BANYAK PASIEN COVID-19 MENINGGAL SAAT ISOMAN, DIMANA TANGGUNG JAWAB NEGARA?



Oleh: R. Nugrahani, S.Pd.

Pada pertengahan tahun kedua pandemi covid 19 saat ini, belum terlihat pengurangan kasus secara signifikan. Baik yang terdampak maupun yang meninggal. Bahkan kasus pasien Covid-19 yang meninggal dunia tak hanya terjadi di rumah sakit. Pasien yang menjalani isolasi mandiri (isoman) di rumah pun banyak yang meninggal dunia.

Komunitas LaporCovid-19 mencatat sebanyak 2.313 warga terpapar virus corona (Covid-19) meninggal dunia saat melakukan isoman. Data itu dihimpun dari berita daring, Chatbot laporcovid, Instagram, Twitter dan Informasi personal/lembaga. Periode pengumpulan data yakni dari Juni sampai 21 Juli 2021. (www.cnnindonesia.com, 22 Juli 2021)

Pasien isoman Covid-19 yang meninggal dunia di luar rumah sakit, perlu menjadi perhatian semua pihak. Pasalnya, temuan ini menunjukkan berbagai kelemahan dalam penanganan orang yang terpapar. Apalagi, data yang disampaikan tersebut bisa saja berbeda dengan data yang dimiliki pemerintah.

Banyaknya kasus pasien Covid-19 yang meninggal dunia saat melakukan isoman menunjukkan lemahnya penanganan Covid-19 di Indonesia. Hal ini terjadi karena rumah sakit-rumah sakit dan fasilitas kesehatan tidak mampu menampung semua yang terpapar. Oleh karenanya, kebanyakan dari mereka memilih isoman karena memang tidak tertampung di rumah sakit-rumah sakit dan faskes-faskes yang ada.

Kurangnya bahkan tidak adanya pendampingan bagi para pasien isoman pun turut memperparah situasi yang ada. Baik pendampingan tersebut secara langsung maupun melalui telemedicine. Sebab, sebagian mereka yang isoman yang awalnya ringan tapi tidak ada pendampingan, akhirnya perburukan, terus sepsis atau gagal nafas, dan meninggal dunia.

Selaini itu, banyak pasien isoman dan keluarganya yang harus isoman tanpa pemahaman dan perangkat memadai. Tidak semua warga masyarakat paham bagaimana cara isolasi mandiri. Hal ini terjadi karena kurangnya edukasi kepada masyarakat berkaitan penanganan terhadap pasien isoman Covid-19. Sehingga penanganannya pun seadanya dikarenakan minimnya pemahaman terhadap penanganan pasien Covid-19.

Fakta pasien Covid-19 isoman yang meninggal semakin menunjukkan kegagalan pemerintah dalam memfasilitasi dan menyiapkan rakyat menghadapi pandemi Covid-19. Hal ini telah menimbulkan kedaruratan kesehatan.
Karenanya, dibutuhkan peran negara untuk menjamin pencegahan dan penanganannya. Sebagai sebuah negara hukum, Indonesia sejatinya harus menjamin kepastian dan perlindungan warga negaranya melalui penanganan yang tertuang dalam suatu regulasi dan dibentuknya sinergitas pusat dan daerah. Dalam situasi ini, maka pemerintah memiliki tanggung jawab utama untuk berperan penuh mencarikan alternatif jalan keluar. Karena kesehatan masyarakat adalah salah satu hak yang dijamin secara konstitusional.

Melansir dari Tempo.co, Asfinawati menyebut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan sebenarnya sudah progresif. UU tersebut mengatur kebutuhan hidup dasar warga dan makanan hewan ternak yang ada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab pemerintah selama terjadinya karantina wilayah.
Akan tetapi, pemerintah tidak menjalankannya. Asfinawati menyayangkan, pemerintah justru menggunakan UU tersebut hanya untuk memberikan sanksi kepada warga yang melanggar aturan pembatasan. (www.tempo.co, 20 Juli 2021)

Hal ini terjadi akibat dari sistem hidup yang diterapkan di negeri ini. Sistem Kapitalis-Sekuler yang diterapkan mulai dari politik, ekonomi, sosial, hukum, dan lainnya yang terbukti telah sukses menjatuhkan Indonesia pada krisis multi dimensi.
Adanya sumber kehidupan yang melipah mulai dari SDM, SDA, posisi geopolitik dan geostrategis, tak berhasil membuat negeri ini kuat dan berdaya. Malah jadi sasaran empuk imperialisme. Posisi rakyat bagaikan tikus yang mati di lumbung padi. Kesejahteraan hanyalah impian belaka. Dalam kondisi normal saja, kesehatan, pendidikan, keamanan, semua serba mahal. Bahkan rakyat harus membeli haknya yang seharusnya dijamin penuh oleh pemerintah.

Kenyataan ini berbeda dengan paradigma kepemimpinan dan watak sistem Islam. Dalam Islam, kepemimpinan dinilai sebagai amanah berat yang berkonsekuensi surga dan neraka. Dia wajib menjadi pengurus dan penjaga umat. Rasulullah saw. bersabda:
الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Imam adalah pemelihara dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya (HR al-Bukhari).

Seorang pemimpin pun dipandang seperti penggembala. Layaknya pengembala, maka akan memelihara dan melindungi seluruh rakyat yang menjadi gembalaannya. Memperhatikan kebutuhannya, menjaga dari semua hal yang membahayakannya, dan menjamin kesejahteraannya hingga bisa tumbuh dan berkembang biak sebagaimana yang diharapkan.
Sistem Islam, betul-betul menempatkan amanah kepemimpinan selaras dengan misi penciptaan manusia dan alam semesta. Yakni, mewujudkan rahmat bagi seluruh alam. 

Hal tersebut hanya bisa diwujudkan dalam sistem pemerintahan yang tegak di atas paradigma dan aturan terbaik, yakni akidah dan syariah Islam. Islam adalah agama terbaik yang Allah SWT turunkan dan syariah Islam hanya bisa diterapkan secara kâffah dalam sistem pemerintahan yang tegak di atas akidah Islam. Sistem pemerintahan tersebut adalah Khilafah ‘ala minhâj an-nubuwwah.  Wallahu a’lam bish shawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak