seorang muslim menyadari bahwa ia wajib terikat dengan hukum Allah di segala kondisi. Kapanpun dan dimanapun. Rasulullah Saw memang diperintahkan oleh Allah Swt. untuk hijrah dari Mekah ke Madinah. Namun, hijrah Rasul ini juga menunjukkan sesuatu yang penting, yakni awal dari penerapan sistem Islam di seluruh aspek kehidupan. Dimana setiap orang di dalam daulah pertama di Madinah ini diatur dengan aturan Sang Pencipta. Perubahan yang sungguh revolusioner. Yang terjadi di Madinah bukan hanya perubahan kepemimpinan, tapi juga perubahan sistem. Inilah yang harus kita teladani. Maka, sudah selayaknya kita menjadikan momen hijrah Rasul dan pergantian tahun ini sebagai momen untuk perubahan, baik yang sifatnya pribadi, masyarakat juga negara.

Hijrah kepada Islam kaffah adalah solusi
Berbagai problem hidup yang ada saat ini berakar dari penerapan sistem kufur di negeri-negeri muslim. Rapuhnya integrasi, mudahnya umat terprovokasi, penistaan agama, kriminalisasi para ulama, persekusi dakwah, kesempitan hidup, penanganan wabah yang melanda negeri tak usai-usai, meningkatnya kriminalitas, tersebarnya ide-ide kufur melalui kebijakan-kebijakan pemerintah, utang yang menumpuk, harga bahan pokok semakin mahal, biaya pendidikan dan kesehatan yang kian tinggi merupakan buah dari keengganan penguasa berpijak pada hukum Allah.

Belum lagi bila berbicara tentang bencana. Kebakaran hutan, gempa bumi, dan tsunami. Hijrah, Momentum Perubahan /

Muharram menjadi tanda pergantian tahun umat Islam. Tiap tahun umat merayakannya penuh suka cita. Tak terasa kaum muslim telah memasuki tahunnya yang ke 1441 semenjak peristiwa hijrah Rasulullah Saw dari Mekah ke Madinah. Peristiwa yang sarat makna dan menjadi awal penanggalan Islam.

Umat mengakhiri tahun sebelumnya dengan doa akhir tahun dan mengawalinya dengan doa pula. Harapannya segala dosa atas maksiyat yang dilakukan, diampuni oleh Allah Swt. dan Allah memberi perlindungan-Nya dari tipu daya syaitan dan para walinya.

Muharram biasa dijadikan sebagai momentum perubahan. Tentunya perubahan ke arah yang lebih baik. Bukan sebaliknya. Hal ini sesuai dengan makna peristiwa hijrahnya Rasulullah Saw. pada 622 M di kala tekanan terhadap Rasulullah dan kaum mukminin kian menghebat.

Hijrah berarti pindah. Dalam konteks hari ini, hijrah dapat diartikan berubah dari kondisi yang buruk kepada kondisi yang baik. Dari kondisi yang baik menjadi lebih baik lagi. Hendaknya, umat bertanya bagaimana hijrah yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya.

Saat seorang mukmin menyatakan bahwa dirinya telah berhijrah, maka hal pertama yang dipertanyakan adalah karena apa dirinya berhijrah. Apa niat awal yang melandasi diri tuk hijrah. Ini penting agar niat kita berhijrah tetap lurus hanya karena Allah. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw.

“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Bila niat berhijrah sudah benar, maka ia kan terdorong tuk berhijrah ke arah yang Allah dan Rasul-Nya kehendaki, yakni ke arah kebaikan. Wabil khusus menuju penerapan Islam kaffah. Baik dalam hal pribadi, bermasyarakat hingga bernegara. Allah Swt. telah mengingatkan dalam Alquran : “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagi kalian.” (TQS al-Baqarah [2]: 208).

Esensi hijrah, bukanlah sebatas berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Tapi, bagaimana seorang muslim menyadari bahwa ia wajib terikat dengan hukum Allah di segala kondisi. Kapanpun dan dimanapun. Rasulullah Saw memang diperintahkan oleh Allah Swt. untuk hijrah dari Mekah ke Madinah. Namun, hijrah Rasul ini juga menunjukkan sesuatu yang penting, yakni awal dari penerapan sistem Islam di seluruh aspek kehidupan. Dimana setiap orang di dalam daulah pertama di Madinah ini diatur dengan aturan Sang Pencipta. Perubahan yang sungguh revolusioner. Yang terjadi di Madinah bukan hanya perubahan kepemimpinan, tapi juga perubahan sistem. Inilah yang harus kita teladani. Maka, sudah selayaknya kita menjadikan momen hijrah Rasul dan pergantian tahun ini sebagai momen untuk perubahan, baik yang sifatnya pribadi, masyarakat juga negara.

Hijrah kepada Islam Kaffah adalah Solusi

Berbagai problem hidup yang ada saat ini berakar dari penerapan sistem kufur di negeri-negeri muslim. Rapuhnya integrasi, mudahnya umat terprovokasi, penistaan agama, kriminalisasi para ulama, persekusi dakwah, kesempitan hidup, meningkatnya kriminalitas, tersebarnya ide-ide kufur melalui kebijakan-kebijakan pemerintah, utang yang menumpuk, harga bahan pokok semakin mahal, biaya pendidikan dan kesehatan yang kian tinggi merupakan buah dari keengganan penguasa berpijak pada hukum Allah.

Belum lagi bila berbicara tentang bencana. Kebakaran hutan, gempa bumi, dan tsunami. Tidaklah semua itu cukup dipandang sebagai gejolak perubahan alam. Tapi sebagai muslim, selayaknya kita berkacamata pada keimanan. Karena ternyata segala kerusakan yang terjadi di atas bumi, bukan semata-mata ketetapan (Qadla) dari Allah. Tapi, di sana ada andil dari manusia. Dari tangan-tangan jahil manusia yang memperturutkan hawa nafsu.

“Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan (maksiat) manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS Ar Ruum:41).

Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”. (QS Thaha:124)

Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa yang dimaksud waman a’radla an dzikri yaitu sikap menolak perintah Allah dan apa yang diturunkan kepada Rasul-Nya, kemudian mengambil aturan/hukum selain dari petunjuk Allah. Penerapan hukum selain hukum Allah hari ini menjadi fakta yang jelas bagi kita. Maka, wajar bila Allah menurunkan kesempitan kepada umat karena keengganannya menerapkan sistem Islam.

Oleh karenanya, kunci untuk lepas dari segala kesempitan hidup tiada lain adalah dengan menyadari bahwa kita harus kembali kepada aturan Islam. Kembali menerapkan hukum yang Allah Swt. dan Rasul-Nya telah perintahkan. Bukan Islam sebatas aturan ruhiyah saja, tapi juga sebagai aturan siyasi (politik). Dengan kata lain, kunci tuk mereguk kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat adalah menerapkan Islam Kaffah.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak