Oleh: Candra Windiantika
Pemerintah akhirnya memutuskan untuk memperpanjang pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Darurat hingga 2 Agustus 2021. Hal ini diumumkan Presiden Jokowi melalui saluran youtube Sekteriat Presiden.
Dalam keterangannya, Jokowi mengklaim laju pertambahan kasus Covid-19, bed occupancy rate, maupun angka kepositifan menunjukkan tren menurun di Jawa. Tetapi tetap harus waspada karena varian delta yang sangat menular.
Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan(PMK) Muhadjir Efendi mengatakan dengan adanya perpanjangan PPKM Darurat ini, Jokowi menyampaikan ada beberapa risiko. Diantaranya yang dia sebut yakni bantuan sosial atau bansos.
Khusus untuk bansos, Muhadjir menyebut pemerintah tidak bisa memikulnya sendiri. Dia meminta semua pihak saling gotong royong. Termasuk pihak universitas juga diminta untuk membantu. Muhadjir ingin agar masyarakat bisa memupuk kesadaran untuk saling jaga dan membantu sesama.
Sesungguhnya tidak masalah dengan membantu karena memang hal itu adalah perintah Allah untuk saling tolong menolong dalam kesulitan. Namun yang membuat rakyat geram adalah pada saat awal wabah, pemerintah terkesan menolak peringatan- peringatan yang disampaikan lembaga dunia dan penelitian-penelitian berbagai universitas dunia bahwa virus corona bisa saja menyerang Indonesia.
Alih-alih bergerak cepat untuk pencegahan, mereka malah membuat pernyataan yang kesannya tidak percaya bahwa virus ini telah masuk ke Indonesia. Seperti "tak perlu panik oleh penyebaran virus corona, enjoy saja", "Covid tak sampai ke Indonesia karena perizinannya berbelit-belit", "Corona sudah pergi dari Indonesia, mungkin karena kita sering minum jamu sehingga kita baik-baik saja"
Hingga akhirnya kasus positif COVID mulai meningkat dari puluhan, ratusan, ribuan bahkan jutaan kasus, mereka mulai kelabakan. Gonta-ganti istilah sudah dilakukan tapi kasus positif tak juga mengalami penurunan signifikan.
Istilah yang dimaksud mulai dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), PSBB Ketat, kemudian berganti menjadi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), PPKM Mikro, berganti lagi menjadi PPKM Darurat, sampai terakhir PPKM Level 4. Rakyat dibatasi pergerakannya, namun hajat hidup tak juga ditanggung negara.
Begitulah ketika menjadikan sistem kapitalisme sebagai paradigma dalam membuat kebijakan. Dalam menangani wabah yang merenggut banyak nyawa masih mementingkan aspek ekonomi. Menjaga dan memelihara nyawa bukan lagi prioritas utama.
Hal itu sangat berkebalikan dengan sistem Islam yang mementingkan nyawa manusia diatas segalanya. Allah SWT menetapkan pembunuhan satu nyawa tak berdosa sama dengan menghilangkan nyawa seluruh umat manusia. Siapa saja yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, seakan-akan dia telah membunuh seluruh manusia (TQS. Al-Maidah (5):32).
Jangankan pembunuhan, menimpakan bahaya dan kesusahan kepada sesama juga diharamkan Islam. Apalagi jika pelakunya adalah penguasa yang menimpakan kesusahan dan bahaya kepada rakyatnya.
Munculnya wabah seperti pandemi Covid-19 bukan hal baru bagi kaum Muslim. Dalam berbagai literatur dan sejarah, Islam sudah memberikan solusi dalam mengatasi wabah. Yaitu lockdown atau karantina wilayah.
Nabi Muhammad SAW mengatakan jika dalam suatu wabah, mereka yang ada di daerah itu jangan keluar dari wilayah itu. Mereka yang ada di luar wilayah itu, jangan datangi tempat wabah itu.
Selama karantina wilayah semua kebutuhan akan dijamin oleh negara. Negara akan bertanggung jawab penuh dengan keselamatan rakyatnya. Bukan malah membiarkan masyarakat mencari makan sendiri sementara aktivitasnya dibatasi. Tentunya hal ini harus dibarengi dengan penerapan aturan Islam secara kaffah dalam sebuah negara agar manfaatnya benar-benar dirasakan oleh rakyat.