Oleh: Hany Handayani, S.P.*
.
.
.
.
Rakyat meradang ketika mendapati kabar bahwa pemerintah akan merambah pungutan pajak di beberapa sektor bebas pajak. Bagaimana tidak, di tengah kondisi rakyat sedang sekarat melawan virus yang kian ganas, pemerintah justru menambah beban rakyat dengan pungutan pajak. Menurut CNN Indonesia.com sektor yang diduga akan dikenai pajak oleh menkeu Sri Mulyani diantaranya pendidikan, bahan pangan sembako, dan sejumlah barang dan jasa tertentu.
.
Wabah covid-19 belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir bahkan hingga detik ini kondisi virus kian menguat dengan bentukan mutasi baru yang lebih berbahaya lagi. Tidak elok kiranya jika pemerintah lebih fokus dengan sektor pengembangan dana pajak ketimbang memberikan kontribusi terbaik dalam menangani wabah. Tak sedikit wabah covid-19 menelan korban di penjuru nusantara. Hal itu menandakan bahwa pemerintah kurang optimal dalam mencegah terjadi kasus baru dari virus tersebut.
.
Hal senada pun akhirnya disampaikan pula oleh Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu, Rahayu Puspasari sebagai bantahan terkait isu yang sedang beredar. Beliau menjelaskan bahwa memang benar tentang rencana perluasan pajak di sektor yang sebelumnya tak kena pajak itu dilakukan pemerintah. Kebijakan ini bakal tertuang dalam perluasan objek PPN yang diatur dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
.
Menurutnya ini baru sekedar wacana ke depan bukan untuk dilaksanakan dalam waktu dekat, mengingat kondisi rakyat juga sedang krisis akibat pandemik. Maka mesti dibantu agar mampu melewati situasi yang kian memburuk. Pemerintah saat ini sedang fokus menolong rakyat dengan pemulihan ekonomi dan penanganan pandemi Covid-19. Oleh sebab itu, menurut dia, sembako menjadi salah satu objek yang disubsidi oleh dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
.
Jika ditinjau dari segi kebijakan, saat ini Indonesia hanya bertumpu pada pajak sebagai salah satu sumber pendapatan negara. Sama halnya dengan sistem kapitalisme yang hanya mengandalkan pajak sebagai tulang punggung pendapatan negara. Maka mau tidak mau rakyat akan diminta kontribisinya sebagai bentuk gotong royong dalam membangun negara. Walhasil pajak merupakan Manifestasi gotong royong tersebut dalam tinjauan sistem saat ini.
.
Namun istilah pajak sebagai Manifestasi gotong royong dalam kondisi pandemi seperti sekarang ini justru dinilai kurang tepat. Di saat masyarakat hendak melepaskan diri dari krisis wabah, pemerintah seakan menekan masyarakat menjadi sapi perah yang terus menerus dimanfaatkan tenaganya. Kondisi ini lebih mirip membawa kita kembali ke zaman kerajaan yang mewajibkan upeti untuk membangun negaranya ketimbang istilah gotong royong.
.
Berbeda ketika sebuah negara menerapkan Islam, pajak tidak dikenal dalam Islam. Adapun istilah yang mirip dengannya adalah dharibah, yakni beban yang dikenakan kepada rakyat sebagai jalan terakhir ketika baitul mal sebagai sumber pendapatan negara kosong. Dalam pelaksanaannya pun berbeda dengan pemungutan pajak. Dharibah hanya dipungut dari kalangan kaum muslim yang kaya saja, sedangkan non muslim dan kaum papa tak diwajibkan untuk membayarnya. Itu pun bentuknya kondisional dan temporer tidak diwajibkan sepanjang waktu.
.
Islam memandang sumber pendapatan negara berasal dari pos-pos berikut. Yakni zakat, jizyah, kharaj, al usyr, dan pengelolaan sumber daya alam yang ada di wilayah tersebut. Dari beragam sumber pendapatan tersebut, dinilai cukup guna memenuhi kebutuhan masyarakat. Maka wajar jika dharibah hanya dipungut dalam kondisi tertentu yang tidak akan menjadi beban berat bagi masyarakat. Dari sini nampak bahwa istilah dharibah lebih cocok sebagai manifestasi gotong royong ketimbang pajak yang mampu mencekik rakyat. Karena di dalamnya tak ada paksaan bagi masyarakat miskin. Terlihat jelas bahwa saat negara krisis, keberadaan kaum agniya atau kalangan orang kaya mampu membantu masyarakat kurang mampu.
.
Wallahu'alam bishowab.
* (Aktivis Muslimah)
Tags
Opini