Antara Disinformasi, Distrust Publik Dan Lonjakan Kasus


sumber gbr : google


 Oleh drg. Endartini Kusumastuti, Alumnus FKG Universitas Airlangga dan Anggota PDGI Cabang Kendari

Berdasarkan data Worldometers, kasus kematian akibat virus corona Covid-19 di Indonesia bertambah 11.823 orang pada 30 Juli – 5 Agustus 2021. Tambahan kasus kematian akibat corona tersebut menjadi yang terbanyak di dunia. Hal tersebut juga meningkat 3% dibandingkan pada pekan sebelumnya. Tambahan kasus kematian akibat corona tercatat sebanyak 11.520 orang pada 23-29 Juli 2021. (kompas.co.id, 2/8/2021)

 

Di tengah lonjakan kasus yang makin mengerikan dan kebijakan yang belum membuahkan hasil, muncul banyak sekali konflik di masyarakat saat ini. Konflik horizontal terjadi antar anggota masyarakat, antara masyarakat-nakes dan pelaksana program terkait Covid. Mulai dari penjemputan paksa jenazah terkonfirmasi positif COVID19 hingga rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat untuk berobat ke pusat kesehatan karena kuatir akan didiagnosa positif adalah contoh dari sekian banyak konflik yang terjadi di lapangan.

 

Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengatakan masyarakat harus diberikan penjelasan agar tak mudah termakan berita bohong atau hoaks. Ma’ruf menyebut saat ini masyarakat dibanjiri informasi palsu. Sebelumnya pada Juni 2021, beliau juga menyatakan bahwa disrupsi teknologi informasi berdampak negatif, seperti munculnya informasi palsu (hoaks), penipuan, fitnah, provokasi, dan konten yang mengandung ajaran sesat dan ekstrem. Pada 30/4/2021, Kementerian Komunikasi dan Informatika telah mencatat 1.556 hoaks berkaitan dengan Covid-19 dan 177 hoaks berkaitan dengan vaksin Covid-19.

 

Ironis. Kita hidup di era informasi dengan kemajuan teknologi big data dan artificial intelligence, namun di sisi lain, informasi yang berbahaya bagi kesehatan dan kemanusiaan dapat dengan mudah beredar. Dalam pemberitaan baru-baru ini, Presiden AS Joe Biden secara terbuka mengkritik Facebook dan platform digital lainnya karena membiarkan disinformasi berkembang biak. Seperti dilansir Reuters, Biden mengatakan disinformasi menyebabkan peningkatan jumlah kematian selama pandemi.

 

Dari perspektif politik informasi,  ketahanan suatu bangsa dapat dilihat dari kemampuannya dalam tiga tahapan pengolahan informasi, yaitu menyaring, memetakan, dan memutuskan respons yang tepat dan benar terkait informasi. Ini semua kembali kepada kapasitas daya tahan informasi di semua level, baik kapasitas berpikir manusia—pada level terkecil—maupun kapasitas ideologis suatu negara.

 

Kapasitas menyaring adalah memilih sumber informasi yang terpercaya. Kapasitas memetakan maknanya untuk menilai kualitas informasi, apakah itu berguna atau berbahaya; dan kapasitas memutuskan respons adalah ranah tindakan yang diambil dari proses dua tahap sebelumnya.  Kelemahan sistem kapitalisme sekuler adalah tidak adanya instrumen yang jelas dalam memetakan informasi untuk membedakan antara informasi yang benar dan yang salah, serta antara informasi yang bermanfaat dan merugikan bagi masyarakat dan negara mana pun.

 

Namun, semua ini mengacu pada logika dan teknologi manusia. Hal ini disebabkan politik informasi dibiarkan berjalan sesuai kepentingan pasar, sehingga korporasi media sosial dengan teknologi big data dan algoritmanya hanya melayani mesin money playing, tidak bekerja untuk kemanusiaan. Faktor lainnya adalah tatanan dunia yang asimetris yang menyebabkan saluran informasi dikuasai oleh elite kapitalis global. Jadi, para elite tahu segalanya tentang rakyat, sedangkan rakyat tidak tahu apa-apa tentang elitenya.

 

Akibat hal ini, posisi umat Islam di tengah gelombang disinformasi ini begitu rentan. Umat ​​Islam hanya memiliki kerangka berpikir Islam, tetapi tidak ada yang bisa menjamin keamanan informasi bagi mereka. Oleh karena itu, pandemi Covid-19 bukan hanya ujian hidup wabah penyakit, tetapi ujian mentalitas dan pola pikir yang benar. Umat Islam memiliki garis-garis pedoman dalam melakukan perbuatan, termasuk dalam konsep berpikir. Ada syarat penting bagi umat dalam membentuk peta dan kerangka berpikir—kapan harus menggunakan pemikiran ilmiah dan kapan harus menggunakan pemikiran rasional, serta bagaimana metode yang benar.

 

Pemikiran yang benar adalah berpikir tentang fakta atau kenyataan yang dapat dirasakan dan divalidasi oleh otak kita, dan kita memprosesnya dengan pengetahuan yang kita miliki atau ‘informasi sebelumnya’. Berpikir dengan benar bukanlah fantasi atau imajinasi yang masih menyisakan ruang untuk asumsi spekulatif tanpa kita dapat memverifikasi kebenarannya. Sehingga, ketika kita berpikir dengan benar, itu membutuhkan pengecekan fakta dan pengecekan ulang secara terus-menerus.

 

Tidaklah mengherankan ketika kebijakan PPKM hingga sebulan berlangsung tidak menuai hasil yang signifikan, malah cenderung tidak berefek apapun. Bahkan ketika PPKM dilakukan, masih banyak warga yang beraktifitas normal. Ada dan tidak adanya kebijakan PPKM tidak ada imbasnya di lapangan. Bahkan angka kasus semakin hari semakin meningkat. Tentunya disinformasi yang berkembang dan besarnya distrust public sangat berkorelasi dengan peningkatan kasus COVID per hari nya. Apakah ini membuktikan bahwa masyarakat tidak percaya lagi kepada pemimpinnya? Apakah masih ada pemahaman masyarakat yang tidak percaya mengenai COVID19? Ataukah masyarakat sudah jenuh dengan kondisi penanganan pandemi yang semakin tidak jelas tujuannya? Inilah yang semestinya menjadi bahan evaluasi kita bersama.

 

Dari hal di atas dapat kita ketahui bahwa konflik sosial bermuara ketidakpercayaan publik pada kebijakan negara (public distrust). Ini terjadi karena pemerintah tidak cukup mengedukasi publik mengenai COVID19, penanganannya hingga kebijakan yang diterapkan kepada mereka. Juga karena lemahnya penanganan korban, hingga masyarakat mengambil tindakannya sendiri yang berujung konflik antar anggota masyarakat. Disinilah tanggung jawab Negara kembali dipertanyakan.

 

Aliran disinformasi ini makin dirumitkan dengan hilangnya kepercayaan publik terhadap banyak rezim kapitalistik yang sejak awal menunjukkan ketakmampuannya. Ini sejalan dengan kebijakan publik yang ambigu, tidak konsisten, sporadis, dan defensif. Tidak cukup hanya memiliki benteng dalam metode berpikir di tingkat individu. Benteng yang lebih besar diperlukan di tingkat pembuat kebijakan. Peran negara dalam menangani wabah Covid-19 serta tsunami disinformasi sangatlah penting, bahkan menjadi benteng utama.

 

Islam memiliki warisan aturan pembuatan kebijakan yang benar dengan kapasitas untuk merespons dan memproses informasi, betapa pun rumitnya. Ketika ada masalah tasyrî’ (legalisasi hukum syariat), misalnya, hanya wahyu Allah yang berperan di ranah ini. Dengan demikian, kita hanya harus mengacu pada Al-Qur’an dan Sunah, serta yang ditunjukkan oleh keduanya, yaitu ijmak sahabat dan qiyas syar’i, dengan ijtihad yang sah. Instrumen ini tidak ditemukan dalam peradaban sekuler saat ini.

 

Sedangkan dalam hal sains, termasuk ilmu kedokteran, Islam membimbing para pembuat kebijakan untuk mendengarkan pendapat para ahli, bukan mayoritas atau pemangku kepentingan lainnya. Sedangkan dalam hal ilmu eksperimental, kebenaran relatif berlaku. Oleh karena itu, diperlukan otoritas politik yang memilih pendapat terkuat dari seorang ahli untuk diadopsi oleh Negara. Di sinilah ada hak masyarakat untuk mendapatkan komunikasi kebijakan yang jelas dan edukatif dari pemerintah. Misalnya, di tengah hiruk-pikuk pandangan para pakar vaksin yang berbeda di ruang publik—yang membuat masyarakat bingung.

 

Pemimpin harus bisa mengambil sikap, memilih pendapat yang paling kuat, dan mendidik masyarakat dengan bijak, bukan defensif dan menyalahkan mereka yang kritis terhadap pemerintah. Islam memahami bahwa pemimpin ibarat perisai. Ia yang akan melindungi rakyatnya dari serangan badai apapun. Jika kelaparan, ia akan lebih dulu merasakannya. Jika kenyang, justru ia akan menjadi orang terakhir yang mengalaminya. Seperti yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khaththab. Kebijakan Beliau yang paling dikenal adalah memerintahkan rakyat untuk beruzlah (menyendiri). Mereka diminta pergi ke gunung-gunung, memisahkan diri satu dengan yang lain. Sembari terus mendekatkan diri kepada Sang Khalik. Agar memperoleh perlindungan dan ketenangan. Bagaimana dengan kebutuhan sehari-hari? Tentu negara yang memenuhinya. Tidak berselang lama dari kebijakan itu, wabah thaun ini akhirnya hilang.

 

Apakah keberhasilan itu semata-mata karena kualitas Umar bin Khatab atau Amr bin Ash? Bukan, semua itu karena Islam. Islam sebagai sistem kehidupan yang kompleks telah menuntun para sahabat dalam mengambil kebijakan. Dengan mengikuti perintah Nabi saw, tentang hadist saat menghadapi wabah, para Sahabat pun berhasil melewatinya. Sistem Islam telah membentuk para pemimpin kuat imannya, taat pribadinya hingga mereka mampu menundukkan hawa nafsu dan mengutamakan kepentingan rakyatnya. Seluruh kebijakan terbaik mereka kerahkan semata-mata hanya karena pertanggungjawaban mereka di hadapan Allah Swt.

 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak