Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial Dan Keluarga
Setiap Idul Adha atau hari raya kurban atau hari raya haji, kita diingatkan kembali kisah keluarga harmonis yaitu keluarga Ibrahim. Kisah penuh teladan bagi manusia sepanjang zaman, yang diabadikan dalam qur’an.
Melalui kisah keluarga Ibrahim, Allah menunjukkan kepada kita, betapa pentingnya peran keluarga dalam membangun masyarakat bahagia sejahtera dunia akhirat. Sebuah masyarakat tidak akan bahagia sejahtera, jika masyarakat itu gagal membangun keluarga-keluarga kecil dan generasi mudanya.
Kisah Nabi Ibrahim, Siti Hajar, dan Ismail menjadi teladan untuk seluruh manusia. Kita masih ingat, bagaimana Nabi Ibrahim sangat merindukan kehadiran anak dalam keluarga. Di usianya yang tua renta, Allah belum menganugerahi keturunan. Bagi Ibrahim, anak bukanlah sekadar pelanjut keturunan, namun sekaligus pewaris risalah kenabian. Ibrahim tidak putus-putus berdoa kepada Allah agar dikaruniai keturunan. Lalu Allah menganugerahinya seorang bayi laki-laki melalui istrinya yaitu Hajar, yang kemudian diberi nama Ismail.
Selanjutnya Ibrahim sangat senang dan mencintai Ismail. Saat anak berumur menjelang remaja, saat itulah Allah ingin menguji cinta Ibrahim kepada-Nya. Adakah cinta Ibrahim kepada Allah adalah cinta yang tidak tertandingi? Ataukah cinta Ibrahim kini lebih besar kepada Ismail dibanding kepada Allah? Adakah cinta kepada anak telah mengalahkan cintanya kepada Allah? Saat cinta Ibrahim sangat besar kepada anaknya, Allah mengujinya melalui perintah menyembelih Ismail. Hal itu dikisahkan dalam al-Quran surat as-shaffat ayat 102.
Sejarah membuktikan bahwa Ibrahim berhasil menjadikan dan mengarahkan anaknya sebagai sarana meningkatkan takwa dan cinta kepada Allah. Ibrahim jadi sadar bahwa hakikat perintah penyembelihan terhadap anaknya adalah perintah untuk menyembelih kecintaan yang berlebihan kepada anak. Yaitu kecintaan yang potensial mengarah kepada pemanjaan, yang menjauhkan dari takwa kepada Allah. Serta menyembelih kecintaan yang berlebihan kepada makhluk, sebuah kecintaan yang potensial melalaikan dari mengabdi kepada Allah sang khaliq.
Situasi seperti inilah yang sejatinya setiap saat kita hadapi dalam hidup sehari-hari. Mengutamakan Allah? dengan mengarahkan anak untuk patuh kepada Allah? ataukah memilih memanjakan anak-anak? membebaskan berbuat sesukanya meski bertentangan hukum Allah? Apakah anak-anak dan harta yang merupakan titipan Allah telah melalaikan kita dari taat kepada Allah? Padahal Allah telah mengingatkan kita melalui firman-Nya :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلا أَوْلادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah.
Jika dahulu Allah menguji Ibrahim dan keluarganya, maka sekarang Allah juga menguji kita dan keluarga kita. Mampukah kita menjadikan anak sebagai sarana meningkatkan takwa dan cinta kepada Allah? Sudahkah kita mengarahkan menjadi anak sholeh dan bertakwa? Tentu tidak cukup dijawab dengan pengakuan saja, namun harus dengan bukti nyata.
Nabi Ibrahim dan Siti Hajar selaku orang tua, telah membuktikan bahwa mereka serius mendidik anak dan menjadikannya sholeh beriman bertakwa. Ismail menjadi sangat berkualitas. Saking berkualitasnya Ismail, Allah memilih jalur keturunan Isma’il kemudian terlahir rasul paling mulia, yaitu Nabi Muhammad.
Bisa kita membayangkan, perasaan seperti apakah yang berkecamuk di dada seorang pemuda, ketika ayah yang amat dicintainya dan sangat mencintainya, mengatakan bahwa ayah akan menyembelihnya? Sungguh susah terbayang oleh kita harus menjawab apa. Seandainya saat itu pemuda tersebut adalah kita, bisa jadi berkecamuk dalam dada dengan ucapan :”Benarkah ayahanda serius mencintai? Kalau cinta kenapa tega akan menyembelih.?”
Tapi Ismail terbukti sebagai pemuda shaleh. Perintah yang berat itu dipatuhi Ismail dengan sabar. Dia menyanggupi menyerahkan lehernya untuk disembelih. Bukan itu saja, tahu bahwa perintah itu amat berat bagi ayahandanya, Ismail pun mendukung keteguhan jiwa ayahandanya untuk melaksanakan perintah Allah tersebut. Ismail sangat taat kepada Allah serta sangat yakin bahwa Allah memerintahkan suatu hal pasti ada hikmah yang besar di dalamnya.
Apakah yang membuat Ismail menjadi sholih dan bertakwa semacam itu? Menu apakah yang setiap hari mengisi otak dan kalbunya? Pendidikan seperti apakah yang diterapkan setiap harinya ?
Kesholehan Ismail bukan diperoleh secara instan atau tiba-tiba. Kehebatan Ismail adalah buah dari pendidikan dan bimbingan orangtuanya, yaitu Nabi Ibrahim dan Siti Hajar. Kehebatan itu diperoleh melalui keseriusan menerapkan pendidikan mental spiritual, yang diantaranya telah diabadikan dalam ritual haji, umrah serta qurban.
Bagaimana dengan anak kita terutama pemuda dan remaja sekarang ini? Adakah mereka mewarisi kedahsyatan Ismail? Mungkin belum. Justru mungkin saja yang terjadi adalah sebaliknya. Sering kita amati langsung atau kita baca atau dengar melalui media cetak maupun elektronik dari koran, radio, televisi maupun internet, bahwa masih sering terjadi kenakalan, maksiat serta kriminal yang dilakukan oleh anak-anak kita atau warga kita. Data tentang perilaku anak muda kita sungguh membuat miris. Menurut Komisi Perlindungan Anak, setiap tahun kasus tawuran antar pelajar jumlahnya masih tinggi hingga ratusan kasus. Badan Narkotika Nasional juga menyebut keterlibatan pemuda dalam penyalahgunaan narkoba juga masih tinggi.
Pertanyaannya sekarang adalah, seberapa besarkah tekad para ayah untuk meniru Ibrahim? Sudahkah kita merencanakan dan membulatkan tekad untuk mencontoh Ibrahim dalam mendidik anak dan keluarganya? Karena jangan harap di rumah kita akan hadir anak-anak sehebat Ismail, kalau kita sebagai orang tua tidak mewarisi keteguhan Ibrahim.
Adapun benar adanya, kesholihan pemuda saat ini, tidak bisa hanya dibentuk dari dalam. Butuh peran lingkungan atau masyarakat sebagai kontrol sosial. Pun pula peran negara sebagai pemberi pendidikan dan sanksi yang tegas. Oleh karena itu, perlu seluruh lapisan ini bersatu padu memberi pendidikan terbaik bagi generasi muda. Pendidikan yang menjadikan iman dan taqwa sebagai dasarnya. Wallahu a’lam bi ash showab.