Oleh : Ummu Tsaharo
Adanya wacana pemerintah mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap sejumlah kebutuhan masyarakat, diantaranya sembako dan sekolah, telah menyebabkan keresahan di masyarakat. Pasalnya, kebijakan ini jelas akan memperparah kondisi masyarakat, khususnya rakyat kecil. Pajak yang ditujukan untuk kesejahteraan rakyat justru akan menjerat rakyat. Bagaimana tidak? Faktanya, sampai detik ini saja, rakyat masih banyak yang kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan sembako dan juga mendapatkan pendidikan yang layak.
Selain itu, pemerintah juga menambah objek jasa kena pajak baru yang sebelumnya dikecualikan atas pemungutan PPN. Beberapa di antaranya adalah jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan perangko, jasa keuangan, hingga jasa asuransi.
Terkait dengan polemik wacana tersebut, Kementerian Keuangan akhirnya buka suara. Rencana kebijakan ini bakal tertuang dalam perluasan objek PPN yang diatur dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Dalam draf revisi UU Nomor 6 pengenaan pajak itu diatur dalam Pasal 4A.
Dalam cuitan di akun @FaktaKeuangan, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu, Rahayu Puspasari menjelaskan bahwa draf tersebut merupakan wacana ke depan, dan tidak untuk saat ini. Menurutnya pemerintah saat ini sedang fokus menolong rakyat dengan pemulihan ekonomi dan penanganan pandemi Covid-19. Oleh sebab itu, sembako menjadi salah satu objek yang disubsidi oleh dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Dalam keterangan lainnya, ia juga membantah opini yang menyebutkan bahwa pajak mencekik rakyat. Rahayu menjelaskan, pajak sejatinya menciptakan keadilan dengan sistem gotong royong. Menurutnya, yang mampu membayar pajak, namun kontribusinya rendah, bisa semakin disiplin pajak untuk membantu mereka yang kurang mampu atau rakyat kecil.
Menanggapi wacana di atas, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo meminta pemerintah khususnya Kementerian Keuangan membatalkan rencana mengenakan pajak PPN terhadap sektor sembako dan pendidikan, yang tertuang dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Dia menilai rencana kebijakan tersebut bertentangan dengan sila ke-5 Pancasila yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia dan sektor sembako-pendidikan juga sangat berkaitan dengan naik turunnya inflasi. Dia mencontohkan, rata-rata per-tahunnya, dari kondisi harga beras saja bisa menyumbang inflasi mencapai 0,13 persen sehingga tidak bisa dibayangkan bagaimana jadinya apabila sembako, terutama beras akan dikenakan PPN.
Selain itu, saat masih rendahnya kualitas pendidikan di berbagai institusi pendidikan negeri, pemerintah seharusnya berterima kasih kepada NU, Muhammadiyah, dan berbagai organisasi masyarakat lainnya yang telah membantu mencerdaskan kehidupan bangsa dengan menyiapkan institusi pendidikan berkualitas bagi masyarakat. Karena itu dia menilai pengenaan PPN terhadap pendidikan, sama saja menegasikan peran NU, Muhammdiyah, dan berbagai organisasi masyarakat yang memiliki "concern" terhadap pendidikan.
Politisi Partai Golkar itu menilai Kementerian Keuangan harus menyadari masih banyak cara menaikkan pendapatan negara tanpa harus memberatkan rakyat terutama memaksimalkan dari potensi yang ada. Hal itu menurut dia karena hingga akhir April 2021, penerimaan pajak baru mencapai Rp374,9 triliun atau sekitar 30,94 persen dari target total yang mencapai Rp1.229,6 triliun.
"Artinya, masih banyak peluang yang bisa digarap, dengan memaksimalkan potensi pajak yang sudah ada. Sebelum memberatkan rakyat, Kementerian Keuangan harus terlebih dahulu menertibkan jajarannya agar bisa mengejar para pengemplang pajak yang potensinya mencapai ratusan triliun per tahun," katanya.
Benarkah Pajak Mensejahterakan Rakyat?
Rencana mengenakan PPN pada kebutuhan pokok masyarakat berupa sembako dan sekolah, menegaskan pajak merupakan tulang punggung ekonomi kapitalis. Jika ada pendapat yang menyatakan bahwa adanya pajak tidak mencekik rakyat dan sejatinya menciptakan keadilan dengan sistem gotong royong, itu hanyalah mimpi selama masih berada di luar sistem Islam. Karena, dalam sistem yang tidak islami, jelas ekonomi kapitalis sangat dominan. Pajak hanyalah jadi alat untuk menyejahterakan para pengusaha di atas penderitaan rakyat jelata.
Hal ini sangat terlihat dari rencana kebijakan yang diambil cenderung mengutamakan para pengusaha kapitalis. Aroma ketidakadilan dirasakan karena pemerintah malah melonggarkan pajak untuk kaum kapitalis. Kebijakan ini zalim dengan alasan menambah pendapatan negara dalam mengatasi pandemi.
Hal ini sangat berbeda dengan system Islam dalam menempatkan pajak dan menetapkan sumber pendapatan Negara. Istilah pajak, dalam fikih Islam, dikenal dengan dharîbah. Al-‘Allamah Syaikh Rawwas Qal’ah Jie menyebutnya dengan, “Apa yang ditetapkan sebagai kewajiban atas harta maupun orang di luar kewajiban syara’.” [Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, hal. 256]. Sedangkan al-‘Allamah Syaikh ‘Abdul Qadim Zallum, mendefinisikannya dengan, “harta yang diwajibkan Allah kepada kaum Muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di Baitul Mal kaum Muslim untuk membiayainya.” [al-Amwal fi Daulati al-Khilafah, hal. 129]
Dalam APBN Khilafah (APBN-K), sumber pendapatan tetap negara yang menjadi hak kaum Muslim dan masuk ke Baitul Mal adalah: (1) Fai’ [Anfal, Ghanimah, Khumus]; (2) Jizyah; (3) Kharaj; (4) ‘Usyur; (5) Harta milik umum yang dilindungi negara; (6) Harta haram pejabat dan pegawai negara; (7) Khumus Rikaz dan tambang; (8) Harta orang yang tidak mempunyai ahli waris; (9) Harta orang murtad. Inilah pendapatan tetap negara, ada atau tidaknya kebutuhan.
Berbeda dengan pendapatan tidak tetap. Pendapatan ini bersifat instrumental dan insidental. Bersifat instrumental, karena Islam menetapkan kepada kaum Muslim fardhu kifayah untuk memikul kewajiban pembiayaan, ketika dana tidak ada di Baitul Mal. Karena itu, ini menjadi instrumen untuk memecahkan masalah yang dihadapi negara, yang dibebankan hanya kepada umat Islam. Disebut insidental, karena tidak diambil secara tetap, bergantung kebutuhan yang dibenarkan oleh syara’ untuk mengambilnya.
Syara’ telah menetapkan sejumlah kewajiban dan pos, yang ada atau tidak adanya harta di Baitul Mal tetap harus berjalan. Jika di Baitul Mal ada harta, maka dibiayai oleh Baitul Mal. Jika tidak ada, maka kewajiban tersebut berpindah ke pundak kaum Muslim. Sebab, jika tidak, maka akan menyebabkan terjadinya dharar bagi seluruh kaum Muslim. Dalam rangka menghilangkan dharar di saat Baitul Mal tidak ada dana inilah, maka khilafah boleh menggunakan instrumen pajak. Namun, hanya bersifat insidental, sampai kewajiban dan pos tersebut bisa dibiayai, atau Baitul Mal mempunyai dana untuk mengcovernya.
Mengenai kewajiban dan pos yang wajib dibiayai, dengan ada atau tidak adanya dana di Baitul Mal, adalah biaya jihad dan biaya industry perang. Kedua pembiayaan ini wajib diupayakan karena menyangkut keselamatan umat dan tegaknya agama Islam.
Jadi, system Islam memang berbeda dengan system lainnya. Islam sudah mengatur kepentingan umatnya dengan sedemikian baiknya. Tidak adanya pemihakan atas sekelompok orang atau golongan. Semua untuk kepentingan umat dan diberikan secara adil. Sekiranya dilaksanakan dengan sempurna, maka kesejahteraan umat akan tercapat. Islam rahmatan lil alaamin akan benar tercapai, tak hanya untuk umat Islam namun juga semua umat. Namun Ketika system Islam terabaikan, maka berbagai bencana dan kerusakan akan nampak di muka bumi. Wallaahu a’lam bis shawab.