Tangani Wabah dengan Syariah

Oleh : Susi

Wabah pandemi corona (Covid-19) menyingkap satu fakta yang kasatmata. Tidak lain kegagapan sekaligus kegagalan sistem Kapitalisme di berbagai negara (termasuk di negeri ini) dalam memelihara agama, nyawa dan harta manusia.

Di negeri ini, penyebaran Covid-19 hingga hari ini masih terus mengkhawatirkan. Jumlah orang yang terpapar rata-rata di atas 20 ribu/hari. Banyak sudah nyawa melayang baik dari Nakes maupun rakyat sipil. Rumah sakit tidak ada lagi yang sanggup menampung warga yang terpapar. Akhirnya semua diserahkan kepada masing-masing individu untuk bisa bertahan dalam kondisi seperti ini.

Di tengah situasi yang masih berbahaya ini, Pemerintah masih saja menangani masalah ini setengah hati. Pemerintah hanya melakukan pembatasan lokal bagi rakyatnya dengan istilah yang berbeda-beda. Mulai dari PSBB, PPKM sampai PPKM darurat. Tetapi pemerintah masih saja membuka kran masuk warga asing ke Indonesia dengan alasan investasi ekonomi.

Memang, bencana berupa wabah ini merupakan bagian dari qadha’ (ketetapan Allah SWT) yang tak bisa ditolak. Namun, sistem dan metode apa yang digunakan untuk mengatasi dan mengendalikan wabah adalah pilihan; ada dalam wilayah ikhtiari manusia. Faktanya, saat ini para penguasa dunia, juga penguasa negeri ini, lebih memilih untuk menerapkan sistem Kapitalisme, dan menggunakan metode yang lebih mementingkan aspek ekonomi, dalam mengatasi wabah. 

Apalagi dalam menjaga dan memelihara agama. Pemerintah makin terkesan abai. Saat wabah seperti ini, banyak masjid ditutup. Tidak boleh menyelenggarakan shalat Jumat dan shalat berjamaah. Shalat Idul Adha yang sebentar lagi dilaksanakan oleh umat Islam pun sepertinya akan dilarang. Semua dengan alasan demi mencegah penularan wabah Covid-19. 

Sebetulnya alasan ini masuk akal. Tentu jika dibarengi oleh penutupan tempat-tempat keramaian yang lain seperti mal-mal, pasar-pasar, bandara, stasiun, terminal dll. Faktanya, banyak di antara tempat-tempat tersebut (yang notabene jauh lebih ramai daripada masjid) dibiarkan tetap “normal”. Tidak benar-benar ditutup.  Akhirnya, wajar jika banyak orang berprasangka negatif atas kebijakan ini. Pemerintah dituding cenderung anti Islam karena dianggap mendiskreditkan masjid. Seolah-olah masjidlah yang paling berpotensi dalam penularan wabah daripada tempat-tempat keramaian yang lain.

Padahal, persoalannya, sejak awal langkah isolasi dengan luar negeri dan juga isolasi antar daerah tidak segera diterapkan oleh Pemerintah. Akibatnya, Covid-19 pun menyebar hampir ke seluruh negeri.

Karena itu yang harus diprioritaskan oleh Pemerintah saat ini adalah bagaimana mengendalikan dan mengatasi pandemi Covid-19. Keselamatan nyawa manusia harus lebih didahulukan daripada kepentingan ekonomi. Apalagi sekadar memenuhi kepentingan ekonomi segelintir orang, yakni para kapitalis (pengusaha/pemilik modal).

Karena itu solusinya tidak lain dengan syariah Islam. Dengan syariah Islam, wabah akan lebih mudah diatasi dan dikendalikan. Tentu tanpa mengganggu syiar Islam dan ibadah kaum Muslim. Nyawa manusia pun bisa terselamatkan. Ekonomi juga tetap bisa berjalan.

Tindakan isolasi/karantina atas wilayah yang diterapkan pada wilayah yang terkena wabah. Ini dimaksudkan agar wabah tidak meluas ke daerah lain. Karena itu suplay berbagai kebutuhan untuk daerah itu tetap harus dijamin. Ini hanyalah masalah manajemen dan teknis. Relatif mudah diatasi. Apalagi dengan teknologi modern saat ini. Namun  demikian, semua itu bergantung pada kebijakan dan sikap amanah Pemerintah sebagai pengurus rakyat.

Tindakan cepat isolasi/karantina cukup dilakukan di daerah terjangkit saja. Daerah lain yang tidak terjangkit bisa tetap berjalan normal dan tetap produktif. Daerah-daerah produktif itu bisa menopang daerah yang terjangkit baik dalam pemenuhan kebutuhan maupun penanggulangan wabah.

Dengan begitu perekonomian secara keseluruhan tidak terdampak.
Kebijakan seperti itulah yang semestinya diambil dan dijalankan sekarang ini. Kebijakan yang sesuai dengan syariah Islam, sehingga agama, nyawa dan harta manusia bisa terjaga. 

Sumber : Buletin Kaffah, No. 144 (13 Syawal 1441 H-5 Juni 2020 M)


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak