(Oleh : Mariya Qibtiyy)
Kementerian Agama (Kemenag) memutuskan untuk meniadakan salat Iduladha 1442 H di masjid maupun di lapangan terbuka yang dapat menimbulkan kerumunan pada zona yang diberlakukan PPKM Darurat.
Hal ini disampaikan Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas usai menggelar rapat bersama Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Polri, Kementerian Ketenagakerjaan, Dewan Masjid Indonesia (DMI), serta Majelis Ulama Indonesia (MUI), Jumat (2/7/2021).
“Salat Id di zona PPKM Darurat ditiadakan,” katanya.
“Kementerian Agama juga sudah menyiapkan peraturan peniadaan peribadatan di tempat-tempat ibadah di luar agama Islam seperti di masjid, pura, vihara, klenteng dan sebagainya. Kita siapkan secara bersamaan kita akan sampaikan kepada kawan-kawan,” tegasnya.
Di samping itu, pihaknya juga melarang aktivitas takbiran menyambut Iduladha 1442 H. Takbiran hanya diperkenankan dilakukan di rumah masih-masing.
“Takbiran kita larang di zona PPKM Darurat, dilarang ada takbiran keliling, (serta) arak-arakan. Itu baik jalan kaki maupun kendaraan, di dalam masjid juga ditiadakan. Takbiran di rumah masing-masing,” ucap Yaqut.
Pertanyaan terkait pelaksanaan Idul Adha 2021 di tengah PPKM Darurat ini pun membuat Ketua Majelis Ulama Indonesia ((MUI) Cholil Nafis, buka suara lewat akun Twitter pribadinya, @cholilnafis, Minggu 4 Juli 2021.
“Ada yang tanya soal pelaksanaan Idul Adha?" cuit Cholil Nafis.
"Saya Jawab: silahkan ikuti ketentuan pemerintah,” sambungnya.
Cholil Nafis pun menjelaskan terkait peran ulama, cendikiawan, dan juga pemerintah.
“Cendekiawan memberikan pandangan medisnya,” lanjutnya.
Namun, sebagai sebuah negara, Cholil Nafis menyampaikan bahwa terkait pelaksanaan Idul Adha pemerintah yang menetapkan.
“Pemerintah menetapkan kebijakan dan aturan,” ungkap Cholil Nafis.
“Masyarakat menaati Allah, Rasul-Nya, dan pemerintah,” pungkasnya.
Sebenarnya, apa yang dipermasalahkan oleh umat bukan semata kebijakan ditutupnya masjid atau salat Iduladha yang ditiadakan. Sebab, syariat pun memang membolehkan seseorang untuk salat fardu di rumahnya masing-masing, terlebih ketika pandemi begini.
Namun, hal mendasar yang dipermasalahkan umat adalah kebijakan dalam penanggulangan pandemi yang dinilai tidak konsisten dan tidak memihak rakyat. Umat sangat merasakan ada ketakadilan dalam setiap kebijakan yang dibuat.
Umat melihat puluhan TKA asal Cina masuk saat PPKM Darurat. Pada waktu yang sama, penjual bubur di Kota Tasikmalaya didenda Rp5 juta hanya karena ada pelanggannya yang makan di tempat.
Begitu pun perubahan istilah dari PSBB, PSBM, PPKM, PPKM Mikro, hingga PPKM Darurat, sejatinya hanya berganti nama, tetapi esensinya sama yaitu berputar pada kepentingan ekonomi.
Berlarut-larutnya permasalahan pandemi, mulai dari persoalan vaksinasi hingga pembatasan aktivitas masyarakat, telah melahirkan problem baru. Sehingga, pembatasan salat Iduladha, pembatalan ibadah haji, penutupan masjid-masjid, adalah akibat dari kesalahan kebijakan penanggulangan pandemi.
Andai saja dari awal terjadinya wabah penguasa cepat bertindak dan mendengar para pakar dalam menyelesaikan pandemi, wabah tak akan menjadi “liar” seperti saat ini.
Namun sungguh sayang, negara model korporatokrasi memang menjadikan pemilik modal sebagai penguasa tertinggi. Oleh karenanya, wajar jika sektor esensial dan nonesensial disesuaikan dengan kepentingan mereka.
Di sinilah seharusnya negara yang menjadi pilar terdepan dalam melindungi nyawa warganya dan melindungi syariat agar sempurna penerapannya. Jawil iman umat akan senantiasa dibangun dan dijaga keistikamahannya. Umat akan digiring untuk terus berdoa kepada Allah Swt. dan berikhtiar agar pandemi ini cepat berakhir, bukan malah menjauhkan syariat dari umat.
Oleh karenanya, bagi kaum muslim yang taat, tak boleh ada ketundukan hakiki selain pada Allah Swt. Berhukum dengan hukum-Nya dan senantiasa mengatasi masalah dengan merujuk pada aturan-Nya adalah wajib dan urgen dilakukan agar permasalahan pandemi ini cepat berakhir.
Tags
Opini