Hijrah Terwujud dengan Islam Kaffah




Oleh : Eti Fairuzita


Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan untuk bisa lepas dari jebakan negara pendapatan kelas menengah (middle income trap), pertumbuhan ekonomi Indonesia harus bisa mencapai 6 persen pada 2022 mendatang. Bila itu bisa dicapai, ia yakin Indonesia bisa naik kelas menjadi negara maju pada 2045.
Berdasarkan perhitungan Bappenas, pertumbuhan ekonomi Indonesia pasca 1998 tidak pernah kembali ke skenario trajectory (tren) pertumbuhan ekonomi tanpa krisis. Pasalnya, pertumbuhan ekonomi selama ini selalu macet di posisi 5 persen.

"Pemulihan ekonomi pasca covid-19, kami berharap kalau kita bisa based pada 2022 dengan tingkat pertumbuhan 6 persen, maka trajectory (tren pertumbuhan ekonomi) yang panjang tadi (tanpa krisis) bisa kembali lagi pada 2029," ujarnya dalam webinar CSIS dan Transformasi Ekonomi Menuju Indonesia 2045, Rabu (4/8).

Ia menuturkan pandemi covid-19 berdampak pada perencanaan pembangunan nasional. Salah satunya, pergeseran target Indonesia menjadi negara maju dari 2036 menjadi 2045.

"Memang, akan terjadi pergeseran dari waktu di mana kita graduasi dari middle income trap, yang tadinya 2036 mungkin (baru bisa) 2040-an, 2044 atau 2045. Tapi, kalau pertumbuhan ekonomi kita di bawah itu (6 persen) memang di 2045 mungkin kita belum lolos dan lulus dari negara middle income trap," imbuhnya.

Senada, Mantan Menteri Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegoro mengatakan mimpi Indonesia menjadi negara maju harus kandas apabila pada 2045 belum lepas dari jebakan negara pendapatan menengah. Oleh sebab itu, momentum yang bertepatan dengan 100 tahun umur RI itu harus dimanfaatkan sebagai tenggat waktu target naik kelas menjadi negara maju.
"Kalau Indonesia susah atau belum keluar dari middle income trap by 2045, mungkin akhirnya kita harus melupakan mimpi itu," ujarnya.

Menurutnya, saat ini adalah momentum tepat untuk mencapai cita-cita tersebut karena Indonesia masih memiliki bonus demografi. Dengan demikian, penduduk usia produktif lebih banyak daripada usia non produktif sehingga bisa menjadi motor penggerak ekonomi.
 https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210804171547-532-676449/bappenas-ungkap-syarat-ri-bisa-jadi-negara-maju.

Masih dalam suasana peringatan tahun baru Islam, yakni 1 Muharram 1443 H. Seringkali dalam momen seperti ini, kita mengingat kembali peristiwa hijrah yang dilakukan oleh Nabi SAW serta para sahabatnya. Mereka rela meninggalkan harta benda mereka di Mekkah dan pergi menuju Madinah demi menaati perintah Allah dan Rasul-Nya.

Umar bin al-Khaththab ra. pernah berpesan, “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab (di akhirat, red).” Artinya, di dunia ini, sekaranglah waktu kita menghisab diri. Di mana posisi kita antara dosa dan pahala, antara kemaksiatan dan ketataan, antara neraka dan surga? Di mana posisi kita terhadap Islam dan syariahnya, juga di tengah umat Islam? Sejauh mana berbagai larangan Allah SWT telah ditinggalkan? Sejauh mana perintah-Nya telah dikerjakan?
Muhasabah atau introspeksi diri ini penting dilakukan terus-menerus. Tentu agar setiap dari kita bisa memperbaiki diri atau ber-“hijrah”.

Hijrah secara bahasa adalah berpindah dari sesuatu ke sesuatu yang lain atau meninggalkan sesuatu menuju sesuatu yang lain. Jadi hijrah itu identik dengan perubahan. Tentu perubahan ke arah yang baik.

Ibnu Rajab al-Hanbali dalam Fath al-Bârî menjelaskan, asal dari hijrah adalah meninggalkan dan menjauhi keburukan untuk mencari, mencintai dan mendapatkan kebaikan.

Hijrah itu terjadi karena adanya kesadaran tentang perlunya perubahan dari keadaan yang sedang eksis ke keadaan baru yang ingin diwujudkan. Kesadaran itu tentu muncul karena adanya muhasabah atau instrospeksi diri. Karena itu muhasabah atau introspeksi diri menjadi sangat penting.

Pertama-tama yang perlu dilakukan adalah meninggalkan apa yang wajib ditinggalkan, yakni apa saja yang dilarang oleh Allah SWT. Inilah hijrah yang bisa dilakukan kapan saja.

Rasul shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ

Seorang Muslim adalah orang yang menjadikan kaum Muslim selamat dari lisan dan tangannya. Seorang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa saja yang Allah larang atas dirinya. (HR al-Bukhari, Abu Dawud, an-Nasai, Ahmad, Ibnu Hibban dan al-Humaidi).

Meninggalkan apa saja yang Allah larang tidak menuntut kemampuan. Ini berbeda dengan melakukan apa yang Allah perintahkan, yang menuntut kemampuan maksimal. Rasul shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنِ الشَّيْءِ فَاجْتَنِبُوهُ، وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِالشَّيْءِ فَائْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Jika aku melarang kalian dari sesuatu maka tinggalkanlah dan jika aku memerintahkan sesuatu maka lakukanlah sesuai batas kemampuan kalian. (HR Ahmad, al-Bukhari, dan Muslim).

Selain dilakukan berdasarkan kemampuan secara maksimal, perintah Allah harus segera ditunaikan. Allah SWT berfirman:

فَفِرُّوا إِلَى اللَّهِ ۖ إِنِّي لَكُمْ مِنْهُ نَذِيرٌ مُبِينٌ

Bersegeralah kembali kepada Allah. Sungguh aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untuk kalian. (TQS adz-Dzariyat [51]: 50).

Abu Ishaq ats-Tsa’labi dalam tafsirnya, Al-Kasyfu wa al-Bayân ‘an Tafsîr al-Qur’ân, menjelaskan, frasa “Fafirrû ilâlLâh” bermakna: Larilah dari azab Allah menuju pahala-Nya dengan iman dan menjauhi kemaksiatan. Ibnu Abbas berkata: Larilah menuju Allah dan beramallah dengan menaati-Nya.”

Dengan demikian setiap Muslim harus segera berhenti dari apa yang Allah larang dan meninggalkannya, sekaligus segera menjalankan berbagai ketaatan kepada-Nya. Dengan dua spirit ini, setiap Muslim akan menjadi sosok yang makin taat. Ketaatannya juga makin total, makin menyeluruh, makin kâffah.

Orang yang “hijrah” itu tidak menyukai apa saja yang menyalahi Islam dan syariatnya. Sebaliknya, dia makin senang kepada Islam dan syariatnya. Dia pun makin merindukan kehidupan islami; kehidupan yang diatur sesuai dengan Islam dan syariatnya.

Alhasil, secara individual seorang Muslim tak boleh berhenti ber-“hijrah”. Tak boleh berhenti berubah ke arah yang lebih baik sesuai tuntutan syariah, menuju totalitas berislam dan melaksanakan syariahnya secara kâffah.

Hal yang sama juga perlu dilakukan oleh kaum Muslim secara keseluruhan. Kita perlu melakukan muhasabah/interospeksi atas keadaan umat Islam hari ini.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa kondisi negara ini tidak sedang baik-baik saja. Ekonomi yang merosot seiring dengan hutang yang terus menggunung, korupsi merajalela, masalah sosial yang tak kunjung habisnya, gempuran ide-ide barat yang terus mencekoki pemikiran kehidupan kita, bahkan masalah pandemi yang sampai hari ini belum juga mereda.
Kita perlu merenungkan bagaimana keadaan umat ini ke depan, dimana semua itu tidak cukup hanya berandai-andai serta berharap pada sistem hari ini yang sudah terbukti hanya menciptakan kesengsaraan.

Allah SWT telah menyifati umat Islam sebagai khairu ummah (umat terbaik), sebagaimana firman-Nya:

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ

Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia; melakukan amar makruf nahi munkar dan mengimani Allah. (TQS Ali Imran [3]: 110).

Hanya saja, sifat sebagai umat terbaik itu tidak datang begitu saja. Harus dipenuhi dulu karakteristiknya. Di dalam ayat ini, Allah SWT menyebut karakteristik umat terbaik itu, yaitu: melakukan amar makruf nahi mungkar dan mengimani Allah.

Terkait itu ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasul saw. saat beliau sedang di atas minbar, “Siapakah manusia terbaik?” Rasul (saw.) menjawab:

خَيْرُ النَّاسِ أقْرَؤهُمْ وَأَتْقَاهُمْ للهِ، وآمَرُهُمْ بِالمعروفِ، وأنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ، وَأَوْصَلُهُمْ لِلرَّحِمِ

Manusia terbaik adalah yang paling banyak membaca dan memahami (al-Quran), yang paling bertakwa kepada Allah, yang paling banyak melakukan amar makruf nahi mungkar dan yang paling sering menyambung silaturahim. (HR Ahmad).

Imam Ibnu Katsir, setelah menyebutkan hadis-hadis tentang khairu ummah, menyatakan, “Karena itu siapa saja dari umat ini yang memiliki sifat-sifat ini, dia masuk di dalam penghormatan dan pujian-Nya… Umar ra. berkata, ‘Siapa saja yang suka menjadi bagian dari umat (terbaik) itu maka hendaknya dia memenuhi syarat Allah yang dituntut atas dirinya.’

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. Siapa yang tidak mememiliki sifat demikian, dia serupa dengan Ahlul Kitab yang dicela oleh Allah SWT (yang artinya): “Mereka satu sama lain selalu tidak melarang kemungkaran yang mereka lakukan. Sungguh amat buruklah apa yang selalu mereka lakukan itu. (TQS al-Maidah [5]: 79).”

Secara umum karakteristik umat terbaik itu adalah mengimani Allah, melakukan amar makruf nahi mungkar, mengikuti sunah Rasul saw. dan melaksanakan syariah. Dengan demikian kesempurnaan sifat khairu ummah itu terwujud ketika umat Islam beriman dan bertakwa. Ketakwaan mereka harus tampak dalam kehidupan mereka, termasuk dalam pengelolaan kehidupan masyarakat dalam segala aspeknya, dengan syariat Islam.

Boleh jadi salah satu penyebabnya karena amar makruf nahi mungkar belum tampak menonjol menjadi budaya umat Islam. Terutama yang ditujukan kepada penguasa. Padahal kemungkaran penguasalah yang paling besar menimbulkan keterpurukan umat. Kemungkaran terbesar penguasa tentu saja saat mereka tidak menerapkan syariat Islam secara kaffah.

Kondisi umat yang terpuruk dan jauh dari predikat sebagai umat terbaik ini tentu tidak boleh dibiarkan. Kondisi ini harus diubah. Aktivitas perubahan harus gencar dilakukan di tengah umat ini. Sebab perubahan itu tidak akan datang dengan sendirinya, tetapi harus diusahakan.

Allah SWT berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ

“Sungguh Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (TQS ar-Ra’du [13]: 11).

Imam al-Qurthubi dalam Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân menjelaskan,
“Allah SWT memberitahukan dalam ayat ini bahwa Dia tidak mengubah keadaan suatu kaum sampai terjadi perubahan dari mereka, baik dari mereka sendiri, atau dari orang yang mengurus mereka, atau dengan sebab dari sebagian orang di antara mereka.”

Dengan demikian semangat hijrah umat Islam sepatutnya tidak berhenti pada perbaikan individu akan tetapi diarahkan untuk mewujudkan negeri baldatun thayyibah wa rabbun ghafur.
Ketaatan total kepada Allah SWT diwujudkan dengan penerapan syariah Islam kaffah di dalam seluruh aspek kehidupan. Ini menjadi tanggung jawab seluruh komponen umat Islam.

Perubahan masyarakat ke arah terwujudnya sistem Islam bukan hal yang bisa ditawar-tawar lagi. Mengingat kehidupan di bawah sistem sekuler kapitalisme hari ini nyata-nyata sudah dikepung oleh krisis multidimensi yang sepatutnya harus segera diakhiri. Karena ketika Islam diterapkan secara total perbaikan juga akan berdampak pada seluruh aspek kehidupan bukan hanya sebatas pertumbuhan ekonomi semata yang terus menjadikan manusia sebagai penggerak roda ekonomi negara.

Wallahu alam bish-sawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak