Oleh : Resa Ristia Nur Aidah
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati menjelaskan alasan di balik keputusan pemerintah terus menambah utang di tengah pandemi Covid-19. Sri Mulyani mengatakan, pandemi Covid-19 sebagai tantangan yang luar biasa dan harus dihadapi. Tidak hanya mengancam manusia, pandemi ini juga mampu merusak perekonomian suatu negara. [Sindonews.com, 25/7/2021]
Ia juga mengatakan, utang merupakan salah satu instrumen untuk menyelamatkan masyarakat dan perekonomian di masa pandemi covid-19. Pasalnya, APBN mengalami pelebaran defisit sehingga membutuhkan pembiayaan yang salah satunya bersumber dari utang.
Bendahara negara itu menjelaskan APBN menanggung beban yang luar biasa selama pandemi covid-19. Di satu sisi, belanja negara melonjak untuk penanganan kesehatan, pemberian bantuan sosial kepada masyarakat terdampak, bantuan kepada dunia usaha, dan lainnya. Di tambah pula penerimaan negara merosot karena aktivitas ekonomi lesu. Klop semua masalah keuangan negara, maka utang menjadi solusi untuk menyelamatkan rakyat. [Cnnindonesia]
Publik mempertanyakan utang yang terus bertambah dan mengancam kemandirian negara. Akhirnya publik menyimpulkan bahwa pandemi menjadi justifikasi utang terus bertambah lagi. Padahal jumlah utang telah mencapai Rp 6.418,15 triliun atau setara 40,49 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) per akhir Mei 2021. Jadi apakah kebijakan menambah utang satu-satunya solusi menyelamatkan rakyat? Atau sebaliknya semakin menambah beban negara dan akhirnya rakyat menjadi ‘tumbal’ karena pinjaman utang?
Jika dipikirkan kembali dengan akal sehat, lilitan utang itu justru menyebabkan hidup menderita. Bahkan saat kita makan memikirkan utang, nafsu makan bisa berkurang, tidur pun tak nyenyak. Sebab utang yang semakin bertambah harus dilunasi, tapi bagaimana cara melunaskannya belum ada solusinya?
Lalu apakah ini kebijakan yang tepat untuk menyelamatkan rakyat di tengah pandemi? Utang terus diproduksi, alasan demi rakyat dan untuk rakyat terus diopinikan oleh pejabat negeri. Publik semakin muak dan jengah dengan seribu alasan tanpa ada bukti nyata menyejahterakan rakyat.
Kesalahan dalam mengambil kebijakan menambah utang dan prioritas alokasi anggaran negara disebabkan karena negara menjalankan ekonomi kapitalisme. Padahal banyak cara yang bisa ditempuh guna menyelamatkan ekonomi negara tanpa utang. Bhima Yudhistira selaku Direktur CELIOS (Center of Economic and Law Studies) mengatakan sebaiknya pemerintah menghemat anggaran belanja.
Seharusnya pemerintah tidak menambah utang lagi, karena kondisi Indonesia akan semakin parah dengan jeratan utang dari segala arah. Pandemi belum juga bisa dikendalikan kini harus dihadapkan dengan masalah baru lewat pinjaman utang yang terus membengkak tak kalah membahayakan dari virus Covid-19.
Padahal kita sama-sama mengetahui bahwa tidak ada yang gratis dalam paradigma kapitalisme. Utang yang mengandung riba memiliki potensi bahaya politis atas negeri. Hal itu akan menjadi alat campur tangan dan kontrol asing terhadap kebijakan negeri.
Utang seperti ini jelas hukumnya haram, karena diperoleh dengan syarat yang melanggar hukum syara’. Kedaulatan negara pun terancam. Dengan utang, asing pun mudah mencaplok SDA dan negara. Adapun untuk menyelamatkan rakyat bukan dengan utang melainkan dengan menerapkan Syariah dalam institusi Khilafah. Negeri menjadi berkah, berlimpah kebaikan. InsyaAllah. [Wallahu a'lam bi ash-shawaab]
Tags
Opini