Oleh: Hamnah B. Lin
Sudah hampir dua tahun pandemi belum juga berakhir, polemik ekonomi hingga politik kian tak terbendung. Salah satunya di Tunisia. Presiden Tunisia Kais Saied menerapkan keadaan darurat nasional atas pandemi virus corona dan pemerintahan yang buruk dengan memberhentikan perdana menteri, membekukan parlemen, dan merebut kendali eksekutif ( Republika.co.id, 01/8/2021 )
Segera agar tidak hilang kendali AS, Penasihat keamanan nasional AS Jake Sullivan mendesak presiden Tunisia pada Sabtu (31/7) untuk segera membawa negaranya kembali ke "jalur demokrasi" setelah mengambil alih kekuasaan pemerintah pada Ahad lalu (25/7).
Yakin dengan demokrasi bisa atasi pandemi?
Kalau berbicara Indonesia sendiri sebagai penganut demokrasi, menurut survei Bloomberg, Indonesia adalah negara yang mendapatkan peringkat terburuk dalam menangani Covid-19 di dunia, yaitu peringkat ke-53 dari 53 negara di dunia ( Liputan 6, 01/8/2021 )
Survei ini memberikan pelajaran bagi negara lain bagaimana menangani pandemi seperti negara di posisi teratas. Misalnya, dibutuhkan tingkat kepercayaan dan kepatuhan masyarakat yang tinggi. Sigap memaksimalkan infrastruktur kesehatan masyarakat, mensosialisasikan cuci tangan dan pemakaian masker wajah sebelum vaksin tiba. Memaksimalkan kebijakan kedisplinan dalam mematuhi upaya lockdown. Diikuti percepatan program vaksinasi dengan pasokan vaksin berjumlah besar dan datang lebih awal.
Sedangkan hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) mengenai kepuasan terhadap demokrasi sempat mengalami penurunan dibandingkan sebelum wabah virus corona dari 74 persen menjadi 59 persen pada awal Juni 2020. Survei ini melibatkan 2.202 responden yang ditelepon pada 12-15 Agustus 2020, dengan tingkat kesalahan +/-2,1 persen (voaindonesia.com, 23/08/2021).
Penanggulangan penularan virus di dalam sistem negara demokrasi kapitalisme tidaklah didasarkan sepenuhnya pada paradigma bahwa nyawa satu rakyat atau warga negara harus dilindungi dengan sungguh-sungguh. Masih ada unsur kepentingan lain seperti ekonomi dan politik yang cenderung diprioritaskan dibandingkan kesehatan.
Parahnya, demokrasi kapitalisme memandang kasus penularan, yang sakit, dan yang meninggal karena Covid-19 hanya sebagai angka. Maka jika tidak segera mengambil gebrakan kebijakan penanganan pandemi yang tepat, bisa-bisa negara masuk ke dalam jebakan pandemi yang tidak jelas kapan akan berakhir. Inilah yang terjadi saat ini hampir di seluruh dunia penganut demokrasi.
Pandemi Covid-19 adalah musibah yang dialami oleh seluruh dunia. Setiap pandemi pasti ada masanya berlalu, namun yang terpenting bagaimana kita bisa segera keluar dari masa pandemi ini dengan meminimalkan korban nyawa. Islam hadir sebagai alternatif solusi menghentikan pandemi Covid-19, bukan hanya secara teknis tapi juga paradigmatis.
Secara teknis sebagaimana kita ketahui bersama bahwa:
Pertama, Islam mewajibkan melakukan karantina/isolasi bagi yang sakit. Rasulullah saw. bersabda, “Apabila kalian mendengarkan wabah di suatu tempat maka janganlah memasuki tempat itu, dan apabila terjadi wabah sedangkan kamu sedang berada di tempat itu maka janganlah keluar dari tempat itu.” (HR Muslim)
Masyarakat yang sakit dipisahkan dari masyarakat yang sehat. Sehingga, yang sakit bisa diupayakan penyembuhannya. Sedangkan yang sehat tetap dapat beraktivitas seperti sedia kala tanpa takut tertular. Dengan demikian, roda ekonomi negara terus dapat berputar.
Kedua, sistem Islam akan terus melakukan semacam program 3T (testing, tracing, treatment). Kemudian, terus menerapkan protokol kesehatan 5M, yaitu memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan, menghindari kerumunan dan mengurangi mobilitas. Juga menggalakkan vaksinasi secara menyeluruh untuk rakyat dengan terus melakukan riset penelitian terhadap virus.
Ketiga, adanya political will yang besar dari negara sistem Islam untuk memenuhi kebutuhan pokok rakyat selama masa karantina wilayah, atau jika dibutuhkan negara melakukan lockdown. Negara akan menghidupi rakyatnya dan rakyat tidak perlu khawatir tidak bisa makan selama masa pandemi. Sumber pendanaan diambil negara dari pemasukan negara, bisa dari pengelolaan sumber daya alam di wilayah negara Islam, atau pungutan lain yang dibolehkan oleh syariat Islam.
Kesemuanya dilandasi paradigma solutif Islam, bahwa setiap nyawa rakyat harus dilindungi dan bahwasanya pemerintah atau pemimpin itu adalah pelayan rakyat yang harus bersungguh-sungguh mengurusi umat karena sadar itu adalah amanah yang akan diminta pertanggungjawabannya oleh Allah Swt di akhirat. “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari)
Sudah selayaknya kita kembali kepada Islam, meyakini bahwa Islam adalah pilihan tepat untuk menjadi sistem yang mengatur kehidupan manusia dan alam semesta ini. Hingga keberkahan akan menyelimuti seluruh isi dunia, dan pandemi covid-19 ini akan segera berakhir, berganti menuju kehidupan yang sejahtera dan bahagia dalam Ridha Allah SWT.
Wallahu a'lam bissahwab.