Oleh : Neti Ummu Hasna
Situasi genting akibat melonjaknya angka Covid-19 saat ini tengah melanda negeri kita. Tingkat kematian pasien Covid tiap hari terbilang tinggi. Semua RS rujukan Covid-19 dan tempat-tempat karantina penuh sesak oleh pasien Covid-19. Kondisi semakin mengkhawatirkan saat para nakes juga mulai banyak yang tumbang. Bahkan kabar terakhir ada beberapa rumah sakit yang mulai kesulitan mengakses tabung oksigen disebabkan karena kelangkaannya.
Merespon atas kondisi ini pemerintah memberlakukan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) Darurat mulai 3 Juli hingga 20 Juli 2021 mendatang. PPKM tersebut berlaku untuk Jawa-Bali. Sejumlah pengetatan pembatasan pun diterapkan untuk menekan laju peningkatan kasus penularan Covid-19. Mulai dari pembatasan aktifitas kerja perkantoran, pusat-pusat perbelanjaan, tempat-tempat ibadah, sekolah dan sebagainya.
Sejumlah ancaman sanksi pidana pun ditegaskan bagi siapa saja yang melanggar kebijakan PPKM darurat ini. Sebagaimana yang tertuang dalam berbagai undang-undang antara lain, dalam KUHP, UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, serta UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit menular.
Ancaman sanksi juga berlaku bagi semua kepala daerah yang tidak mengikuti kebijakan tersebut. Sanksi yang dikenakan mulai dari sanksi administrasi berupa teguran tertulis dua kali berturut-turut, hingga pemberhentian sementara sebagaimana diatur Pasal 68 ayat (1) dan ayat (2) Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Menyikapi tentang kebijakan PPKM Darurat tersebut, banyak kalangan dan juga para ahli menilai kebijakan tersebut tidak efektif. Kebijakan ini hanyalah berganti istilah saja dan mengulangi kebijakan-kebijakan sebelumnya yang terbukti tidak bisa mengatasi pandemi Covid-19 di negeri ini. Pemerintah seperti tak mau belajar dari pengalaman sebelumnya dan terus mengulangi kesalahan yang sama.
Sejatinya, kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah tersebut mengonfirmasi bahwa sebenarnya pemerintah memang tidak pernah sungguh-sungguh dalam penanganan pandemi Covid-19 ini. Keselamatan rakyat sama sekali bukan prioritas dalam penanganan pandemi ini. Akan tetapi kepentingan ekonomilah yang membuat pemerintah enggan untuk mengambil langkah yang dipandang efektif untuk mengakhiri pandemi.
Ketidakseriusan pemerintah dalam penanganan pandemi juga nampak ketika sebanyak 20 tenaga kerja asing (TKA) dari China tiba di Bandara Internasional Sultan Hasanuddin, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, pada Sabtu (3/7) malam. Kepala Bagian Humas dan Umum Direktorat Jenderal Imigrasi, Arya Pradhana Anggakara mengatakan tujuan TKA China tersebut datang ke Indonesia untuk membangun proyek strategis nasional smelter di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan.
Kedatangan 20 TKA China tersebut pun mendapat sorotan dari masyarakat karena dipandang sebagai ironi. Pemerintah dinilai tidak konsisten dengan kebijakan yang sedang diberlakukan. Ketat kepada masyarakat tetapi longgar bagi WNA. Apalagi kedatangan TKA China tersebut terkait dengan proyek investasi asing yang memang sudah disepakati oleh pemerintah. Terbukti segala kebijakan yang ditetapkan pemerintah memang tidak mandiri dari kepentingan asing.
Bukan pertama kalinya pemerintah membuka pintu masuk bagi WNA meskipun saat di dalam negeri sedang diberlakukan kebijakan untuk menekan laju penularan Covid-19. Padahal sejak awal diketahui, pandemi terjadi lantaran mobilitas orang secara internasional dari dan ke luar negeri. Begitu pula kasus sebaran varian covid yang baru beberapa waktu yang lalu juga merupakan kasus impor yakni masuknya WNA dari India ke dalam negeri.
Maka, akan tetap sulit untuk menghentikan pandemi saat ini apabila pintu keluar masuk dari dan ke luar negeri tetap dibuka lebar-lebar oleh pemerintah. Meskipun di dalam negeri diterapkan kebijakan untuk menekan laju penyebaran virus Covid-19, hal itu tidak akan efektif.
Oleh karena itu satu-satunya jalan untuk menghentikan pandemi ini secara tuntas dan efektif adalah dengan mengambil apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para Khalifah setelah beliau.
Rasulullah bersabda:
“Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.” (HR Bukhari)
Dari tuntunan Rasulullah tersebut jelas bahwa jalan untuk menghentikan wabah adalah dengan menutup akses suatu wilayah yang sedang terjangkit wabah. Inilah suatu cara yang paling relevan untuk kondisi saat ini, yakni pemberlakuan lokcdown secara total. Artinya, orang yang sedang di dalam tidak boleh keluar dan yang dari luar tidak boleh masuk.
Riwayat lain di masa Khalifah Umar,
“Umar sedang dalam perjalanan menuju Syam, saat sampai di wilah bernama Sargh. Saat itu Umar mendapat kabar adanya wabah di wilayah Syam. Abdurrahman bin Auf kemudian mengatakan pada Umar jika Nabi Muhammad SAW pernah berkata, “Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu, maka janganlah kalian keluar lari darinya”.
Demikianlah Islam telah memberikan tuntunan yang sangat jelas dan efektif dalam menangani pandemi. Sudah seharusnya pemerintah mau memperhatikan masukan dari masyarakat dan para ahli untuk mengambil langkah lokcdown jika tidak menginginkan nyawa rakyat melayang lebih banyak lagi. Pemerintah harus menyadari bahwa satu nyawa rakyat yang melayang akibat kelalaian dan kurangnya tanggung jawab dalam mengurusi urusan rakyat akan besar pertanggungjawabannya di sisi Allah. Wallahu 'alam bissh-showwab.