Oleh : Eti Fairuzita*
Di tengah kasus pandemi yang sedang meroket, pemerintah malah melakukan pinjaman luar negeri. Bukan untuk mengatasi pandemi, akan tetapi untuk pembangunan infrastruktur negeri ini.
Kementerian BUMN mengatakan Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) bakal mengalami cost deficiency (kekurangan biaya) operasi pada awal pengoperasiannya.
Untuk itu, pemerintah tengah bernegosiasi dengan China agar mendapat bantuan pinjaman di awal operasi KCJB nanti. Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo menyebut pinjaman bisa diperoleh dari China Development Bank (CDB) dengan jaminan oleh PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI.
Agar itu bisa terwujud, PT KAI nantinya akan diusulkan untuk mendapatkan jaminan dari pemerintah dengan pembentukan singking fund.
"Untuk kelangsungan usaha dalam konteks operasional cash flow negatif yang akan terjadi di awal-awal operasi ini, kita sedang skemakan dengan pembiayaan dari bank. Dalam hal ini China Development Bank," ujarnya dalam rapat di Komisi VI DPR, Kamis (8/7).
Selain cost deficiency, Kartika juga mengatakan proyek tersebut juga berpotensi mengalami pembengkakan konstruksi (cost overrun) sampai dengan US$1,4 miliar-US$1,9 miliar. Karena itu, pemerintah tengah bernegosiasi dengan China untuk menambal pembengkakan itu.
Ia menambahkan pembengkakan terjadi akibat keterlambatan pembebasan lahan dan perencanaan yang terlalu optimis di awal.
"Kurang kuatnya manajemen proyek menyebabkan adanya potensi cost overrun pada proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung," ujar Mantan Dirut Bank Mandiri tersebut.
Kartika menuturkan 75 persen dari cost overrun diasumsikan disetujui oleh pemegang saham (PSBI dan Bejing Yawan) serta CDB untuk dapat dicover melalui utang.
"Pemenuhan biaya cost overrun akan dinegosiasikan dengan pihak China," tandasnya.
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210708130401-92-664965/pemerintah-cari-utang-ke-china-untuk-operasikan-kereta-cepat.
Apa yang dilakukan pemerintah dimasa pemberlakuan PPKM Darurat Jawa-Bali ini, tentu saja menambah bukti bahwa pemerintah lebih memilih sektor ekonomi ketimbang kesehatan dan keselamatan rakyatnya, maka tidak heran ketika kebanyakan publik menilai pemerintah justru menggunakan momen pandemi ini untuk memperbanyak utang yang tidak memberikan kemanfaatan bagi publik. Inilah bentuk lepas tanggung jawab negara dalam mengurusi urusan umat.
Ditambah lagi, pilihan berhutang membawa negeri ini pada jebakan yang akan merugikan negara dan membebani rakyatnya.
Menurut pakar ekonomi Dr. Arim Nasim, mengatakan penyebab APBN terjebak pajak dan utang ialah karena negeri ini menggunakan sistem ekonomi kapitalis. Asas kapitalis yang digunakan menyebabkan ekonomi Indonesia runtuh.
Ia menilai, sekalipun di tahun 1998 Indonesia mengalami reformasi untuk kemandirian ekonomi, namun justru semakin terpuruk.
Hal ini terjadi karena terlalu banyak utang dan bertekuk lututnya Indonesia kepada IMF melalui letter of intent dan negara-negara pemberi utang seperti Cina, USA, dan Australia dengan konsekuensi liberalisasi dan swastanisasi sektor publik.
Sementara Liberalisasi dan swastanisasi, melegalkan korporasi besar untuk bisa memiliki sumber daya alam tanpa batasan. Lebih dari itu, menggunakan utang luar negeri untuk kebutuhan negeri seperti pembangunan hanya akan menjadikan Indonesia terjebak debitor multilateral yang pada akhirnya menjadikan ketergantungan dan dampaknya kebijakan-kebijakan di negeri penghutang akan dapat disetir.
Ini sangat berbeda dengan konsep Baitul Mal dalam konsep keuangan Negara Khilafah Islam. Dimana belanja infrastruktur diposisikan sebagai belanja yang sangat penting sehingga harus dalam kendali negara sepenuhnya. Karena pembelanjaan pengeluaran untuk infrastruktur memang selalu besar maka pengeluaran ini sekaligus dimanfaatkan untuk menyerap tenaga kerja yang banyak sekaligus diorientasikan pada penggerakan roda ekonomi.
Dimana terdapat tiga pos pendapatan besar yang diperoleh negara tanpa pernah terjerat utang luar negeri yang ribawi.
Pertama, pos fai dan kharaj. Pos ini adalah tempat penyimpanan arsip-arsip pendapatan negara yang meliputi harta yang termasuk fa'i bagi seluruh kaum Muslim, kharaj, jizyah, ghanimah, dan lain-lain.
Kedua, Pos pemilikan umum seperti sumber daya alam yang melimpah, harta ini digolongkan kepada kepemilikan umum bukan milik negara. Negara hanya berhak mengelola sementara hasilnya diperuntukan bagi kemaslahatan umat bisa dalam bentuk biaya kesehatan, pendidikan, keamanan dll. Negara sama sekali tidak boleh menyerahkanya kepada asing atau diprivatisasi oleh swasta.
Ketiga, pos zakat. Pos ini merupakan tempat penyimpanan harta-harta zakat seperti zakat uang dan perdagangan, zakat pertanian dan buah-buahan, zakat ternak unta, sapi, dan kambing. Dimana pos zakat ini hanya didistribusikan kepada delapan ashnaf yang tercantum di dalam al-Quran.
Bahkan ada satu pos tambahan yang bersifat extraordynary jika kas negara mengalami kekurangan yakni pos dharibah atau pajak. Artinya juga, bahwa pajak bukan sumber utama pendapatan negara hanya sebagai tambahan saja itupun dalam keadaan yang sangat khusus dan objeknya hanya orang kaya, sehingga setelah kondisi normal maka pungutan pajak dihentikan kembali.
Skema pembiayaan ini menjadikan kas negara (Baitul Mal) menjadi relatif stabil dan tidak mudah mengalami defisit. Di dalam Baitul Mal infrastruktur merupakan hal yang sangat penting dan mendapat perhatian yang besar, kebijakan fiskal Baitul Mal membelanjakan anggarannya untuk investasi infrastruktur publik sehingga mampu menciptakan kondisi yang kondusif agar masyarakat mau berinvestasi untuk hal-hal yang produktif.
Konsekuensi lanjutan jika proyek pebangunan infrastruktur didanai oleh Baitul Mal adalah tidak ada harga jual yang harus dibayar masyarakat ketika menggunakannya karena dalam sistem politik Islam negara bukan produsen dan rakyat bukanlah konsumen.
Pada zaman Rasululah beliu membangun infrastruktur berupa sumur umum, pos, jalan raya, dan pasar. Kemudian pembangunan infrastruktur ini dilanjutkan oleh khalifah Umar bin Khathab, beliu mendirikan dua kota dagang besar yaitu Basrah sebagai pintu masuk perdagangan dengan Romawi dan Kota Kuffah sebagai pintu masuk perdagangan dengan Persia. Khalifah Umar bin Khathab juga membangun kanal dari Fustat ke Laut Merah, sehingga orang yang membawa gandum ke Kairo tidak perlu lagi naik unta karena mereka bisa langsung menyebrang dari Sinai menuju Laut Merah.
Khalifah Umar bin Khathab juga menginstruksikan kepada gubernur di Mesir untuk membelanjakan 1/3 dari pengeluaranya untuk infrastruktur. Karena itu terlihat hanya sistem ekonomi Islam saja yang mampu menjadikan negeri ini memiliki keuangan yang stabil dan kuat serta terbebas dari setiran asing.
Wallahu alam bish-sawab
*(Menulis Asyik Cilacap)
.
Tags
Opini