Tak habis pikir, itulah kira-kira kata yang tepat untuk menggambarkan apa yang terjadi akhir-akhir ini. Buruknya situasi pandemi saat ini nyatanya tidak menghentikan obsesi Pemerintah untuk melanjutkan proyek infrastruktur dalam negeri, salah satunya adalah proyek kereta cepat. Tak hanya sekedar melanjutkan, Pemerintah pun sempat-sempatnya untuk mengajukan tambahan hutang kepada China untuk proyek ini.
Sungguh tak habis fikir, ditengah kesulitan yang melanda hampir seluruh negeri, bisa-bisanya Pemerintah berpikir untuk terus melanjutkan proyek tersebut. Pasalnya untuk korban akibat pandemi saja, ada hampir empat ratus ribu kasus aktif dari total lebih dari dua setengah juta jiwa yang telah terinfeksi covid-19. Dan dari jumlah fantastis tersebut, hampir tujuh puluh ribu orang diantaranya harus meregang nyawa.
Kondisi yang sangat memprihatikan, mengingat jiwa manusia yang amat berharga harus terbuang sia-sia. Dan tak main-main, covid-19 ini telah menumbangkan banyak tokoh-tokoh penting dan berpengaruh di negeri ini, para doktor, profesor, ulama bahkan para tenaga kesehatan itu sendiri (dokter spesialis hingga tenaga keperawatan) yang wafat karena terpapar covid-19.
Belum lagi efek-efek pandemi lainnya, semisal tumbangnya berbagai usaha mikro dan retail milik anak negeri, meroketnya pengangguran akibat pemutusan hubungan kerja (PHK), meningkatnya angka perceraian, kriminalitas yang menjadi-jadi, dan kemiskinan yang semakin merajalela.
Semua hal tersebut seharusnya membuat Pemerintah benar-benar berfokus pada penyelesaian masalah pandemi dan efek-efek bawaan lainnya. Bukan justru memikirkan hal-hal lainnya yang sebenarnya tidak memiliki urgensitas sama sekali untuk diselesaikan dalam waktu dekat. Proyek kereta cepat ini salah satunya.
Apalagi jika kita melihat bahwa Pemerintah rela untuk meminta tambahan utang ke China untuk keberlangsungan proyek ini. Amat menyedihkan, pasalnya utang Indonesia saat ini sudah sangat besar, bahkan hampir mencapai limit. Tercatat hingga akhir Mei 2021, jumlah utang Indonesia mencapai Rp 6,418 triliun, atau dengan rasio debt service terhadap penerimaan (DSR) sebesar 46,77%.
Walaupun beberapa ekonom, termasuk Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan bahwa dengan perhitungan tertentu, jumlah hutang Indonesia masih dikategorikan aman. Namun jika dilihat dari sejarah kenegaraan, akumulasi jumlah hutang negara saat ini adalah yang terbesar jika dibandingkan dengan masa-masa kepemimpinan sebelumnya.
Selain itu, jika menilik data audit yang dikeluarkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), utang Pemerintah saat ini telah melampaui batas yang direkomendasikan IMF dan International Debt Relief (IDR) dengan rasio sebesar 25-35%. Hal ini pastinya akan membebani rakyat lambat laun, pasalnya Pemerintah saat ini seakan telah kehilangan cara untuk menambah pundi-pundi penghasilan selain daripada penarikan pajak. (Beritasatu.com, 3/7/2021)
Adapun persoalan utang, sebenarnya sah-sah saja untuk dilakukan, namun yang menjadi masalah kemudian adalah untuk apa ia diperuntukkan dan bagaimana cara pengelolaannya sehingga kucuran utang tersebut menjadi tepat sasaran. Itulah yang menjadi permasalahan utamanya. Bukan masalah buruknya Pemerintah berhutang di masa pandemi, melainkan bahwa mereka melakukan hal tersebut di masa pandemi untuk melanjutkan proyek.
Islam sendiri sebenarnya membolehkan aktivitas berhutang secara umum (untuk individu), hanya saja ada beberapa syarat yang harus diperhatikan, yakni pihak yang berhutang memiliki niat untuk melunasi hutang, pihak yang berhutang mempunyai dugaan kuat bahwa dia mampu untuk melunasinya, dan bahwa hutang yang ada adalah dalam perkara yang disyariatkan. (https://www.slideshare.net/fissilmikaffah1/062-hukum-utang-pinjaman)
Adapun dalam hal institusi kenegaraan, maka hukumnya tetap boleh dengan catatan bahwa hutang tersebut dilakukan dalam kondisi kekosongan Baitul Maal, keterdesakan yang sangat memaksa dan diperuntukkan guna memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Selain itu, Daulah pun tidak akan sembarangan untuk memilih kepada siapa akan berhutang.
Alhasil dalam kondisi pandemi saat ini, sebenarnya boleh saja negara berhutang untuk memenuhi hajat hidup masyarakat yang memang sangat membutuhkan bantuan-bantuan tersebut. Hanya saja ternyata, bukan itu tujuan Pemerintah berhutang kali ini. Bukan untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya melainkan untuk melanjutkan proyek infrastruktur yang belum tuntas.
Hal tersebut tentunya menjadi keprihatinan bersama, bahwa ternyata Pemerintah saat ini masih saja mengutamakan pembangunan infrastruktur dibanding mengurusi rakyatnya. Rakyat yang terus menerus bertumbangan, bukan hanya sebab penularan wabah melainkan sebab terdampak dari kebijakan wabah.
Alangkah baiknya, jika Pemerintah saat ini berfokus dalam hal penanganan wabah dan penghentian status pandemi, bukan malah mengurusi hal-hal lain yang sebenarnya tidak urgen untuk diurusi, semisal infrastruktur, investasi, ekonomi ataupun pariwisata. Fokus dalam menyelesaikan pandemi dulu, sebab dengan penyelesaiannya maka semua orbit ekonomi akan normal kembali, pariwisata akan pulih dengan cepat dan proyek infrastruktur pun akan lebih aman dijalankan.
Testing masal harus segera dijalankan, pisahkan orang sakit dari yang sehat, lockdown dan treatment mereka dengan sesegera dan seserius mungkin. Yang sehat dan tidak terjangkit, diberikan penguat imun dan iman, dibiarkan beraktifitas dan menjalankan ekonomi sebisanya. Jangan lakukan pembatasan wilayah dan aktivitas yang sifatnya temporer dan parsial seperti saat ini, apalagi jika dasar pemikirannya masih menggunakan prinsip Kapitalis. Semua aktivitas masyarakat bawah dibatasi, sampai rumah ibadah pun sempat harus ditutup sementara. Namun proyek infrastruktur tetap dijalankan.
Semua solusi di atas tentu sangat menuntut pengorbanan dan keseriusan, kucuran dana yang besar dan hilangnya pundi-pundi keuntungan. Namun dengan solusi seperti itu, segala masalah negeri ini pun akan segera teratasi. Adapun solusi semacam ini tidak mungkin keluar dari pemerintahan yang masih memegang kuat sistem Kapitalisme. Hanya sistem Islam lah yang sanggup dan hal itu sudah jauh-jauh hari diterapkan dan menuai keberhasilan.
Wallahu A'lam bis Shawwab
* (Pemerhati Kebijakan Publik)
Tags
Opini