Oleh : Ummu Hanif, Pengamat Sosial Dan Keluarga
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo mengatakan, angka stunting naik saat pandemi Covid-19. Setidaknya, kurang lebih 2 juta anak yang diperkirakan mengalami permasalahan gizi khususnya wasting di low and middle income countries (LMICs) yang bisa mengakibatkan stunting pada anak. (www.kontan.co.id, 29 juni 2021)
Faktor penyebabnya adalah karena pandemi Covid-19 yang tak kunjung selesai dan mengakibatkan para orang tua tidak mempunyai pekerjaan yang berjung tidak memiliki uang. Hal tersebut akhirnya berpengaruh pada berkurangnya ketersediaan dan keterjangkauan makanan bergizi, dan terganggunya pelayanan kesehatan, gizi, dan perlindungan sosial pada anak.
Stunting adalah kondisi gagal pertumbuhan pada anak (pertumbuhan tubuh dan otak) akibat kekurangan gizi. Sedangkan wasting terjadi ketika tubuh kekurangan gizi akut sehingga otot dan lemak dalam tubuh mulai berkurang dengan cepat.
Stanting akibat pandemi ini juga melanda dunia secara keseluruhan. Dalam sebuah artikel pada jurnal medis The Lancet, tim ahli menunjukkan hasil estimasi pemodelan komputer tentang pasokan makanan di 118 negara miskin dan berpenghasilan menengah. Hasilnya, mereka menemukan bahwa wasting akibat kekurangan gizi tingkat sedang hingga berat untuk anak di bawah usia lima tahun akan meningkat 14,3% atau setara dengan 6,7 juta kasus tambahan.
Islam sebagai agama sekaligus pandangan hidup yang sempurna, telah memiliki pandangan yang cukup jelas dan gamblang dalam mengatasinya. Memang, pandemi saat ini pandemi telanjur sangat parah. Namun, tidak ada istilah terlambat untuk melakukan yang baik. Setidaknya beberapa langkah berikut, adalah oanduan islam dalam menghadapi pandemi maupun dampak ikutannya sekaligus.
Hal pertama yang harus ada adalah fungsi negara yang sehat. Negara yang sehat, menjamin ketersediaan fasilitas kesehatan yang memadai baik secara kualitas dan kuantitas, dana kesehatan yang mencukupi, laboratorium diagnostik yang tersedia , kualitas dan kuantitas SDM kesehatan yang memadai, lembaga riset, dan industri alat kedokteran serta farmasi yang mumpuni.
Selanjutnya adalah model kekuasaan yang harus bersifat sentralisasi dan administrasi bersifat desentralisasi. Kekuasaan sentralisasi memungkinkan adanya satu komando yang jelas dalam penanggulangan bencana termasuk pendemi. Sehingga tidak ada tumpang tindih kebijakan. Adapun administrasi yang desentralisasi diharapkan pelaksanaan administrasi bisa cepat, dan mudah sampai ke lapisan bawah.
Dana biasanya menjadi kendala utama. Oleh karena itu, pembiayaan berbasis baitulmal bersifat mutlak. Disini negara mengelola harta milik umum yang tak lain adalah salah satu sumber pembiayaan penanganan wabah. Sehingga pos pemasukan negara akan sanat banyak. Tidak seperti saat ini, ketika harta milik umum dimiliki pribadi, maka harta umum masuk ke rekening pribadi pemilik hak kelola. Negara akhirnya kehabisan dana saat datang wabah atau bencana.
SDM kesehatan berbasis sistem pendidikan Islam, mutlak diperlukan. Karena mereka akan terintegrasi dengan pengelolaan kesehatan berkualitas terbaik. Kuatnya aqidah sebagai output sistem pendidikan islam, jelas tidak akan pernah mengorbankan nyawa rakyat untuk uji coba. Karena mereka tahu, konsekuansinya sampai akhirat. Mereka pun akan mengelola fasilitas kesehatan dan unit teknis lain milik negara sebagai perpanjangan fungsi negara. Artinya, akan dikelola di atas prinsip pelayanan dengan pembiayaan dan pengelolaan langsung dari negara. Tidak dibenarkan sebagai lembaga bisnis dan bersifat otonom. Setiap orang akan mudah mengakses pelayanan kesehatan gratis berkualitas kapan saja dan di mana saja di saat membutuhkan.
Dunia riset pun harus terus hidup dan tumbuh subur di dalam negeri. Hal ini untuk kecepatan penanganan wabah. Seperti riset bagi penentuan titik areal wabah, luas areal yang harus dikunci, dan lamanya penguncian. Demikian juga riset tentang standar pengobatan, instrumen, dan obat-obatan terbaik bagi kesembuhan dan keselamatan jiwa pasien.
Dan untuk menghindari ketergantungan bahkan penjajahan dari negara lain, maka mutlak ada politik industri berbasis industri berat. Prinsip ini adalah jalan efekif bagi segera terpenuhinya berbagai teknologi terkini bagi penanganan wabah. Mulai dari produksi Alat Pelindung Diri (APD) bagi tenaga medis, hingga berbagai produk farmasi, alat kesehatan dan obat-obatan.
Hanya saja, yang perlu kita renungkan bersama, mampukah sebuah negara yang berlandaskan kapitalis melaksanakannya? Jika belum atau tidak mampu, maka wacana sistem islam adalah hal wajar untuk diperbincangkan. Karena tidak ada jalan lain bagi penyelesaian persoalan bangsa ini, terlebih saat pandemi dengan berbagai persoalan yang menyertainya, kecuali dengan kembali pada pangkuan kehidupan Islam.
Wallahu a’lam bi ash showab.