Saat Pajak Menjadi Alat Memalak

Oleh: Atik Hermawati

In this world nothing can be said to be certain, except death and taxes.” Kutipan dari Benjamin Franklin dalam suratnya kepada Jean-Baptiste Le Roy pada 1789 itu begitu masyhur. Ya, pada zaman kapitalis ini, pajak dan mati ialah dua hal yang tak bisa dihindari

Tidaklah berlebihan kutipan yang dipopulerkan oleh Franklin tersebut. Berbagai macam pajak bermunculan dan membebani, tak terkecuali di negeri ini. Wacana pemerintah memungut PPN pada barang kebutuhan pokok dan pendidikan, menambah beban pikiran di tengah pandemi yang mengkhawatirkan. 

Rencana pada draf RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) tersebut telah banyak diketahui dan menuai kritik dari berbagai pihak. Kebocoran salah satu isu draft tersebut dinilai telah membuat gaduh oleh Kementerian Keuangan Sri Mulyani. Sehubungan hal itu, Ditjen Pajak (DJP) akan mengirimkan informasi melalui surat elektronik (email) mengenai PPN sembako dan jasa pendidikan kepada jutaan wajib pajak secara bertahap. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Neilmaldrin Noor mengatakan kantor pusat DJP menargetkan 13 juta wajib pajak untuk menerima penjelasan salah satu isu dalam rancangan revisi UU KUP. Ia mengatakan bahwa pemerintah ingin mempersiapkan kerangka kebijakan perpajakan yang dipandang penting di tengah situasi pelemahan ekonomi akibat pandemi. Usulan perubahan pengaturan PPN ialah upaya mengurangi distorsi sebab kebanyakan tidak tepat sasaran. Selanjutnya penerapan multitarif dengan mengenakan tarif PPN yang lebih rendah daripada tarif umum, untuk barang-barang yang dikonsumsi masyarakat menengah ke bawah. (Ddtc.co.id, 14/06/2021).


Pemungutan Pajak yang Tidak Adil

Aroma ketidakadilan begitu tercium nyata oleh masyarakat. Bagaimana tidak, saat berbagai hal pokok masyarakat akan dibidik pajak (sembako, pendidikan, bahkan persalinan), pemerintah justru masih memberikan kelonggaran pajak korporasi. Pemerintah sibuk memburu kelas menengah dengan menaikan PPN di tengah sibuknya negara-negara maju G7 untuk kepatuhan pajak para perusahaan multinasional raksasa dalam bidang teknologi dan informasi. Padahal perusahaan besar itu memperoleh limpahan big data dari Indonesia pula. PPh korporasi diringankan, sedangkan PPN atas konsumsi masyarakat dinaikkan. 

Sebagaimana ketentuan di Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 30 Tahun 2020, pada tahun 2022, tarif pajak korporasi turun menjadi 20% dari yang berlaku saat ini sebesar 22%. Bahkan untuk perusahaan yang memperdagangkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia (BEI) ada tambahan diskon 3% menjadi 17%. Kebijakan untuk merelaksasi tarif PPh badan tersebut telah berlangsung sejak tahun 2020 dan 2021, setelah sebelumnya dibanderol sebesar 25%. (Kontan.co.id, 18/05/2021). 

Apalagi masih sangat hangat, perpanjangan Pajak Peluasan Atas Barang Mewah (PPnBm) 0%. Pemerintah memperpanjang diskon 100% PPnBM atau PPnBM 0% untuk pembelian mobil baru hingga Agustus 2021. Mulanya, PPnBM 0% ini hanya berlaku sampai akhir Mei 2021. Dalih pemulihan ekonomi dari pandemi menjadi anggapan bahwa tambahan pajak ialah kewajiban untuk kemudahan bersama. Bukan kebijakan yang semena-mena.

Padahal masyarakat akan semakin menderita apabila wacana tersebut benar-benar direalisasikan. Daya beli masyarakat akan semakin turun sebab semakin mahalnya kebutuhan pokok akibat kenaikan PPN. Inflasi akan bertambah dan semakin mengerdilkan pertumbuhan ekonomi. Yang pada akhirnya pertumbuhan ekonomi yang semakin lemah dibarengi jumlah kemiskinan yang semakin banyak.

Itulah yang terjadi dalam negeri ini yang menganut kapitalisme-demokrasi. Pajak dijadikan penopang terbesar dalam APBN. Segala pembiayaan untuk pembangunan maupun penggajian pegawai negara berasal darinya. Belum lagi utang luar negeri yang semakin menganga. Mirisnya lagi, lembaga pajak di negeri ini menjadi lembaga korup tertinggi dan markas besar bagi tikus-tikus berdasi. Rakyat kecil dipalak sedangkan korporasi diberi keringanan, dan para koruptor diberi sanksi yang tidak sepadan.


Pajak dalam Sistem Islam

Sejarah kejayaan Islam telah menorehkan bukti bahwa negeri tanpa pajak bukan hanya wacana. Saat futuhat/penaklukan Mesir, Amr bin Ash menghapuskan pajak dari rakyatnya. Setelah sebelumnya dikuasai imperium besar Romawi dengan pemungutan pajak yang di luar batas kemampuan. Rakyat Romawi kala itu merasa semakin menderita hingga tak sedikit dari mereka yang menjual tanah untuk membayar pajak.

Islam melarang negara memungut pajak rakyatnya, yang mengakibatkan rakyat semakin sengsara. Rasulullah Saw. bersabda, "Sungguh para pemungut pajak (diazab) di neraka" (HR Ahmad). Namun, ada kondisi tertentu yang mengakibatkan negara tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok masyarakat dan pos jihad, yakni saat Baitul Mal (kas negara) kosong. Seperti saat masa paceklik, wabah, bencana alam, ataupun lainnya. Sehingga negara boleh memungut pajak demi kehidupan masyarakat dan urusan jihad, berdasarkan kaidah ushul "Sesuatu yang suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengan sesuatu itu, maka sesuatu itu hukumnya wajib."

 Al-’Allamah Syaikh ‘Abdul Qadim Zallum, mendefinisikan dharibah yaitu “harta yang diwajibkan Allah kepada kaum muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di Baitul Mal kaum muslim untuk membiayainya” [Al-Amwal fi Daulati Al-Khilafah, hal.129].

Kemudian pajak itu dipungut dari muslim yang kaya saja, bukan selainnya. Setelah hajat pokok masyarakat terpenuhi maka pengambilan pajak dihentikan. Sebab pajak dalam Islam bukanlah sumber pendapatan negara, melainkan kebijakan sementara yang diambil saat sangat terdesak.

Sumber pendapatan Baitul Mal dalam negara Islam yakni khilafah yaitu dari aset milik negara (pengelolaan harta fai' (anfal, ghanimah, khumus), jizyah, kharaj, 'usyur, hima atau harta milik umum yang dilindungi negara, harta orang yang tidak mempunyai ahli waris dan harta orang murtad), aset milik umum/masyarakat luas yaitu berasal dari pengelolaan kekayaan alam berupa tambang, hutan, laut, sungai, danau dan sebagainya, serta aset individu dalam bentuk zakat mal yang sudah ditetapkan jumlah nishob-nya sebagai kepemilikan harta seseorang yang terkena zakat. Dengan penetapan nishob, sudah pasti yang terkena pungutan itu hanya kalangan orang-orang kaya.

Dengan demikian sangat jauh berbeda dengan pajak ala kapitalisme yang semakin menyengsarakan rakyat. Khalifah memandang masyarakat sebagai manusia yang harus diurus dengan syariat Islam. Sehingga kebutuhan sandang, pangan, maupun papannya terpenuhi baik meskipun saat pandemi. Semua itu hanya bisa diterapkan dalam sistem Khilafah yang menerapkan syariat Islam secara keseluruhan (kaffah) bukan demokrasi maupun yang lainnya.

Wallahu a'lam bishshawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak