Oleh : Ummu Ahnaf
Rektor Universitas Paramadina Didik Rachbini mengatakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) memiliki masalah berat di masa pandemi ini. Ia menduga APBN dapat memicu krisis ekonomi.
Setidaknya ada lima faktor di dalam APBN yang berpotensi menyebabkan krisis di kemudian hari. Faktor tersebut antara lain adalah proses politik APBN yang sakit dan bias, dan defisit primer yang semakin melebar dan tidak terkendali.
"Saya beri judul faktor kritis APBN di masa pandemi yang berpotensi menyebabkan krisis. Pertama ada krisis pandemi. Di APBN sendiri menanggung krisis Ini berat. Mestinya APBN dijaga, krisis disembuhkan dari institusi yang tidak krisis," ujar didik. Sindonews.Com. Minggu, (25/7/ 2021).
Di tengah kesulitan ekonomi rakyat akibat covid-19 justru defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) meroket. Padahal kita tahu kesulitan ekonomi akibat wabah covid-19 sedang dirasakan sekali oleh rakyat. Pemerintah harusnya lebih fokus memperhatikan ekonomi rakyatnya yang saat ini sedang terpuruk ekonominya akibat wabah covid-19.
Pemerintah justru membuat anggaran untuk pembangunan, menambah import, menaikan pajak dan menambah hutang ke luar negeri dengan jumlah yang banyak dan dengan bunga lebih besar tentunya yang ini justru bisa memicu krisis ekonomi.
Beban utang pemerintah bertambah, tahun Ini 2021 bayar bunganya saja Rp 373,3 Triliun. Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemkeu), alokasi anggaran pembayaran bunga utang pemerintah tahun 2021 mencapai Rp 373,3 triliun. BusinessINSIGHT.com. Kamis, (20/5/ 2021)
Pemerintah terlihat tidak mampu menghadirkan postur APBN yang sehat. Yang dihadirkan justru APBN yang membuat rakyat makin sengsara. Harusnya pemerintah memperkecil ruang "fiskal" dalam anggaran yang memampukan pemerintah menyediakan dana untuk tujuan tertentu tanpa menciptakan permasalahan dalam kesinambungan posisi keuangan Pemerintah. pemerintah harus lebih menggerakkan perekonomian, mengurangi anggaran APBN untuk mensejahterakan dan memperhatikan ekonomi rakyat, dan lain-lain.
*Solusi*
Sistem ekonomi Islam tidak akan mengalami jalan buntu seperti saat ini Jika mengalami defisit anggaran, khilafah akan menyelesaikannya dengan 3 (tiga) strategi yakni:
Pertama, meningkatkan pendapatan. Ada 4 (empat) cara yang dapat ditempuh:
(1). Mengelola harta milik negara.Misalnya saja menjual atau menyewakan harta milik negara, seperti tanah atau bangunan milik negara. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Rasulullah saw. di Tanah Khaibar, Fadak, dan Wadil Qura. Khalifah boleh juga mengelola tanah pertanian milik negara, dengan membayar buruh tani yang akan mengelola tanah pertanian tersebut. Semua dana yang yang diperoleh dari pengelolaan harta milik negara di atas akan dapat menambah pendapatan negara. Namun harus diingat, ketika negara berbisnis harus tetap menonjolkan misi utamanya melaksanakan kewajiban ri’ayatus-syu’un.
(2). Melakukan hima pada sebagian harta milik umum. Yang dimaksud hima adalah pengkhususan oleh Khalifah terhadap suatu harta untuk suatu keperluan khusus, dan tidak boleh digunakan untuk keperluan lainnya. Misalkan saja Khalifah melakukan hima pada tambang emas di Papua untuk keperluan khusus, misalnya pembiayaan pandemi Covid-19. Rasulullah saw. pernah menghima satu padang gembalaan di Madinah yang dinamakan An-Naqi’, khusus untuk menggembalakan kuda kaum Muslim.
(3). Menarik pajak(dharibah) sesuai ketentuan syariah. Pajak hanya dapat ditarik oleh Khalifah ketika ada kewajiban finansial yang harus ditanggung bersama antara negara dan umat.
(4) Mengoptimalkan pemungutan pendapatan.
Kedua, menghemat pengeluaran. Cara kedua untuk mengatasi defisit anggaran adalah dengan menghemat pengeluaran, khususnya pengeluaran-pengeluaran yang dapat ditunda dan tidak mendesak.
Ketiga, berutang (istiqradh).Khalifah secara syar’i boleh berutang untuk mengatasi defisit anggaran, namun tetap wajib terikat hukum-huk4um syariah. Haram hukumnya Khalifah mengambil utang luar negeri, baik dari negara tertentu, misalnya Amerika Serikat dan Cina, atau dari lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia.
Alasan keharamannya ada 2 (dua): utang tersebut pasti mengandung riba dan pasti mengandung syarat-syarat yang menghilangkan kedaulatan negeri yang berutang.
Khalifah hanya boleh berutang dalam kondisi ada kekhawatiran terjadinya bahaya (dharar) jika dana di baitulmal tidak segera tersedia. Kondisi ini terbatas untuk 3 (tiga) pengeluaran saja, yaitu:
(1) untuk nafkah fuqara, masakin, ibnu sabil, dan jihad fi sabilillah;
(2) untuk membayar gaji orang-orang yang memberikan jasa atau pelayanan kepada negara seperti pegawai negeri, para penguasa, tentara, dll;
(3) untuk membiayai dampak peristiwa-peristiwa luar biasa, seperti menolong korban gempa bumi, banjir, angin topan, kelaparan, dll.
Pada tiga macam pengeluaran ini, jika dana tidak cukup di baitulmal, pada awalnya Khalifah boleh memungut pajak. Jika kondisi memburuk dan dikawatirkan dapat muncul bahaya (dharar), Khalifah boleh berutang. Begitulah perbedaan yang jelas dengan sistem kapitalisme (saat ini) dan Islam dalam mengatasi problem defisit anggaran. Kapitalisme hutang sebagai solusi yang menambah masalah, sedangkan Islam memberi solusi yang menyelesaikan masalah.
Wallahu’alam Bishshawwab.
Tags
Opini