Oleh : Anis Nofitasari
Lagi, lagi, dan lagi !
Sebuah kata manjur yang biasa diberikan kepada orang lain sebagai bentuk motivasi agar tetap semangat dan optimis dalam sebuah usaha yang dilakukan. Namun tidak untuk kali ini, kata tersebut bertolak belakang dengan suatu hal yang mengandung makna positif. Ya, mengingat hukum, tidak berlepas dari kata adil, pengadilan, ataupun ketikdakadilan. Dimana kita tahu bahwasanya hakikat dari sebuah hukum adalah menegakkan dan memperoleh keadilan sesuai prosedur yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan.
Namun, apa mau dikata. Ternyata tidak semua ucapan mudah untuk diimplementasikan. Pilu mendengar ketika hukum seolah menjadi permainan. Berulang kali, dan bahkan terus berulang ketidakadilan terjadi dari banyak perkara hukum. Salah dibenarkan, dicarikan pembenaran. Benar disalahkan, dicari delik hukum yang bisa menjerat. Juga terbebas dari kesalahan dan hukum. Seolah menjadi lagu biasa di bumi Pertiwi yang banyak penguasa mengatakannya sebagai "tameng" bahwa "hukum harus ditegakkan".
Dilansir dari rmolbanten.com, forum rakyat melihat vonis 4 tahun penjara terhadap Habib Muhammad Rizieq Syihab (HRS) oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur telah melukai rasa keadilan.
" Bagaimana mungkin seorang yang hanya didakwa menyebarkan kebohongan melalui YouTube dan menyebabkan keonaran, divonis lebih berat dari kebanyakan vonis terhadap koruptor, " ujar Koordinator Forum Rakyat , Lieus Sungkharisma. Jumat (25/6).
Tentu hal itu menimbulkan pertanyaan besar di kalangan rakyat. Seharusnya hukum berpijak sesuai aturan yang ada. Sesuai kapasitas kuantitas kesalahan yang dilakukan seseorang. Bukan hanya karena data yang masih absurd.
Satu pertanyaan tentu akan merunut dan memicu pertanyaan lain. Banyak pihak yang disebut Lieus, sesungguhnya berharap Habib Rizieq divonis bebas. Bukan saja karena dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) tentang menyebarkan informasi bohong yang menyebabkan keonaran terlalu dipaksakan.
"Tapi juga karena banyak pernyataan JPU tentang Habib Rizieq di dalam persidangan, bertentangan dengan fakta," ujarnya.
Dari situ, kita tahu, bahwa betapa miris penegakan hukum di negeri ini. Betapa piciknya hukum yang ditegakkan ketika pernyataan yang disematkan bertentangan dengan fakta, namun proses hukum tetap dijalankan. Sedangkan di sisi lain, banyak pihak yang melanggar aturan, menyalahi hak yang lainnya dan telah terbukti bahkan terdapat delik pasal yang menyertai, namun bisa dengan mudahnya terhindar dari proses pengilan negara, bahkan meski divonis hukuman, masih saja bisa dipangkas ataupun tak memiliki bekas bahwa ia lah sang tersangka. Seolah mereka yang menjadi antek penguasa dan memiliki kapital di genggamannya, ia menjadi kebal dari hukum.
Lieus menilai pengadilan dan vonis yang dijatuhkan terhadap Habib Rizieq ini lebih bersifat politis ketimbang dilandasi upaya menegakkan hukum berdasarkan keadilan dan kebenaran.
"Kalau memang pemerintah benar-benar ingin menegakkan hukum, maka semua kebohongan yang banyak terjadi selama ini, yang juga bikin gaduh di media sosial, harusnya ditindak juga,"demikian Lieus Sungkharisma dilansir dari kantor berita politik RMOLID.
Begitulah. Ketika Kapitalisme mencengkeram sebuah negera. Matinya keadilan sekali lagi dipertontonkan oleh sistem sekuler. Ulama yang kritis pada penguasa divonis dengan hukuman yang tak masuk nalar, sementara pelaku kejahatan perampok harta rakyat, koruptor dan lain-lain malah bisa bebas dari jerat hukuman. Sistem sekuler demokrasi hasilkan ketidakadilan sistematis. Dari situ, maka kepercayaan untuk negara tidak malah naik, namun turun. Secara tidak langsung, masyarakat akan meragukan bahkan hilang kepercayaannya akan hukum.
Namun berbeda jika yang menjadi dasar penegakan hukum adalah agama Islam. Tanpa pandang bulu, hukum akan berjalan sebagaimana mestinya. Tanpa tebang pilih. Tanpa melihat siapa yang memiliki kekuasaan, kekuatan, maupun kapital atau tidak. Telah dikisahkan oleh Rasulullah bahwa beliau mengatakan bahwasanya bahkan ketika putri kesayangan beliau melakukan sebuah kejahatan berupa pencurian, beliau tidak akan segan-segan memotong tangannya.
Hukuman dalam Islam atas suatu kesalahan atau dosa yang dilakukan pada hakikatnya adalah Rahmat. Karena dengan dihukumnya di dunia atas segala kesalahannya, manusia tidak akan merasakan penangguhan hukuman di akhirat, yang tak bisa dibayangkan lagi seperti apa balasannya sebagai penebus dosa manusia. Orang yang melakukan kesalahan tidak segan-segan dengan suka rela menyerahkan dirinya untuk dihukum.
Seperti halnya yang telah terjadi ketika Rasulullah masih hidup. Terdapat seorang wanita pezina yang meminta untuk dihukum atas perbuatannya ketika ia menyadari kesalahannya. Namun, mendengar pernyataan langsung dari pelaku, Rasulullah tidak langsung mempercayainya hingga ada bukti yang lebih meyakinkan. Beliau mengatakan akan ditangguhkan hingga ia hamil dan melahirkan. Begitu sudah melahirkan si wanita tersebut datang lagi kepada Rasulullah agar segera mendapatkan hukumannya, namun Rasulullah menangguhkan kembali hingga habis masa menyusui. Kemudian ia kembali kepada Rasulullah ketika waktunya tiba, dan Rasulullah menjalankan apa yang diperintahNya. Ia menghukum wanita tersebut hingga meninggal dunia. Namun tak berselang lama Rasulullah telah mengabarkan bahwasanya ia telah berenang dalam syurgaNya.
Masyaa Allah. Begitu indah dan mulia ajaranNya. Semoga kita segera menyongsong kembali keemasan Islam. Menyadarkan negara untuk berputar haluan. Bahwa dengan menerapkan aturanNya akan menciptakan ketentraman, Izzah dan iffah ulama, ajaranNya akan terjaga. Kehormatan manusia terlindungi. Hak-hak mereka tak dirampas dengan mudahNya. Hanya dengan sistem Islamlah seluruh umat akan terjaga.
Wallahu A'lam Bisshowab..
Tags
Opini