Oleh : Diani Ambarawati
Berbagai nama program dibuat menjadi kebijakan dengan maksud mengatasi pandemi, namun lagi-lagi hanyalah jadi cerita dan semakin menyedihkan. Mulai dari PSBB, PPKM Mikro dan sekarang PPKM darurat. Apalah arti nama jika realisasi setengah hati.
Bagaimana tidak, kebijakan yang dibuat dengan kacamata materi alias keuntungan ekonomi alhasil mengorbankan rakyat dengan dalih menyelamatkan krisis ekonomi akibat inflasi dari dampak pandemi. Apa yang sebenarnya dibutuhkan rakyat saat pandemi? Padahal mudah saja yakni tercukupinya kebutuhan pokok per kepala keluarga. Faktanya bansos bukannya memberi solusi, namun mendatangkan masalah pengurusan yang salah kaprah.
Wajarlah rakyat ada yang nurut karena sudah terjamin kebutuhannya dan ada juga yang masa bodoh dengan aturan dan himbauan penguasanya karena keberlangsungan kehidupan keluarga mengharuskannya keluar rumah. Ketidakadilan juga terbukti semenjak dicanangkan kebijakan PSBB, PPKM mikro dan PPKM darurat tidak serta merta menutup semua aktivitas. Keran berpeluang keuntungan materi dibuka bahkan dol, namun keran yang tidak ada kaitannya dengan manfaat ditutup rapat apalagi kaitannya dengan kegiatan beragama.
Kebijakan setengah hati memberi keleluasaan terhadap tenaga kerja asing yang berbondong-bondong melenggang ke negara ini dan kerumunan yang menguntungkan penguasa dibiarkan, namun kerumunan yang katanya mengancam negara diperkarakan dan terkena sanksi Undang-undang kerumunan saat pandemi juga melarang aktivitas rakyat yang jelas-jelas untuk kepentingan keluarganya tetapi memperbolehkan dibukanya Mall dan tempat wisata.
Jadi maunya apa? Mengeluarkan kebijakan diam di rumah tapi kebutuhan pokok rakyat tidak dipenuhi. Kalau seandainya awal pandemi memberlakukan lockdown dan ditutup lalu lintas perbatasan negara. Mengisolasi warga yang terpapar sehingga warga yang sehat masih bisa beraktivitas. Namun apalah daya, semua hanya impian belaka alhasil pandemi semakin menggila.
Ketidakadilan sangatlah nyata terjadi di sistem ekonomi kapitalistik yang dijalankan satu paket dengan sistem politik demokrasi korporatokrasi alhasil kekayaan alam dieksploitasi guna kepentingan korporasi. Rakyat hanyalah dijadikan pemulus kepentingan tuannya dan diperburuk dengan kewajiban membayar pajak dalam pemenuhan kebutuhannya.
Allah Ta’ala berfirman,
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan (maksiat)[1] manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS Ar Ruum : 41).
Apa gunanya ekonomi pulih, tapi rakyat mati perlahan akibat kebijakan serba nanggung? Ekonomi ambruk bisa dipulihkan. Namun, jika kesehatan ambruk, nyawa dipertaruhkan.
Ingatlah, setiap kebijakan yang diambil pasti dipertanggungjawabkan. Lebih-lebih berkaitan dengan nyawa manusia. Kebijakan zalim selalu berakhir menyedihkan.
Akan beda cerita bila pemimpinnya amanah. Solusi menyelesaikan masalah berdasar syariat Islam, maka tentu tidak akan mudah mengambil kebijakan yang merugikan banyak orang. Semoga Allah segera ganti kezaliman ini dengan tegaknya sistem Khilafah yang dirindu.
Wallahua'lam
Tags
Opini