Oleh: Hamnah B. Lin
Konsekuensi dari pelebaran defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada 2020 membuat melonjaknya nilai pembiayaan utang. Merujuk pada Peraturan Presiden nomor 72 tahun 2020, pembiayaan utang untuk 2020 mencapai Rp 1.039,22 triliun, melonjak 158,4 persen dibanding tahun sebelumnya.
Ekonom, Politikus, dan juga mantan menteri keuangan Fuad Bawazier membandingkan krisis moneter lalu dengan krisis pandemi saat ini yang serupa tapi tak sama. Saat krisis moneter, Indonesia termasuk kelompok negara terakhir yang keluar dari krisis. "Sekarang pun sepertinya kita akan sering mengalami resesi ekonomi, dan bisa jadi negara terakhir juga yang keluar pandemi," katanya dalam Forum Guru Besar dan Doktor INDEF dengan tajuk "Ekonomi Politik APBN, Utang dan Pembiayaan Pandemi Covid-19" yang digelar virtual, Ahad (1/8).
Kebijakan pemerintah dinilai tidak stabil sehingga menyebabkan efek krisis ekonomi yang berkepanjangan. Penanganan pandemi yang setengah-setengah membuat dana APBN yang dihimpun dari hutang pun menjadi 'mubazir'. Belum lagi penyerapan anggaran untuk penanganan Covid-19 di daerah yang sangat minim. Ditambah dengan kebocoran fatal karena korupsi. Ini membuat roda ekonomi tidak berputar seperti yang diharapkan, sementara hutang sangat bengkak. "Dengan hutang itu lama-kelamaan bisa jebol, ini akan terjadi krisis gagal bayar," katanya.
Senada apa yang disampaikan oleh Managing Director Political Economy and Policy Studies, Anthony Budiawan juga menyebut Indonesia sudah memasuki tahapan krisis karena indikasi pemerintah sudah menaikkan pajak. Rasio penerimaan perpajakan terus menurun dari 10,68 persen sebelum pandemi menjadi 8,69 persen. Di tambah dengan risiko turunnya harga komoditas yang akan memasukan APBN dalam krisis yang semakin dalam. "Penerimaan negara cenderung sulit meningkat lagi, ini sangat tergantung dengan harga komoditas yang bisa turun karena pengaruh kondisi global nanti," katanya. Ini membuat pemerintah menggenjot penerimaan dari pajak (Republika, 01/8/2021)
Demikian juga, Rektor Universitas Paramadina Didik Rachbini mengatakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) memiliki masalah berat di masa pandemi ini. Ia menduga APBN dapat memicu krisis ekonomi. "Kalau dulu lewat nilai tukar, sekarang lewat APBN. Karena APBN-nya sangat berat," ujar Didik dalam webinar, Ahad, 1 Agustus 2021.
Setidaknya ada lima faktor di dalam APBN yang berpotensi menyebabkan krisis di kemudian hari. Faktor tersebut antara lain adalah proses politik APBN yang sakit dan bias, dan defisit primer yang semakin melebar dan tidak terkendali. Selain itu, rasio pembayaran utang terhadap pendapatan yang naik di era Presiden Joko Widodo. Persoalan lainnya adalah dana yang mengendap dan bocor di daerah, serta pembiayaan PMN dan BMN sakit yang berpotensi menjadi masalah di masa depan ( Tempo.co, 01/8/2021 )
Miris, sudah banyak pakar menyampaikan analisanya, namun rasanya pemerintah tidak bergeming dari sikap untuk terus menambah hutang.
Indonesia adalah penganut kapitalis. Yakni sistem yang memisahkan agama dari setiap urusan, termasuk dalam mengurusi negara, aturan Agama (read: Islam), menjadi terlarang.
Dalam sistem kapitalisme sendiri, yang diterapkan adalah kebijakan ekonomi liberal, utang ribawi menjadi bagian dari kewajiban. Dengan alasan untuk kesejahteraan rakyat serta infrastruktur, tanpa sadar utang negara pun menggunung. Apalagi di masa pandemi saat ini, bantuan untuk rakyat yang terdampak pandemi pun berasal dari utang ribawi.
Utang luar negeri bukan bantuan cuma-cuma. Ada sistem ribawi yang menempel dalam perjanjiannya. Utang luar negeri mengandung perjanjian lain yang disyaratkan di dalamnya.
Dikutip dari Kompasiana.com, negara peminjam wajib menjalankan program penyesuaian struktural (SAP/Struktural Adjustment Program), yang terdiri dari komponen-komponen berupa liberalisasi impor dan pelaksanaan aliran uang yang bebas, devaluasi serta kebijakan moneter dan fiskal dalam bentuk penghapusan subsidi, peningkatan suku bunga kredit, dan penekanan untuk tidak menaikan upah dan gaji.
Penghapusan subsidi misalnya, ini sangat jelas merugikan rakyat kecil. Dapat dilihat, bahan pokok dan pendidikan akan dikenai PPN. Kedaulatan negara pun dicengkeram kekuatan kapitalisme global.
Maka sudah saatnya kita melihat solusi dalam Islam seperti apa. Islam bukanlah sekadar agama. Namun, sebuah sistem kehidupan yang kompleks. Dalam tata aturan ini terdapat pengaturan sistem keuangan.
Mengenai pengelolaan kas di dalam Islam misalnya, sangat unik, berbeda dengan kapitalisme. Sistem Islam akan menjaga kas negara dari minus atau bocor. Dengan demikian, negara tidak akan tekor.
Pertama, pengatur keuangan atau APBN adalah khalifah. Dengan demikian, Islam memiliki metode pemilihan khalifah yang khas. Tidak semua orang dapat menjadi khalifah. Saat pemilihan, ia harus memenuhi syarat yang ketat. Di antaranya muslim, balig, berakal, merdeka, mampu, dan adil. Dari sini akan diperoleh seorang pemimpin yang kuat imannya. Ia akan amanah dengan tugasnya, serta senantiasa berhati-hati dalam mengatur keuangan negara.
Kedua, APBN dalam sistem Islam memiliki pemasukan yang tetap dan sumbernya beragam. Sumber pemasukan APBN menurut Islam dibagi menjadi pos zakat, pos kepemilikan negara, dan kepemilikan umum,
Ketiga, pengeluaran yang ketat. Aktivitas pembiayaan yang dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan penting. Tidak dibenarkan kebutuhan tersebut melanggar hukum syariat. Sehingga, kas negara tidak akan mudah bocor dikarenakan penggunaan yang boros.
Keempat, pengawasan yang teliti. Pembelanjaan negara akan selalu diawasi oleh beberapa pihak, seperti rakyat, majelis umat, majelis wilayah, hingga partai politik. Peluang berlaku curang dan memanfaatkan kas APBN akan diminimalisir. Jika ada kesalahan sedikit saja, akan langsung diingatkan. Semua ini berjalan atas dorongan iman, saling nasihat-menasihati dengan kasih sayang.
Adapun mengenai pos-pos anggaran, Negara Khilafah memiliki institusi khusus yang menangani harta yang diterima negara dan mengalokasikannya untuk kaum muslim yang berhak menerimanya. Institusi itu dikenal dengan sebutan Baitul Mal.
Baitul Mal terdiri dari dua bagian pokok. Bagian pertama, berkaitan dengan harta yang masuk ke dalam Baitul Mal, dan seluruh jenis harta yang menjadi sumber pemasukannya. Bagian kedua, berkaitan dengan harta yang dibelanjakan dan seluruh jenis harta yang harus dibelanjakan.Untuk pemasukan negara, khilafah memiliki berbagai jenis harta yang bisa dikelola untuk membelanjakannya sesuai koridor syariat. Bagian pembelanjaan ini dilakukan Baitul Mal.
Prinsip pengeluaran Baitul Mal ini akan berjalan manakala negara benar-benar menerapkan syariat Islam secara kafah. Pengelolaan anggaran negara juga tidak akan bertumpu pada pajak dan utang seperti halnya negara kapitalis demokrasi. Negara Khilafah tidak akan kekurangan sumber pendapatan karena sudah memiliki berbagai mekanisme dalam menghidupi rakyat dan negaranya.
Wallahua’lam bisshawab.